Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Jangan Bingung Nak, Kita Akan Puasa Arafah 21 Agustus dan Idul Adha 22 Agustus

16 Agustus 2018   13:13 Diperbarui: 16 Agustus 2018   13:20 3681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anakku, sebenarnya perbedaan pendapat di antara para ulama dalam hal ini sudah terjadi sejak zaman dahulu kala. Perbedaan tentang menetapkan waktu kalender Hijriyah, apakah menggunakan metode ru'yatul hilal ataukah metode hisab. Jika menggunakan metode ru'yatul hilal, apakah menggunakan asumsi bahwa tempat melihat hilal (mathla') untuk seluruh negara adalah sama (satu), ataukah berbeda-beda sesuai negara masing-masing. Jika menggunakan metode hisab, apakah dengan pendekatan wujudul hilal atau imkaniyatur ru'yat. Ini semua adalah contoh perbedaan pendapat yang sudah ditemukan sejak dulu.

Oleh karena sangat banyak ragam pendapat, maka kita bisa memilih sebuah pendapat, tanpa menyerang, menjelekkan, melecehkan atau melarang pendapat yang lain. Anakku, kita tahu sebagian ulama memang berpendapat, puasa Arafah 9 Dzulhijjah waktunya harus bersamaan dengan peristiwa wuquf Arafah para jama'ah haji. Bukan menggunakan waktu lokal di setiap negara, tetapi menyesuaikan diri dengan prosesi jama'ah haji. Kita menghormati pendapat ini, karena para ulama memiliki argumen yang juga kuat.

Namun apabila kita menggunakan pendapat NU, Muhammadiyah maupun Keputusan Pemerintah RI, kita juga memiliki argumen yang kuat. Coba kita perhatikan landasan dari hadits Nabi Saw berikut ini. Dari Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, "Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

, ,

"Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya'ban menjadi 30 hari)." (Muttafaqun 'alaih. HR. Bukhari no. 1906 dan Muslim no. 1080).

Anakku, hadits Nabis Saw di atas menegaskan, bahwa yang dijadikan patokan adalah hilal di negeri masing-masing. Bukan berpatokan dengan hilal di Saudi. Selain hadits tersebut, ada pula riwayat yang menguatkan bahwa yang dijadikan patokan adalah masuknya waktu di masing-masing negara. Kisah dari Kuraib, bahwa Ummu Fadhl bintu Al Harits pernah menyuruhnya untuk menemui Muawiyah di Syam, dalam rangka menyelesaikan suatu urusan.

Kuraib menceritakan, "Setibanya di Syam, saya selesaikan urusan yang dititipkan Ummu Fadhl. Ketika itu masuk tanggal 1 Ramadhan dan saya masih di Syam. Saya melihat hilal malam jumat. Kemudian saya pulang ke Madinah. Setibanya di Madinah di akhir bulan, Ibnu Abbas bertanya kepadaku, "Kapan kalian melihat hilal?" tanya Ibnu Abbas. Kuraib menjawab, "Kami melihatnya malam Jumat." "Kamu melihatnya sendiri?", tanya Ibnu Abbas. "Ya, saya melihatnya dan penduduk yang ada di negeriku pun melihatnya. Mereka puasa dan Muawiyah pun puasa," jawab Kuraib.

Ibnu Abbas menjelaskan, "Kalau kami melihatnya malam Sabtu. Kami terus berpuasa, hingga kami selesaikan selama 30 hari atau kami melihat hilal Syawal." Kuraib bertanya, "Mengapa kalian tidak mengikuti ru'yah Muawiyah dan puasanya Muawiyah?" Jawab Ibnu Abbas, "Tidak, seperti ini yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada kami." (HR. Muslim no. 1087).

Kisah ini menjadi dalil bahwa yang dijadikan patokan adalah hilal di negeri sendiri, yang tidak mesti sama dengan hilal di Saudi Arabia. Imam Nawawi rahimahullah membawakan judul untuk hadits Kuraib ini, "Setiap negeri memiliki penglihatan hilal secara tersendiri. Jika mereka melihat hilal, maka tidak berlaku untuk negeri lainnya."

Imam Nawawi rahimahullah juga menjelaskan, "Hadits Kuraib dari Ibnu 'Abbas menjadi dalil untuk judul yang disampaikan. Menurut pendapat yang kuat di kalangan Syafi'iyah, penglihatan ru'yah (hilal) tidak berlaku secara umum. Akan tetapi berlaku khusus untuk orang-orang yang terdekat selama masih dalam jarak belum diqasharnya shalat." (Syarh Shahih Muslim, 7: 175). Namun sebagian ulama Syafi'iyah menyatakan bahwa penglihatan hilal di suatu tempat berlaku pula untuk tempat lainnya.

Anakku, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah ditanya oleh penduduk Madinah yang sebagian dari mereka telah melihat hilal Dzulhijjah, tetapi belum ada ketetapan dari Hakim Madinah. Apakah mereka berpuasa yang secara dzahir hari itu adalah tanggal 9. sekalipun ada kemungkinan itu adalah tanggal 10. Menjawab pertanyaan tersebut, beliau menyatakan, "Mereka berpuasa di tanggal 9 yang dzahir yang diketahui oleh masyarakat. sekalipun sebenarnya itu bisa saja tanggal 10".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun