Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lepas Anakmu Pergi Jauh, Agar Menjadi Manusia Tangguh

4 November 2020   20:32 Diperbarui: 4 November 2020   20:39 2541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melepas anak adalah peristiwa yang sangat memilukan bagi orangtua. Apalagi kepergian jauh dan lama, di saat orangtua masih ingin memeluknya.

Namun keinginan orangtua untuk terus menerus mendekap anak, adalah tindakan yang tak membuat mereka menjadi dewasa. Harus selalu diingat, usia orangtua akan semakin menua. Mungkin akan dipanggil lebih dahulu daripada anak-anaknya.

Sebagai orangtua kita tak bisa berjanji untuk terus menerus menemani dan membersamai anak-anak. Suatu saat, kita pasti harus melepas mereka. Untuk alasan apapun. Tak mungkin mereka akan selalu diurus orangtua.

Maka melepas anak ke Pondok Pesantren, adalah salah satu pilihan yang mendewasakan. Semua demi masa depan. Bukan karena orangtua tak sayang kepada anak, bukan karena tak mau mengurus anak.

Ada nilai-nilai di Pondok Pesantren yang tak akan bisa didapatkan di rumah. Suasana kebersamaan, nuansa kebaikan yang dibangun di dalamnya, keteladanan dan adab mulia dari para ustadz dan ustadzah, adalah value yang sangat dalam maknanya.

Pada saat memutuskan belajar di Pesantren, orangtua harus mendialogkan masak-masak dengan anak. Agar menjadi keputusan bersama. Agar anak tidak merasa terpaksa. Bahkan anak mampu memilih dengan sepenuh kesadaran dirinya.

Setelah sepakat belajar di Pondok Pesantren, lepaskan anak dengan sepenuh keikhlasan. Wajar jika merasa berat dan sedih, apalagi saat anak masih tampak mungil selepas sekolah SD. Rasanya belum tega melepasnya mandiri.

Kerinduan yang Tak Tertahankan

Saat anak-anak masuk Pesantren setingkat SMP, sangat banyak dijumpai suasana sendu dan haru di bulan-bulan pertama. Keluarga yang merasa kehilangan anak. Sementara si anak masih memerlukan adaptasi di lingkungan Pesantren yang baru dimasuki.

Bulan pertama terasa sangat berat. Namun, kunci semua terletak pada sikap orangtua. Saat orangtua diperbolehkan menengok untuk pertama kalinya, di sinilah ujian berat yang dialami banyak keluarga.

Masih banyak dijumpai anak-anak yang menangis, minta ikut pulang saat orangtuanya datang. Ketika orangtua tidak tegas, maka pendirian anak bisa goyah. Mungkin saja mereka akan minta pindah sekolah yang dekat dengan rumah.

Jika orangtua bersikap bijak, anak akan tetap tenang. Wajar jika anak menangis dan sedih, namun orangtua tidak boleh baper. Ketenangan dan kebijakan sikap orangtua, akan membuat anak menjadi lebih dewasa dan bisa tegar menghadapi kehidupan Pesantren.

Kisah Azzam, seorang santri di Pondok Pesantren Darul Quran Mulia, adalah salah satu contohnya. Awal masuk Pesantren, adalah hal yang berat bagi kedua orangtua, adik-adik, dan Azzam sendiri. Apalagi saat kunjungan pertama.

Saya cuplikkan kisah yang ditulis sang ibu, Endang SP Usman, dalam buku Azzam Penggenggam Quran (2020). Kisah saat keluarga pertama kali menjenguk Azzam di Pesantren. Berikut kisahnya.

Menjenguk Azzam

Hari itu terasa istimewa. Setelah kami berpisah selama dua pekan menahan rindu. Kebahagiaan begitu terasa. Alhamdulillah ya Rabb.

Setelah shalat berjamaah, kami makan bersama. Menu yang dipesan berbeda-beda. Ada yang maunya ikan, ada yang ayam goreng. Tidak ketinggalan tahu dan tempe goreng. Semua menikmati makanan yang disediakan. Ada keceriaan di wajah anak-anak.

