Jika orangtua bersikap bijak, anak akan tetap tenang. Wajar jika anak menangis dan sedih, namun orangtua tidak boleh baper. Ketenangan dan kebijakan sikap orangtua, akan membuat anak menjadi lebih dewasa dan bisa tegar menghadapi kehidupan Pesantren.
Kisah Azzam, seorang santri di Pondok Pesantren Darul Quran Mulia, adalah salah satu contohnya. Awal masuk Pesantren, adalah hal yang berat bagi kedua orangtua, adik-adik, dan Azzam sendiri. Apalagi saat kunjungan pertama.
Saya cuplikkan kisah yang ditulis sang ibu, Endang SP Usman, dalam buku Azzam Penggenggam Quran (2020). Kisah saat keluarga pertama kali menjenguk Azzam di Pesantren. Berikut kisahnya.
Menjenguk Azzam
Hari itu terasa istimewa. Setelah kami berpisah selama dua pekan menahan rindu. Kebahagiaan begitu terasa. Alhamdulillah ya Rabb.
Setelah shalat berjamaah, kami makan bersama. Menu yang dipesan berbeda-beda. Ada yang maunya ikan, ada yang ayam goreng. Tidak ketinggalan tahu dan tempe goreng. Semua menikmati makanan yang disediakan. Ada keceriaan di wajah anak-anak.
Setelah selesai makan dan cukup istirahat, satu per satu anak-anak masuk ke mobil. Tapi ada satu anak yang tak ingin berpisah. Suara tangis pun pecah. Kubelai rambut yang ada di pangkuanku. Ya, Azzam tidak mau bangun. Masih tiduran di pangkuanku, masih ingin melepas rindu tampaknya.
"Mas... Mas kenapa? Mas enggak betah? Atau ada masalah? Coba cerita ke Ummi, Sayang?" Aku membujuknya supaya mau cerita.
Masih tetap bergeming.
Aku peluk dan kucium keningnya sambil kubisikkan, "Mas, kamu anak hebat. Kita semua sayang sama kamu. Ummi abi juga sedih. Tiap hari ingat kamu".
"Tapi, berpisahnya kita untuk kebaikan. Insya Allah nanti kamu akan jadi anak yang hebat, Mas."