Perceraian menyebabkan AP sering merasa kecewa dan sedih, bahkan AP sering menangis jika teringat dengan keluarganya.Â
AP sering mengalami kesulitan dalam belajar namun tidak ada teman yang bersedia membantu AP.
Subyek AP memiliki hubungan yang kurang baik dengan ibunya karena sering diperlakukan kasar. Di sekolah ada beberapa teman yang menjauhi AP karena masalah keluarganya.
AP lebih memilih diam atau melakukan katarsis dengan menulis diary untuk meluapkan perasaannya. Sejauh ini belum ada tindakan dari orang tua maupun guru BK dalam membantu subyek AP mengatasi masalahnya.
Subyek kedua adalah HR (perempuan, Islam, 13 tahun, kelas VII). Bentuk broken home yang terjadi pada keluarga HR adalah kedua orang tua meninggalkan rumah. Ayah pergi ketika HR masih bayi sedangkan ibu pergi ketika HR kelas 3 SD karena masalah perselingkuhan.
Peristiwa broken home menyebabkan HR memiliki persepsi yang buruk mengenai keluarga dan orang tua, memiliki trauma akan perselingkuhan dan ketidaknyaman ketika berada di rumah.
Kepergian ibu dari rumah menyebabkan HR sering merasa kecewa dan sedih berlebihan bahkan sering menangis jika teringat ibunya. Hal tersebut menyebabkan HR sering mengalami kesulitan berkonsentrasi ketika belajar.
Coping yang dilakukan HR adalah melakukan katarsis dengan menulis diary untuk meluapkan perasaannya. Sejauh ini belum ada tindakan keluarga dalam membantu HR menyelesaikan masalahnya.Â
Di sekolah, guru BK telah memberikan beberapa konseling pribadi, motivasi dan pencerahan serta melakukan home visit sebagai upaya membantu HR mengatasi masalahnya.
Subyek ketiga adalah BT (laki-laki, Islam, 13 tahun, kelas VII). Bentuk broken home yang terjadi pada keluarga BT adalah perpisahan yang disebabkan oleh pertengkaran dan kesalahpahaman dalam keluarga.Â
Ketidakharmonisan keluarga menyebabkan subyek BT memiliki pandangan yang buruk tentang keluarga dan orang tua dan ketidaknyaman ketika di rumah.