Semua berproses, semua berubah, semua beradaptasi, demi mencapai titik keseimbangan yang tepat bagi kebahagiaan dan keutuhan keluarga.
Semula laki-laki dan perempuan adalah pribadi mandiri yang memiliki kebebasan penuh untuk menentukan cita-cita, harapan dan keinginannya.Â
Sebagai lajang, mereka bebas mengekspresikan semua proposal masa depannya. Namun setelkah menikah, cita-cita, keinginan dan harapan harus mengalami proses adaptasi.Â
Jika perlu ditulis ulang secara bersama, agar menjadi pernyataan cita-cita, harapan dan keinginan kolektif sebagai keluarga.
Hanum harus beradaptasi dengan seorang lelaki yang menikahinya. Meraih mimpi, harus dalam bingkai kerelaan suami. Rangga harus beradaptasi dengan  seorang istri yang dinikahinya.Â
Meraih cita-cita, akan menjadi indah apabila selalu bersamanya. Inilah keharusan adanya adaptasi yang tak bisa dielakkan oleh suami dan istri sepanjang kehidupan pernikahan.
Ruang Kompromi
Terkaang suami harus merelakan bagian-bagian dari cita-cita dan keinginannya tidak tercapai sepenuhnya. Demikian pula terkadang istri harus merelakan bagian-bagian dari cita-cita dan keinginannya tidak tercapai sepenuhnya.Â
Hal ini setelah melalui serangkaian dialog, dan melakukan proses adaptasi bersama pasangan. Pada titik ini, sering kali terasa menyakitkan, apabila tidak disertai dengan kesadaran dan penerimaan yang utuh atas makna pernikahan.
"Kamu memilih kerja, atau aku?" pertanyaan Rangga yang terdengar sebagai suara halilintar di siang hari bolong.
"Apakah hanya karena menikah dengan kamu, aku harus mengubur mimpi yang sudah aku bangun sejak empat tahun yang lalu?" demikian pikiran Hanum.