Anak-anak yang mendapatkan pola asuh helicopter parenting dari orangtua, berpeluang memiliki beberapa dampak negatif. Di antaranya adalah, anak rentan mengalami depresi.
Penelitian yang diterbitkan Journal of Child and Family Studies melaporkan kondisi hasil pola asuh helicopter parenting di Korea. Para peneliti melibatkan 562 orang dewasa baru (19-34 tahun) sebagai responden dengan beragam latar belakang, seperti pelajar, penganggur, dan belum menikah.
Dalam penelitian tersebut, responden setidaknya masih memiliki satu orangtua yang masih hidup. Hasilnya, anak dengan pola asuh helikopter berhubungan langsung dengan kemungkinan besar mengalami gejala depresi.
Anak merasakan tekanan yang lebih tinggi terhadap harapan orangtua pada karir mereka. Ini membuat mereka merasa tidak nyaman dan rentan mengalami depresi.
Dampak lainnya, anak tumbuh dewasa tanpa memiliki coping skill. Orangtua yang menerapkan pola helicopter parenting, terlalu banyak membantu anak sehingga mereka tidak pernah gagal. Perilaku seperti ini dapat menghambat perkembangan coping skill pada diri anak.
Anak tidak terbiasa mengatasi masalah atau menghadapi kegagalan. Mereka tidak pernah belajar bagaimana menyelesaikan persoalan dalam kehidupan. Semua sudah diselesaikan orangtua.
Hendaknya, orang tua memberikan ruang bagi anak untuk menentukan pilihannya. Orangtua mengajak anak terbuka dan berdiaskusi tentang berbagai pilihan yang hendak diambil anak, dan melatih anak mengambil keputusan secara bertanggung jawab.
Orangtua wajib memberikan rambu dan arahan agar pilihan-pilihan anak dalam kehidupannya tidak keluar dari koridor syar'i dan tidak melampaui batas kepatutan. Di sinilah pentingnya pendidikan dalam kehidupan keluarga.
Bahan Bacaan
Jasim Muhammad Al-Muthawwi, 'Isyruna Khatha-an Tarbawiyan Nartakibuha Ma'a Abna-ina, diakses dari https://midad.com/article/221672, 26 Februari 2016
Kate Bayless, What Is Helicopter Parenting? https://www.parents.com, 12 Oktober 2022