Kisah Ramadan -- 23
Imam abu Hanifah adalah Nu'man bin Tsabit bin Zutha Al-Kufi. Beliau dikenal sebagai ulama besar pendiri mazhab Hanafi. Lahir di kota Kufah, Irak pada tahun 80 H / 699 M, dan wafat di Baghdad pada 150 H / 767 M.
Nama asliKepandaian dan kedalaman Imam Abu Hanifah dalam ilmu fikih, diakui oleh para ulama besar. Imam Malik, misalnya, beliau mengagumi kecerdasan logika Imam Abu Hanifah. "Aku melihat seorang yang apabila aku meminta padanya agar menjadikan tiang ini menjadi besi, maka dia akan bangkit dengan membawa hujjahnya," ujar Imam Malik.
Imam Syafi'i juga mengakui kehebatan Imam Abu Hanifah dalam ilmu fikih. "Dalam bidang fikih, semua orang membutuhkan Abu Hanifah," ujar Imam Syafi'i. Jika para imam besar saja mengakui kehebatan Imam Abu Hanifah, sudah pasti tingkat keilmuan beliau sudah tidak perlu diragukan lagi.
Namun dengan kehebatan ilmu beliau, bukan berarti semua orang akan bisa menerima fatwa dari beliau. Bahkan ibu kandung Abu Hanifah sendiri, pernah menolak fatwa beliau.
Dalam kitab Tarikh Baghdad, Imam Khatib Al-Baghdadi menukil  riwayat tentang Imam Abu Hanifah. Sebuah kisah masyhur, saat ibu Imam Abu Hanifah tidak mau menerima fatwanya.
 : : : : : : : .
Al-Khallal bercerita, Al-Hariri bercerita, bahwa An-Nakha'i bercerita kepada mereka, ia berkata: Abu Shalih bin Muhammad bercerita, Ya'qub bin Syaibah bercerita, Sulaiman bin Mansur bercerita, dari Hujr bin Abdul Jabbar Al-Hadrami.
Di masjid kami ada seorang tukang dongeng bernama Zur'ah. Masjid kami dinisbatkan kepadanya, masjid orang-orang Hadrami. Suatu ketika ibu Abu Hanifah meminta fatwa tentang sesuatu, lalu Abu Hanifah memberinya fatwa, tapi sang ibu tidak menerimanya.
Ibu Imam Abu Hanifah berkata, "Aku tidak akan menerima fatwa kecuali disampaikan Zur'ah Al-Qash."
Mendengar pernyataan sang ibu, Imam Abu Hanifah tidak perlu membantahnya. Beliau segera mengantar sang ibu ke tempat Zur'ah.
"Wahai Zur'ah, ini ibuku. Aku mengantarnya ke sini, karena ia meminta fatwa darimu dalam masalah begini dan begini..." ujar Abu Hanifah.
Zur'ah kaget. "Wahai Imam Abu Hanifah, engkau lebih berilmu dan lebih memahami ilmu fikih dibandingkanku. Seharusnya engkaulah yang memberinya fatwa," jawab Zur'ah.
"Aku telah memberinya fatwa begini dan begini, tapi ia tidak menerimanya. Ibuku ingin mendengar fatwa darimu," ungkap Abu Hanifah.
"Baiklah. Ucapanku sebagaimana yang telah diucapkan oleh Abu Hanifah," ujar Zur'ah kepada ibu Imam Abu Hanifah.
Mendengar jawaban itu, sang ibu lega. Ia bisa menerima pendapat Zur'ah dan segera meninggalkan rumah Zur'ah.
Kisah di atas mengajarkan sikap kerendahhatian atau tawadhu orang-orang salih terdahulu. Ada kerendahhatian yang dicontohkan Imam Abu Hanifah dan Zur'ah Al-Qash.
Sikap rendah hati Imam Abu Hanifah ditunjukkan dengan tidak membantah ibunya apalagi memarahi, saat sang ibu tidak menerima fatwanya. Beliau dengan ringan langsung mengantar sendiri ibunya untuk menemui Zur'ah Al-Qash.
Abu Hanifah merasa tidak perlu membujuk sang ibu untuk mempercayai fatwanya dengan menyatakan bahwa dirinya adalah ahli fiqih yang hebat, atau merasa diri sebagai ulama besar. Abu Hanifah juga tidak mengatakan kepada sang ibu bahwa Zur'ah bukanlah seorang ulama.
Sedangkan kerendahhatian Zur'ah ditunjukkan dengan ucapan, "Engkau lebih berilmu dan lebih memahami ilmu fikih dibandingkan dengan aku". Zur'ah tidak merasa sombong karena didatangi Imam Abu Hanifah dan ibunya untuk meminta fatwa kepadanya. Juga tidak merendahkan Abu Hanifah.
Ketika memberi jawaban, Zur'ah tidak menggunakan kata "aftaituki" (aku berfatwa kepadamu). Ia memilih kalimat, "al-qaul kama qala Ab Hanifah", bahwa ucapanku sama seperti ucapan Abu Hanifah. Penggunaan kata "al-qaul" (perkataan) menunjukkan kesadaran Zur'ah, bahwa ia bukanlah ulama yang pantas mengeluarkan fatwa.
Di sisi lain, Imam Abu Hanifah tidak khawatir penilaian orang. Bisa saja banyak orang akan menggunjingnya. Sebagian orang bisa saja menyatakan, "Ibunya saja tidak percaya dengan fatwa Abu Hanifah, bagaimana orang lain?"
Sebagian yang lain mungkin mengatakan, "Ternyata ilmu Abu Hanifah tidak seberapa.Terbukti ia tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya. Ia malah mengantar ibunya bertanya kepada Zur'ah". Beliau tidak khawatir atas perkataan orang.
Tindakan Abu Hanifah mengantar sang ibu adalah sebentuk birrul walidain dan adab yang mulia terhadap orangtua. Bagi Abu Hanifah, berbakti kepada orang tua jauh lebih penting dari kedudukannya dalam ilmu agama.
Bahan Bacaan
Muhammad Afiq Zahara, Ketika Fatwa Imam Abu Hanifah Ditolak Ibunya, https://islam.nu.or.id, 26 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H