Apakah memahami logika ketemu jodoh itu rumit? Coba pahami logika ketemu rezeki. Apakah rumit? Mari simak dua kisah berikut ini.
Cerita pertama, tentang Iwan.
Iwan setiap hari pergi ke masjid. Beribadah, shalat, dzikir, doa, i'tikaf, tilawah, istighfar, sepanjang hari. Iwan berpuasa Dawud, yaitu sehari berpuasa sehari tidak.Â
Ia terus berdoa agar mendapatkan rezeki. Jarang sekali ia di rumah bersama anak dan istri. Ia fokus ibadah di masjid, setiap hari, setiap malam.
Iwan tidak memiliki pekerjaan yang membuatnya mendapat penghasilan. Ia khawatir terpedaya oleh dunia. Iwan meyakini, dunia tidak usah dicari. Dunia akan datang sendiri. Yang paling penting adalah mencari akhirat dengan terus menerus ibadah di masjid.
Keluarganya hidup dalam kesulitan. Tidak ada uang yang bisa digunakan untuk membeli makanan dan keperluan hidup lainnya.Â
Iwan merasa heran, ia sudah rajin berdoa, mengapa rezeki tidak kunjung tiba? Ia sudah meminta kepada Allah --mengetuk pintu langit, mengapa tak juga mendapat kelapangan rezeki?
Cerita kedua, tentang Budi.
Setelah menikah, Budi mulai menekuni usaha. Ia berjualan makanan di pasar. Ia bekerja keras untuk melancarkan usahanya dengan berbagai strategi dan taktik. Tak lupa Budi berusaha membanyak relasi dan juga jaringan. Namun usaha pertama ini gagal. Bangkrut. Ia pun memulai usaha kedua.
Sekarang Budi berjualan pakaian. Sekarang ia tingkatkan pengetahuannya. Budi menjual pakaian secara online. Ia pun menekuni strategi marketing online.Â
Bahkan ia mengikuti coaching bisnis. Sekarang ia makin tekun ibadah, dan makin banyak berdoa. Sayang, usaha kedua ini juga gagal. Sangat banyak pesaing di bisnis online.
Budi beralih berjualan kosmetik. Kini ia gabungkan cara penjualan offline dan online. Ia berganti coach yang dianggap lebih ahli. Berbagai strategi ia gabungkan. Tak lupa, ia makin memperbanyak ibadah dan pendekatan diri kepada Allah. Alhamdulillah, bulan demi bulan, bisnis ini berkembang.
Bagaimana penilaian Anda tentang Iwan dan Budi dalam kisah di atas? Apakah tindakan Iwan bisa disebut sebagai tawakal?
Iwan jelas tidak menjalankan sunnatullah usaha. Ia hanya berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah melalui masjid saja. Sedangkan Budi menjalankan sunnatullah usaha.Â
Budi rajin ke masjid, namun juga gigih berusaha. Kegagalan tak membuatnya putus asa. Tawakal bukanlah berdiam diri tanpa usaha nyata dan hanya berdoa.
Suatu ketika, Imam Ahmad ditanya mengenai seorang lelaki yang kegiatannya hanya duduk di rumah atau di masjid. Lelaki ini menyatakan, "Aku tidak mengerjakan apa-apa. Rezekiku pasti akan datang sendiri." Imam Ahmad mengomentari, "Orang ini sungguh bodoh. Bukankah Nabi saw telah bersabda,
"Allah menjadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku" (HR. Ahmad. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini sahih).
Nabi saw juga bersabda, "Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki.Â
Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang" (HR. Ahmad. Syaikh Al Albani menyatakan bahwa hadits ini sahih).
Jodohpun, Demikian Datangnya
Sebagaimana kisah mencari rezeki yang dilakukan Iwan dan Budi, demikian pula kisah menjemput jodoh. Dari kisah usaha mencari rezeki di atas, kita mengetahui bahwa rezeki adalah akumulasi dari usaha. Yang memberi rezeki adalah Allah, yang menentukan rezeki adalah Allah.
Manusia wajib berusaha dengan bersungguh-sungguh, secara baik dan benar. Agar mendapatkan rezeki yang halal dan berkah. Akumulasi dari berbagai macam usaha, pada dasarnya adalah 'proposal' manusia kepada Allah.Â
Kurang lebih, kita mengirim pesan kepada Allah, "Ya Allah,aku sudah bersungguh-sungguh mencari karuniaMu yang halal di muka bumi, maka tolonglah aku".
Menjemput jodoh pun demikian. Jangan hanya duduk diam menunggu datangnya pasangan idaman. Bukan hanya berdoa terus menerus siang dan malam namun tak ada tindakan nyata. Jodoh adalah ketentuan Allah, namun manusia wajib mengupayakan sebab-sebab kedatangannya.
Ada empat hal yang telah Allah tetapkan pada diri setiap manusia sejak sebelum kelahirannya. Penetapan ini terjadi saat janin berumur 120 hari dalam perut ibu, sebagaimana sabda Nabi Saw,
"Kemudian diutus kepadanya malaikat lalu ditiupkan padanya ruh dan diperintahkan untuk ditetapkan empat perkara, yaitu rezekinya, ajalnya, amalnya dan kecelakaan atau kebahagiaannya". HR. Bukhari, no. 6594 dan Muslim, no. 2643.
Ketika mengetahui bahwa rezeki sudah ditetapkan sejak manusia belum lahir, apakah kita tidak perlu bekerja dan berusaha? Tentu saja tidak demikian. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan:
"Janganlah Anda mengatakan 'rezeki telah tertulis dan terbatasi maka aku tidak akan melakukan sebab-sebab untuk mencapainya'. Karena pernyataan tersebut adalah suatu kelemahan. Sedangkan yang disebut kecerdasan adalah kamu tetap berupaya mencari rezeki dan sesuatu yang bermanfaat bagimu, baik untuk agamamu maupun untuk duniamu. Nabi Saw bersabda:
"Orang cerdas adalah mereka yang menguasai dirinya dan beramal untuk bekal setelah mati, sedangkan orang lemah adalah mereka yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan terhadap Allah Ta'ala".
"Sebagaimana rezeki telah tertulis dan ditakdirkan bersama sebab-sebabnya, maka jodoh juga telah tertulis --beserta sebab-sebabnya. Masing-masing dari suami dan istri telah tertulis untuk menjadi jodoh bagi yang lain. Bagi Allah tidak rahasia lagi segala sesuatu, baik yang ada di bumi maupun di langit", demikian penjelasan Syaikh Utsaimin.
Jadi, sudah berapa banyak usahamu untuk menjemput jodoh? Sudah patutkah engkau menyatakan kepada Allah, "Ya Allah, aku sudah bersungguh-sungguh berikhtiar menuju ketetapanMu, maka tolonglah aku menemukan jodoh yang terbaik bagi dunia dan akhiratku".
BERSAMBUNG.
Bahan Bacaan
Cahyadi Takariawan, Wonderful Marriage, Era Intermedia, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H