Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Acceptance Factor dalam Pendidikan Anak

11 September 2022   09:18 Diperbarui: 11 September 2022   09:32 1510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://myhero.com/

Di zaman Nabi saw hidup, terdapat seorang sahabat bernama Amr bin Al-Jamuh. Ia adalah seorang lelaki yang pincang. Ada kelainan pada kakinya. Ia memiliki empat orang anak laki-laki. Amr mengutarakan keinginannya untuk ikut dalam perang Uhud. Namun keempat anaknya menghalangi, mengingat kondisi fisik bapaknya.

Amr bin Al-Jamuh tidak rela dengan sikap keempat anaknya. Segera ia mengadukan jawaban anaknya kepada Nabi Muhammad saw. "Aku benar-benar ingin kakiku yang pincang ini dapat menginjak surga," ujar Amr bin Al-Jamuh.

Nabi saw melihat kesungguhan lelaki pincang ini. Beliau melihat, Amr adalah pejuang keimanan yang sangat tulus. "Janganlah kalian menghalangi Bapak kalian ikut berperang," sabda Nabi saw kepada keempat anak Amr.

Betapa bahagia Amr bin Al-Jamuh dibolehkan ikut berperang bersama pasukan Nabi saw dan umat Muslim. Ia syahid dalam Perang Uhud. Nabi saw meyatakan bahwa beliau melihat Amr bin Al-Jamuh menginjakkan kakinya yang pincang di surga.

Di zaman Nabi saw, ada seorang lelaki alim dan salih bernama Abdullah bin Mas'ud. Lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Mas'ud. Ia adalah  adalah seorang sahabat Nabi saw yang betis kaki dan telapak kakinya kecil. Ada kelainan pada betis dan tapak kakinya.

Suatu ketika, angin berembus kencang sehingga tersingkaplah bagian bawah pakaian Ibnu Mas'ud, hingga terlihat kedua telapak kaki dan betisnya yang kecil. Melihat itu, beberapa sahabat menertawakannya.

"Apa yang sedang kalian tertawakan?" tanya Rasulullah saw kepada para sahabat.

"Kedua betis Abdullah bin Mas'ud yang kecil, wahai Nabi Allah," jawab sahabat.

Nabi saw tidak rela dengan sikap para sahabat tersebut. "Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kedua betisnya itu lebih berat timbangannya daripada Gunung Uhud di mizan nanti" (HR. Ahmad).

Di zaman Nabi saw, ada seorang lelaki salih bernama Abdullah bin Ummi Maktum. Ia adalah sahabat Nabi saw yang tuna netra. Abdullah bin Ummi Maktum dikaruniai naluri yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Jika menjelang fajar, berbekal tongkat ia keluar dari rumahnya, menuju masjid dan mengumandangkan adzan.

Ia menjadi muadzin kesayangan Nabi saw, sebagaimana Bilal. Pernah Rasulullah saw meminta Abdullah bin Ummi Maktum untuk memimpin kota Madinah saat beliau saw berada di luar kota. Beliau memberikan kepercayaan yang luar biasa kepada seorang difabel.

Di zaman Nabi saw, ada seorang lelaki salih bernama Julaibib. Ia adalah salah seorang sahabat Nabi saw yang memiliki fisik tidak menarik, miskin, dan tidak memiliki harta benda. Meskipun kondisi fisiknya sangat 'memprihatinkan' menurut pandangan orang pada umumnya, namun Nabi saw sangat menyayanginya.

Nabi saw hendak menikahkannya dengan salah seorang putri sahabat Anshar yang cantik jelita. Beliau saw meminangkan Julaibib kepada orangtua si wanita. "Wahai, Rasulullah, aku menerima pinanganmu. Nikahkanlah putriku dengan Julaibib".

Sikap Nabi saw kepada Amr bin Jamuh, Abdullah bin Mas'ud, Abdullah bin Ummi Maktum, Julaibib dan contoh lainnya, adalah sebuah sikap kebijaksanaan yang luar biasa. Beliau tidak membeda-bedakan sahabat hanya karena masalah fisik.

Beliau tidak melarang Amr bin Jamuh ikut berperang, meski kakinya cacat. Beliau saw menegur sahabat yang menertawakan bentuk kaki Ibnu Mas'ud. Beliau memberi kepercayaan kepada Abdullah bin Ummi Maktum  untuk memimpin Kota Madinah. Beliau menikahkan Julaibib yang miskin dan tidak menarik, dengan perempuan cantik.

Acceptance Factor

Sikap Nabi saw dalam berinteraksi dengan para sahabat dan manusia pada umumnya, dipenuhi dengan penerimaan yang penuh atas kondisi mereka. Nabi saw tidak pernah merendahkan siapapun dari makhluk Allah, hanya karena bentuk fisiknya. Beliau bisa menerima semua kondisi manusia secara setara.

Beliau saw bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian" (HR. Muslim no. 2564).

Sikap dasar inilah yang harus ada pada semua orangtua dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya. Acceptance factor atau faktor penerimaan menjadi sangat penting dalam berinteraksi dengan anak-anak. Ketika orangtua bisa menerima anak dengan semua kondisi dan potensinya, akan membuat dirinya bisa dekat dan tulus dalam mendidik anak.

