Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Memahami Remaja Melalui Novel "Zahra"

6 November 2020   09:32 Diperbarui: 6 November 2020   09:36 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
zahra, dokumen pribadi

Gap, itulah yang sekarang terjadi. Ya, kesenjangan. Bahkan telah menjadi problem kemanusiaan yang saat besar di era industri 4.0 saat ini. Gap di semua lini.

Teknologi, ini yang menjadi biang keladi. Teknologi itu ambigu. Memiliki dua sisi yang berlawanan. Ia mendekatkan, namun juga menjauhkan. Ia menyatukan, namun juga memisahkan.

Di satu sisi, teknologi komunikasi mampu menyatukan banyak orang dalam satu grup chating. Mendekatkan orang-orang yang tinggal secara berjauhan. Serasa di hadapan. Bahkan antarnegara. Serasa dekat.

Bahkan uniknya, "mendekatkan" juga bisa bermakna "mengaburkan". Batas-batas cinta dan benci, batas-batas bahagia dan derita, batas-batas penghormatan dan penghinaan, terkadang menjadi bias dan tidak terlalu jelas. Mendekat, namun kabur.

Di sisi lain, teknologi komunikasi telah membuat jarak yang kian berarti. Memisahkan orangtua dengan anak, memisahkan guru dengan murid, memisahkan semakin jauh direktur dengan staf.

Inilah sifat ambigu dari teknologi. Semua orangtua dan guru, harus memamahi persis sisi ini.

Dalam bukunya Digital Natives, Digital Immigrant, Marc Prensky memberikan penjelasan yang cukup gamblang tentang kesenjangan komunikasi antara para guru dan muridnya. Menurutnya, teknologi telah mengubah cara murid berpikir dan memproses informasi sehingga sulit bagi mereka untuk unggul secara akademis jika dididik menggunakan metode pengajaran yang sudah usang.

Saat ini, kebanyakan guru adalah adalah generasi yang lahir sebelum 1990. Saat mereka lahir hingga dewasa, teknologi belum semodern sekarang. Sedangkan para muridnya adalah generasi yang lahir ketika teknologi sudah begitu di dekat. Maka, murid-murid masa kini memiliki karakteristik yang khas, berbeda dengan generasi pendidiknya.

Karakter ini terbentuk salah satunya dari respons atas berbagai perkembangan lingkungan dinamis yang melingkupi mereka. Guru harus memahami karakter ini, agar bisa menempatkan diri secara tepat dalam mendidik, membina, mengarahkan dan mendampingi mereka menuju keluhuran nilai sebagai hamba Allah yang beriman dan bertakwa.

Memahami Remaja

Zahra dan Iwan, tokoh dalam novel Zahra karya Yessy Eria (2020), adalah representasi remaja produk teknologi. Salah satu sifat remaja era industri 4.0 adalah senang menuntut kebebasan. Sebagaimana ciri era digital, ketika orang bebas mengakses sumber informasi dari mana pun, maka mereka ini tidak suka dibatasi dalam akses informasi.

Sifat ini harus dipahami guru sebagai sebuah keniscayaan. Tidak mungkin memaksa murid untuk menjadi "anak penurut nan pasrah" seperti mereka dulu, namun perlu dituntun agar tidak salah arah. Hendaknya selalu dalam koridor yang positif dan konstruktif.

Coba simak ulasan di buku ini.

Berhadapan dengan Zahra aku serasa de javu.Sebagai wali kelas tentu aku juga merasa kecolongan. Selain itu, aku juga merasa Zahra telah memberiku pengajaran tentang pentingnya sebuah PERHATIAN dan sebagai guru kita tak boleh lengah apa lagi sampai ceroboh dalam memperhatikan setiap detail laku siswa.

Jika kita cermati, remaja era industri 4.0 cepat berpindah-pindah perhatian dari hal menarik yang satu ke hal menarik lainnya. Tidak betah berlama-lama melakukan aktivitas. Rentang perhatian yang pendek membuat mereka ini cenderung melakukan aktivitas multitasking. Guru perlu memiliki banyak kreativitas saat mendidik anak, agar tidak membosankan.

Remaja masa kini juga memiliki banyak akun media sosial untuk menyatakan eksistensi. Dalam dunia digital, mereka bisa hadir dan diakui sebagai individu. Benar-benar sebagai diri mereka sendiri. Hal ini sangat mereka senangi. Guru harus berusaha untuk mengarahkan agar ekspresi mereka selalu dalam koridor positif konstruktif.

Remaja mampu berpikir cepat seperti membaca tweet atau membaca berita pendek. Dampaknya, mereka tahu banyak hal tapi hanya pada sisi permukaan saja, tidak mengetahui detailnya.

Melalui teknologi, remaja bisa belajar banyak konten untuk mendalami ilmu agama. Sayangnya, jika mencari pengetahuan agama melalui Youtube, tidak mengaji langsung kepada ustaz atau ulama, mereka hanya mendapatkan pengetahuan tentang agama, namun tidak mendapatkan adab. Maka muncul banyak orang pintar tetapi kurang beradab.

Remaja dibiasakan dengan segala sesuatu yang serba instan, karena sudah tersedia semua kebutuhan belajar mereka. Tidak perlu menghafal rumus kimia atau matematika, tidak perlu mengikuti proses logis, semua tinggal ditanyakan ke mesin pencari.

Murid masa kini lebih memilih belajar dengan mencari sendiri konten di dunia digital melalui mesin pencari. Mereka lebih suka mengakses video tutorial atau bahan pembelajaran melalui berbagai situs, daripada mengerjakan PR dari sekolah.

Murid masa kini bukan hanya mengunduh tapi juga mengunggah konten. Mereka merasa tidak eksis bila tidak mengunggah konten. Maka banyak waktu mereka habiskan untuk aktivitas unduh dan unggah ini.

Sedemikian seru kondisi murid masa kini, anak-anak generasi digital. Keseluruhan karakter murid-murid masa kini di atas bukan sekadar untuk dimaklumi dan dibenarkan, namun justru untuk diarahkan agar semua selalu berada dalam koridor positif dan konstruktif. Jangan sampai sifat-sifat khas mereka justru membuat mereka berada dalam keadaan negatif serta destruktif, na'udzubillah min dzalik.

Guru harus selalu meningkatkan kapasitas dan kapabilitas agar bisa berperan dalam zaman yang semakin digital ini. Jangan sampai terpental di era digital. Nah, lalu bagaimana mendidik dan mengarahkan anak-anak pada era digital ini?

Novel Zahra karya Eria mengisahkan tentang perjuangan Sisi, seorang guru menghadapi muridnya yang tidak mudah ditaklukkan. Zahra namanya. Bagaimana ia menangani murid dan bagaimana ia mengelola emosi sebagai seorang guru, kita bisa mencontoh dan menjadikannya referensi.

Penulis novel ini adalah seorang guru. Ia bergelut dengan realitas dunia pendidikan, menemukan banyak realitas murid yang tak mudah 'ditaklukkan'. Aktivitas mengajar membuatnya mengamati berbagai macam fenomena, kemudian menuangkannya dalam bentuk novel seru ini untuk menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Sangat banyak Zahra di sekitar kita, yang harus dimengerti dan disapa dengan penuh cinta. Karena Zahra-Zahra ini adalah masa depan Indonesia.

Bahan Bacaan

Yessy Eria, Zahra, DD Publishing, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun