Kami semua langsung menyantap aneka hidangan sedap tersebut. Sungguh lezat, semua terasa tepat dengan situasi perbukitan Menoreh yang dingin.
"Bersyukur, banyak tokoh penting pernah mampir ke Kedai ini. Nak mas Agung Sedayu, Nak mas Untara, Ki Tanu Metir, Ki Tambak Wedi, Ki Sumangkar pernah duduk di tempat ini. Bahkan anak-anak muda kampus, seperti Glagah Putih, Sidanti dan Swandaru Geni, sering datang ke sini", ujar Ki Gede Menoreh.
“Apakah Pandan Wangi ada di rumah, Ki Gede?” tanya Ki Demang Gambiran. Pandan Wangi adalah putri Ki Gede.
“Benar Ki Demang, ia sedang di rumah. Beberapa waktu lalu Sekar Mirah, dan Rara Wulan, adik kandung Ki Teja Prabawa, mampir ke sini”, jawab Ki Gede.
Tidak terasa, semua jajanan sudah kami habiskan. Kopi Menoreh yang sangat lezat sudah kami nikmati, disertai obrolan yang menyenangkan
"Hampir fajar", desis Ki Gede Menoreh tiba-tiba.
"Belum Ki Gede. Masih panjang. Sekarang baru masuk waktu shalat Duhur. Kami minta izin untuk menunaikan shalat", ujar saya.
Kami semua menunaikan shalat berjama'ah di pringgitan yang digunakan untuk mushalla, dipimpin Kiai Gembira Loka. Suasana sejuk perbukitan membawa kami kepada shalat yang khusyuk. Saya lihat Ki Gede Menoreh ikut menjalan ibadah shalat Duhur bersama kami.
Dialog imajiner di atas, adalah setting dalam serial kisah Api di Bukit Menoreh karya SH. Mintardja yang sangat melegenda. Inilah yang akan menjadi latar dalam buku Ngopi di Bukit Menoreh --yang sedang saya siapkan bersama tim.
Lelaki mengenakan iket dan baju sorjan yang saya sebut Ki Gede Menoreh itu adalah Pak Rohmat, pemilik Kedai Kopi di perbukitan Menoreh. Terlahir di Kulonprogo 25 Desember 1965 dari keluarga petani. Rohmat adalah nama yang disematkan oleh kedua orangtua kepada dirinya semenjak lahir. Namanya pendek, Rohmat, namun maknanya panjang.