Elizabeth Hurlock (2002) menyatakan, penerimaan (acceptance) adalah suatu sikap yang ditunjukkan oleh orangtua terhadap anak-anaknya, yang ditandai oleh perhatian dan kasih sayang yang besar kepada anak-anak.  Orangtua yang menunjukkan sikap penolakan (denial) atas kondisi anak, hanya sedikit perhatian dan kasih sayangnya.

Sebagai orangtua, hendaknya bisa menerima anak dengan sepenuh hati dan jiwa. Anak adalah karunia Allah, buah hati yang bsangat berharga, bagaimanapun kondisi dirinya. Penerimaan orangtua kepada anak-anak, akan menjadi kunci keberhasilan hidup mereka dimasa dewasa.

Studi yang dilakukan Deny Astanti (2005) menunjukkan, semakin tinggi persepsi remaja terhadap sikap penolakan orang tua, semakin rendah kemampuan penyesuaian diri (adaptasi) pada remaja. Semakin rendah persepsi remaja terhadap sikap penolakan orang tua, semakin baik kemampuan penyesuaian diri pada remaja.

Kita bisa belajar kepada Hirotada Ototake. Seoranga anak yang terlahir di Jepang tanpa tangan dan kaki yang normal. Kaki hanya sampai lutut dan tangannya hanya sampai siku. Tanpa jari-jari. Ibunya menggambarkan Hirotada-can seperti boneka panda yang lucu dan menggemaskan.

Orangtuanya selalu memerkenalkan Hirotada-can kepada kerabat sebagai anak normal. Hirotada diperlakukan sebagai anak normal, yang diajari berbagai ketrampilan motorik. Ia belajar di Sekolah Dasar Yohga. Di sekolah tersebut, ia dididik oleh Sensei Takagi yang mengajar dari kelas 1 hingga kelas 4.

Sensei Takagi mengajari Hirotada-can agar mampu melakukan tugas dengan mandiri dan tidak mengharap pertolongan dari orang-orang disekitarnya. Sensei selalu melibatkan dirinya dalam berbagai aktivitas, termasuk olahraga dan seni.

Akhirnya tumbuhlah rasa percaya diri yang sangat besar, bahkan menurut pengakuan Hirotada sendiri, rasa percaya dirinya 'terlalu besar'. Dia selalu belajar di sekolah anak-anak normal. menjalani hobi jurnalistik, fotografi, naik gunung dan memasuki klub basket.

Hirotada lulus kuliah dan menjadi salah satu motivator handal. Kini ia diangkat menjadi guru SD di Jepang untuk mata pelajaran olahraga. Luar biasa.

Ini adalah contoh bagaimana acceptance factor bekerja dalam pengasuhan anak. Orangtua, guru dan lingkungan yang menerima apa adanya Hirotada-can, membuat dirinya tumbuh kembang menjadi anak yang penuh potensi dan percaya diri.

Sayangnya, banyak orangtua yang lebih fokus kepada sisi kekurangan anak. Bentuk tidak menerima terhadap kondisi anak, bisa berbentuk komentar negatif dan sikap diskriminatif.

Jack Canfield pernah melaporkan hasil riset terhadap 100 orang anak di Amerika.  Penemuan tersebut sungguh mencengangkan. Setiap anak rata-rata perharinya menerima 460 komentar negatif atau kritik. dan hanya 75 komentar positif atau mendukung. Ini contoh betapa sulit orangtua menerima kondisi anak yang tidak sesuai harapannya.

Inginnya anak selalu baik, sempurna, tak ada cacatnya. Padahal tidak ada anak sempurna, sebagaimana tidak ada orangtua sempurna. Agar selalu ridha dengan ketentuan Allah, lafalkan doa berikut ini setiap hari,

"Seseorang muslim yang mengistiqamahkan bacaan zikir setiap pagi dan sore sebanyak tiga kali radhitu billahi rabba wa bil islami dina wa bi Muhammadin nabiyya (aku rela Allah menjadi tuhanku, Islam agamaku, dan Nabi Muhammad nabiku) akan mendapat keridhaan Allah sampai hari kiamat nanti" (Dalam kitab "Amalu Al-Yaumi wa Al-Lailah" karya Imam An-Nasa-i).

Mari belajar menerima kondisi anak kita, sebagai pondasi mendampingi, memperbaiki, mengarahkan, mengasuh dan mendidik mereka. Semoga Allah mampukan.

Bahan Bacaan

Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Insan Kamil, 2015

Asti Meiza dkk, Quantitative Profile of Family Acceptance of Children Special Need's Moslem Parents, American Journal of Family Therapy 47(2):1-12, DOI:10.1080/01926187.2019.1635540, Agustus 2019

Deny Astanti, Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap Sikap Penolakan Orang Tua dengan Penyesuaian Diri pada Remaja, https://dspace.uii.ac.id, 2005

Elizabeth Hurlock, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta, 2002.

Rahma Furi Sagita dkk, Characteristic of Parent's Acceptance in Getting Child Diagnosis as Autism, Indonesian Midwifery and Health Sciences Journal, Vol. 5 No. 2, April 2021, https://e-journal.unair.ac.id 

Tsara Sabira Subhan, Pengaruh Dimensi-Dimensi Religiusitas Terhadap Penerimaan Orang Tua Anak Autis, Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun