Di mata Sri, Joko adalah suami yang pemalas, senang bersantai-santai, dan tidak memiliki semangat untuk mencapai sesuatu yang lebih baik di masa depan. Joko adalah lelaki yang apatis dan statis, tidak memiliki visi.Â
Itu sebabnya, Sri melihat Joko tidak akan bisa kaya dan tidak akan bisa bahagia karena hidupnya terlalu santai tanpa target yang jelas.
Sikap-sikap santai Joko ini yang membuat Sri menjadi semakin tertekan dan tidak nyaman. Ia membandingkan dengan kedua orang tua serta saudara-saudaranya yang sangat disiplin dalam segala sesuatu.
Sebaliknya, Joko merasa stres karena sikap perfect Sri dalam menjalani kehidupan. Semua harus direncanakan, semua harus dengan target, tolok ukur, indikator, evaluasi, manajemen, pengawasan, dan lain sebagainya. Itu semua terasa menyiksa dan menjadi beban bagi Joko.
Di mata Joko, Sri adalah tipe wanita materialistis, suka menuntut suami, dan tidak pernah bersyukur dengan apa yang dimiliki. Menurut Joko, Sri adalah istri yang obsesif dengan harta kekayaan, segala sesuatu diukur dengan uang dan jabatan.
Itu sebabnya Joko melihat Sri tidak bisa bahagia, karena selalu bersikap ngoyo dan tidak pandai bersyukur. Joko selalu mengajak Sri untuk hidup sederhana dan menikmati serta mensyukuri apa yang ada.Â
Sikap Sri yang selalu mempersoalkan visi, strategi, evaluasi dan target-target dalam kehidupan berumah tangga, semakin membuat Joko menjadi tertekan dan tidak nyaman.
Setiap kali Sri menanyakan, "apa visi hidupmu, apa target tahun ini, apa strategi untuk mencapainya, apa indikator keberhasilannya", semua pertanyaan ini terasa sebagai siksaan yang sangat tidak menyenangkan bagi Joko. Dirinya merasa diteror dan diadili oleh Sri setiap hari.
Pertengkaran demi pertengkaran tidak terelakkan lagi. Sepuluh tahun hidup bersama, anak sudah tiga, namun pertengkaran tidak juga mereda. Bahkan semakin lama terasa semakin menyiksa bagi keduanya.
Apa Keluhan Mereka?
Perhatikan keluhan Sri berikut ini.