"No one's marriage should be filled with fear. If there is fear, there is a problem" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Tak ada pernikahan yang tanpa masalah. Semua keluarga, pasti memiliki masalah. Jangan mengatakan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang tanpa masalah. Jika demikian persepsi kita tentang keluarga sakinah, maka di muka bumi ini tidak ada keluarga sakinah.
"All marriages experience difficulties, challenges and sacrifices but sometimes when people realise that they can't tolerate being married anymore their families pressurise them into staying together when divorce would be the more humane option. Allah Almighty created mankind to have dignity and respect, not to be degraded in any situation including marriage" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
"Semua pernikahan pasti pernah mengalami berbagai kesulitan, tantangan dan pengorbanan," ujar Syaikh Haytham Tamim. "Akan tetapi, terkadang ketika seseorang mulai menyadari bahwa mereka tidak dapat bertahan dalam kehidupan pernikahan, keluarga besar akan menekan mereka untuk tetap bersama dalam rumah tangga", lanjut Syaikh Haytham.
Masalah dalam kehidupan pernakahan, bermacam-macam levelnya. Ada yang level ringan, yang hampir pasti dialami oleh semua keluarga. Masalah ringan yang menjadi bumbu kehidupan, karena hidup pasti akan bertemu masalah. Untuk jenis masalah seperti ini, hendaknya kita mampu bersabar dan bertahan.
Namun ada masalah level berat, yang sampai mengancam nyawa. Sebuah pernikahan yang mirip dengan penjara kolonial, penuh siksaan mengerikan. Bertahan dalam pernikahan yang serupa penjara, bisa membuat depresi berkepanjangan. Menikah menjadi peristiwa traumatik yang menimbulkan tekanan berat dalam kehidupan.
"Ada saat di mana perceraian menjadi pilihan yang lebih manusiawi. Allah menciptakan manusia untuk memiliki martabat dan kehormatan, tidak untuk direndahkan dalam situasi apapun, termasuk dalam pernikahan", sambung Syaikh Haytham. Selanjutnya, beliau mengutip firman Allah:
"Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam..." (QS. Al-Isra' :70).
Dipenjara Pernikahan yang Menyiksa
Realitas dalam kehidupan masyarakat, terdapat sejumlah pernikahan yang serupa dengan penjara dengan sejumlah jenis 'penyiksaan'. Ada penyiksaan secara lahiriyah, ada pula penyiksaan secara batiniyah. Sebagian istri mengalami pemenjaraan dalam dunia pernikahan, dengan mengalami siksaan lahir batin. Demikian pula, ada suami yang hidup dalam penjara pernikahan yang menyiksa.
Siksaan lahir, misalnya berupa kekerasan terhadap fisik. Pukulan, tendangan, baik dilakukan dengan tangan, kaki ataupun menggunakan senjata, adalah contoh siksaan fisik. Sedangkan siksaan batin, misalnya berupa celaan, hinaan, sikap merendahkan, pengabaian, tidak mendapatkan hak dari pasangan, dan lain sebagainya.
"There are many women who have been stuck in humiliating marriages, with narcissistic husbands, to preserve the honour of their family. And this does not just affect women, as there are men who are suffocated in bad marriages too. No one should suffer because their family want to maintain a faade in the community that they are OK" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
"Tak sedikit perempuan terjebak dalam pernikahan yang menghinakan, dengan suami yang kejam, demi menjaga kehormatan keluarganya. Hal ini tidak hanya menimpa perempuan, karena ada juga laki-laki yang tersandera dalam pernikahan yang buruk", ujar Syaikh Haytham Tamim.
Ini adalah kondisi toxic marriage, sebuah pernikahan yang beracun. Di mana pernikahan hanya melahirkan penderitaan. Pernikahan hanya melahirkan kesengsaraan dalam masa panjang.
"Penderitaan tidak selalu bersifat fisik. Itu bisa bersifat psikologis yang tidak meninggalkan bekas luka tetapi bisa sama merusaknya," ujar Syaikh. "Tidak ada yang harus menderita karena keluarga mereka ingin mempertahankan citra di masyarakat bahwa mereka baik-baik saja", lanjut Syaikh.
Penghargaan Terhadap Perempuan
"A woman is not rewarded for staying in a bad marriage. If her mental and emotional well-being, safety or home are at risk from a violent or alcoholic husband etc she must leave" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Penghargaan terhadap seorang perempuan, bukan karena ia mampu bertahan dalam pernikahan yang buruk. Menurut Syaikh Haytham, jika kesejahteraan mental dan emosionalnya, keamanan atau rumahnya terancam oleh suami yang kejam atau alkoholik, dia harus pergi untuk menyelamatkan diri.
Terkadang muncul stigma negatif secara general, terhadap perempuan yang pergi meninggalkan suami. Jika suami yang ditinggalkan adalah lelaki salih, yang bertakwa kepada yang berakhlak dan beradab mulia, tentu perginya perempuan dari rumah suami adalah tindakan maksiat.
"She is not rewarded for her patience by staying in such a marriage. She is only prolonging the suffering" --Syaikh Haytham Tamim, 2019.
Namun jika suami yang ditinggalkan adalah lelaki yang bejat, yang tidak menjalankan kewajiban pokok agama seperti shalat lima waktu, puasa Ramadan dan lain sebagainya, yang hobi melakukan kemaksiatan dan perbuatan dosa, tentu perginya istri salihah adalah dalam rangka menyelamatkan kebaikan diri dan anak-anak.
Terlebih jika sudah menyangkut nyawa, pergi dari rumah suami yang melakukan tindakan membahayakan jiwa adalah keharusan. "Seorang istri tidak mendapat penghargaan atas kesabarannya dengan tetap bertahan dalam pernikahan buruk seperti itu. Dia hanya memperpanjang penderitaan", ujar Syaikh Haytham.
Semestinya, pernikahan bisa dinikmati, karena penuh dengan keindahan dan kebahagiaan. Bukan penjara mengerikan yang berisi siksaan fisik maupun psikis. "Tidak ada pernikahan yang harus dipenuhi dengan ketakutan. Jika ada ketakutan, maka berarti ada masalah dalam pernikahan itu", ungkap Syaikh Haytham.
Bahan Bacaan
Shaykh Haytham Tamim, Marriage is Not a Life Sentence, https://www.utrujj.org, 27 Juni 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI