Berbagai studi yang dilakukan oleh banyak ahli menunjukkan, laki-laki dan perempuan memang memiliki banyak perbedaan, termasuk struktur otak mereka. Hal ini berpengaruh terhadap interaksi dan komunikasi di antara mereka. Laki-laki dan perempuan juga berbeda dalam menghadapi kecemasan atau permasalahan hidup.Â
Jurnal Psychological Review terbitan Juli 2000 mengungkapkan bahwa laki-laki dan perempuan mengatasi kecemasan dengan cara berbeda. Umumnya perempuan cenderung mencari tempat curhat dari rekan-rekan perempuannya. Mengungkapkan rasa takut, mencari perhatian dari sesama perempuan, ternyata mampu menurunkan tingkat kecemasan. Di Indonesia, program curhat kepada Mamah Dedeh sangat digemari ibu-ibu.
Hormon adrenalin lelaki mengajaknya menghadapi tantangan dengan perlawanan, fight. Namun jika ia merasa tidak nyaman untuk melawan, akan cenderung menghilang, ini yang disebut flight.
Saat lelaki merasa mendapat perlakuan tidak nyaman dari orang lain, ia akan menghadapi dengan konfrontasi, fight. Namun ketika perlakuan itu datang dari sang istri, ia tidak "tega" untuk menunjukkan sikap fight. Ia sadar sepenuhnya harus mengasihi dan melindungi sang istri. Ia sadar sepenuhnya tak boleh menyakiti istri.
Untuk itu ia memilih menghilang, flight. Banyak laki-laki akan berusaha menghindar ketika istrinya mulai mengatakan, "Kita harus bicara...". Kalimat hal itu dipahami oleh laki-laki bahwa mereka harus mengungkapkan perasaan. Ini adalah ketidaknyamanan tersendiri bagi kebanyakan laki-laki.
Ketika laki-laki memilih sikap flight, menjauh dari pasangan, membuat sang istri merasa dilecehkan. Mereka akan berpikir bahwa sang suami adalah sosok yang tidak bertanggung jawab.
"Diajak bicara belum selesai, malah pergi. Benar-benar tidak bertanggung jawab", demikian pikiran dan perasaan sang istri.
Padahal menghilangnya suami adalah upaya untuk menghindarkan sang istri dari sikap fight yang bisa lebih menyakitkan. Suami memilih untuk flight, bukan fight, saat menghadapi sang istri, agar tak ada kekerasan yang dilakukan kepada istri.
Hal yang diperlukan adalah kemampuan membangun kohesi --yang oleh Prof. Olson didefinisikan sebagai emotional closeness. Jika suami istri telah mampu membangun sikap sebagai "libas" atau pakaian sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur'an, artinya mereka telah memiliki kohesi.
Kedekatan dan kehangatan emosional antara suami dan istri inilah yang menyebabkan mereka mudah berkomunikasi satu dengan yang lain. Tanpa kohesi, berbagai teori komunikasi yang pernah mereka pelajari tak akan mampu menyelamatkan pernikahan. Berbicara menjadi hal yang sulit, dan sering menghasilkan salah paham.