Setelah selesai makan dan cukup istirahat, satu per satu anak-anak masuk ke mobil. Tapi ada satu anak yang tak ingin berpisah. Suara tangis pun pecah. Kubelai rambut yang ada di pangkuanku. Ya, Azzam tidak mau bangun. Masih tiduran di pangkuanku, masih ingin melepas rindu tampaknya.

"Mas... Mas kenapa? Mas enggak betah? Atau ada masalah? Coba cerita ke Ummi, Sayang?" Aku membujuknya supaya mau cerita.

Masih tetap bergeming.

Aku peluk dan kucium keningnya sambil kubisikkan, "Mas, kamu anak hebat. Kita semua sayang sama kamu. Ummi abi juga sedih. Tiap hari ingat kamu".

"Tapi, berpisahnya kita untuk kebaikan. Insya Allah nanti kamu akan jadi anak yang hebat, Mas."

"Ingat dari awal kita kan sudah berkomitmen. Di luar sana sangat berbahaya, Nak. Kamu lebih aman di pondok insya Allah."

Kembali aku meyakinkan Azzam.

"Mas, ada masalah?" Aku bertanya lagi.

Azzam menggelengkan kepala.

"Ada yang susah?" tanyaku penasaran.

Azzam kembali menggelengkan kepala.

"Masih kangen sama Ummi?" Airmataku pun jatuh.

Kupeluk erat tubuh mungilnya.

"Rabbi, kuatkan kami." Aku berteriak dalam hati.

"Kalau kamu mau nangis, gak apa-apa nangis aja. Puaskan di sini."

Yang terjadi, hanya sesenggukan. Mungkin karena laki-laki berbeda dengan perempuan yang menangis menjerit.

"Ummi juga kangen kamu, Mas. Semua kangen sama kamu. Adik-adik juga sering nangis kalau kangen sama kamu, dan protes kenapa Mas di pondok? Kan kasihan."

Kisah sedih seperti itu, sangat banyak kita saksikan saat menjenguk pertama di Pesantren tingkat SMP. Mereka anak-anak yang baru saja lulus SD, belum pernah berpisah dari orangtua. Maka diperlukan ketegaran orangtua untuk melepas anak pergi jauh, agar kelak mereka menjadi pribadi yang tangguh.

Berbuah Manis Hingga Surga

Dengan ketegaran sikap ayah dan ibu, Azzam semakin kerasan di Pesantren. Bukan saja selesai tingkat SMP, ia melanjutkan lagi saat SMA di Pesantren yang sama. Enam tahun Azzam belajar di Pondok Darul Quran Mulia.

Tiba saatnya yang sangat membahagiakan orangtua. Tahun keenam tidak terasa. Ketika Azzam dinyatakan telah menghafal 30 juz Al Quran. Azzam telah menjadi hafizh Quran. Azzam telah menjadi penggenggam Quran dalam jiwanya.

Wisuda hafizh Quran terasa sangat mebgharukan. Lebih mengharukan dibanding saat menjenguk Azzam di Pesantren enam tahun lalu.

"Ummi... makasih ya sudah memberikan yang terbaik buatku." Suara Azzam di sela-sela tangisan bahagia, saat wisuda Hafizh Quran.

Azzam memakaikan mahkota kepada ibunda dan mereka berdua berpelukan erat. Azzam berlutut dan mencium kedua tangan ibunda. Suasana semakin mengharu biru.

Tangisan mereka pecah tak bisa ditahan. Tangisan bahagia atas nikmat-Nya. Nikmat hidangan yang disediakan oleh Allah kepada para penghafal Quran.

Diriwayatkan oleh Muadz Al-Juhani bahwasanya Rasulullah Saw bersabda, "Barangsiapa yang menghafal Al-Quran dan mengamalkan isinya, maka akan dipakaikan kepada kedua orangtuanya mahkota pada hari kiamat." (HR. Abu Dawud).

Bahan Bacaan

Endang SP Usman, Azzam Penggenggam Quran, Roman Muda Pengasuhan, Wonderful Publishing, Yogyakarta, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun