Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bagaimana Menaklukkan Hati Mertua?

29 Agustus 2021   09:56 Diperbarui: 30 Agustus 2021   11:03 765
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, beliau sangat menghargai orang yang rajin bekerja dan tidak suka melihat orang menganggur.

Ketiga, bahasa cinta beliau adalah pelayanan atau act of service. Beliau sendiri sangat senang melayani ayah kandung saya. Luar biasa cara ibu saya dalam melayani ayah saya. Ini kami lihat secara nyata. 

Keempat, walau suka bicara vulgar apa adanya, namun intonasi suara beliau tidak tinggi. Maka beliau tidak suka orang yang berbicara dengan intonasi tinggi --- bahasa Jawanya: bengok-bengok.

Nah, hal-hal ini saya sampaikan secara baik-baik kepada istri saya, agar ia mengerti bagaimana cara berinteraksi yang menyenangkan ibu saya. Alhamdulillah istri saya bisa mengerti dan berusaha untuk menyesuaikan diri.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi

Kedua, Memulai Proses Melelehkan Hati Ibu Mertua

Di awal-awal kami hidup berumah tangga, saat saya mengajak istri silaturahmi ke rumah orangtua saya, berbagai hal sudah saya sampaikan untuk ia lakukan. Kami tinggal di lereng gunung Merapi, Yogyakarta, sedangkan orangtua saya tinggal di lereng gunung Lawu, Karanganyar. Perjalanan sekitar empat jam dengan naik bus umum kami tempuh, sambil 'mengkondisikan' istri saya sebelum ketemu orangtua saya.

Saya bilang begini kepada istri saya, "Pertama, kamu jangan tersinggung jika ibu saya biasa berkomentar vulgar. Misalnya kita membawa oleh-oleh gudeg khas Jogja saat silaturahim, maka bersiaplah jika ibuku akan berkomentar secara vulgar tentang penilaian beliau terhadap gudeg yang kita bawa."

Benar saja, setelah sampai di rumah orangtua, gudeg kami sampaikan, dan langsung dicicipi oleh ibu. Secara spontan ibu saya berkomentar, "Gak enak. Gudeg apaan ini?" saya sama sekali tidak terkejut oleh pernyataan vulgar ini.

Namun istri saya masih kaget, walau sudah saya beri tahu kebiasaan ibu. Coba kalau tidak saya beri tahu terlebih dahulu, mungkin istri saya akan sangat tersinggung oleh penilaian tersebut. Bahkan mungkin dianggap sebagai penghinaan.

"Kedua, kalau kamu berbicara dengan ibuku, gunakan suara yang lembut dan nada rendah. Jangan pernah menggunakan nada tinggi, karena ibuku berdarah Kraton. Kakekku adalah abdi dalem Kraton Solo, wajar jika ibu sangat menjaga tata krama Kraton dalam berbicara."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun