Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Suamiku Tak Membutuhkan Aku

7 April 2023   14:25 Diperbarui: 7 April 2023   14:30 4018
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah Ramadan -- 16

Di antara kewajiban suami adalah memenuhi berbagai kebutuhan istri. Bukan saja kebutuhan lahiriyah, namun juga kebutuhan batiniyah. Suami tidak boleh melalaikan dan mengabaikan kewajiban kepada istri, sebagaimana ia juga harus menunaikan kewajiban terhadap Allah dengan ibadah.

Dalam kitab tafsirnya, Imam Al-Qurthubi menceritakan seorang perempuan yang mengadukan suaminya kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab. Dikisahkan, suatu hari seorang wanita datang menemui Umar bin Khattab ra dengan tergesa-gesa.

"Wahai Amirul Mukminin, suamiku siang hari puasa dan malam hari shalat. Sungguh sebenarnya aku dengan berat hati mengadukannya kepadamu, dia setiap hari menjalankan ketaatannya kepada Allah," ujar perempuan tersebut.

Umar menyimak dan tidak langsung menjawab. "Sebaik-baik suami adalah suamimu," ujar Khalifah Umar.

Perempuan itu mengulangi perkataannya. Kembali Umar mengulang jawabannya. Sepertinya Umar belum sepenuhnya memahami maksud pengaduan tersebut.

Hingga akhirnya Ka'ab bin Suwari Al-Asadi yang berada di dekat Khalifah menyatakan, "Wahai Amirul Mukminin, perempuan ini mengadukan suaminya karena sang suami menjauhi dirinya dalam urusan ranjang."

Setelah dijelaskan Ka'ab Al-Asadi, barulah Umar mengerti. "Sebagaimana engkau telah memahami ucapan perempuan ini, maka putuskanlah perkara di antara keduanya."

Suami perempuan itu dihadirkan untuk dimintai keterangan. "Istrimu telah mengadukanmu kepada Amirul Mukminin," ujar Ka'ab Al-Asadi.

"Apakah dalam urusan makan atau minum?" tanya suami perempuan tersebut.

"Bukan," jawab Ka'ab. "Jelaskanlah perkaranya," ujar Ka'ab kepada si perempuan.

Perempuan itu menjelaskan duduk perkaranya melalui syair berikut:

"Wahai hakim yang bijaksana, berilah ia petunjuk. Masjid telah melalaikan suamiku dari tempat tidurku.

"Beribadah telah membuatnya zuhud dan tidak membutuhkan ranjangku. Maka putuskanlah masalah ini, wahai hakim Ka'ab dan jangan kau menolaknya.

"Siang dan malam dia tidak pernah tidur (tetapi) dalam hal mempergauli istri, aku tidak memujinya.

Tampak dari bai-bait syair tersebut, sang istri menuntut hak pemenuhan kebutuhan batin yang tak terpenuhi. Sang suami ahli ibadah, sangat rajin menunaikan ketaatan. Namun ia melalaikan kewajiban sebagai suami terhadap istri dalam pemenuhan kebutuhan biologis.

Mendengar pengaduan istri melalui bait syair tersebut, sang suami melakukan pembelaan diri yang diungkapkan melalui syair pula. Jawaban yang berisi alasan mengapa dia menjauhi istrinya.

"Aku zuhud tidak mendatangi ranjang dan biliknya. Karena aku telah dibuat terpesona dengan apa yang telah diturunkanNya. Yaitu dalam Surat An-Nahl dan tujuh surat yang panjang. Dan dalam Kitab Allah itu membuat hatiku sangat takut sekali."

Sang suami menyatakan betapa sangat takut dengan berbagai ancaman yang ada dalam Al-Qur'an. Maka kelezatan dunia menjadi tidak ada artinya. Ia menghabiskan waktu dan perhatiannya untuk beribadah agar semakin bisa mendekatkan diri kepada Allah.

Setelah mendengar pengakuan dari kedua belah pihak, Ka'ab Al-Asadi memutuskan pertikaian keduanya. Ka'ab memberikan keputusan dengan untaian bait syair pula.

"Dia memiliki hak atasmu, wahai lelaki. Jatahnya (satu dalam) empat hari bagi orang yang berakal. Berikan hak itu, dan tinggalkan cela yang ada padamu".

Keputusan ini dengan jelas memerintahkan kepada si suami untuk memberikan hak biologis kepada istri paling tidak empat hari sekali. Kewajiban kepada istri tidak boleh dilalaikan dengan alasan memenuhi kewajiban kepada Allah.

Setelah Ka'ab Al-Asadi memberikan keputusan yang bijak pada keduanya, Umar bin Khattab ra berkata,

"Demi Allah, aku tidak tahu, mana yang lebih menakjubkanku. Apakah karena kepahamanmu akan masalah mereka berdua, ataukah karena keputusanmu atas mereka berdua. Pergilah, aku mengangkatmu menjadi qadhi (hakim) di Bashrah."

Umar menyaksikan betapa bijak Ka'ab dalam memahami dan mengambil keputusan atas perkara yang diperselisihkan. Maka Umar menilai dirinya tepat menjadi hakim (qadhi) di wilayah Bashrah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun