Secara tegas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mensahkan hasil ru'yah penduduk Madinah dan tidak menyarankan untuk menunggu keputusan penduduk Mekkah. Hal ini berarti beliau meyakini waktu Idul Adha sesuai dengan terlihatnya hilal di negeri masing-masing.
Anakku, itulah pendapat beberapa ulama klasik zaman dahulu, yang menyatakan bahwa patokan waktu tidaklah mengikuti Saudi, namun kembali kepada negara masing-masing, Sudah jelas ya Nak, jangan bingung. Ini pendapat yang kuat.
Bagaimana Pendapat Ulama Masa Kini?
Anakku, untuk lebih menguatkan kamu, perlu aku nukilkan pendapat ulama mutaakhirin dari Saudi. Syaikh Muhammad Shalih bin Utsaimin, salah seorang ulama kharismatik dari Kerajaan Saudi Arabia, pernah ditanya tentang perbedaan hasil ru'yatul hilal antara satu negara dengan negara lain, mana yang harus diikuti. Beliau hafizhahullah menjawab:
"Perlu diketahui bahwa para ulama berselisih pendapat dalam masalah ru'yah hilal apabila di satu negeri kaum muslimin telah melihat hilal sedangkan negeri lain belum melihatnya. Apakah kaum muslimin di negeri lain juga mengikuti hilal tersebut ataukah hilal tersebut hanya berlaku bagi negeri yang melihatnya dan negeri yang satu mathla' (tempat terbit hilal) dengannya", demikian jawaban beliau.
Lebih lanjut beliau menambahkan, "Pendapat yang lebih kuat adalah kembali pada ru'yah hilal di negeri setempat. Jika dua negeri masih satu matholi' hilal, maka keduanya dianggap sama dalam hilal. Jika di salah satu negeri yang satu matholi' tadi telah melihat hilal, maka hilalnya berlaku untuk negeri tetangganya tadi. Adapun jika beda matholi' hilal, maka setiap negeri memiliki hukum masing-masing. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pendapat inilah yang lebih bersesuaian dengan Al Qur'an, As Sunnah dan qiyas".
Pada kesempatan lain, Syaikh Utsaimin menjawab, "Permasalahan ini adalah bagian dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah hilal untuk seluruh dunia itu satu ataukah berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah. Pendapat yang benar, hilal itu berbeda-beda mengikuti perbedaan daerah".
Selanjutnya, beliau memberikan contoh kongkrit, "Misalnya di Mekkah terlihat hilal sehingga hari ini adalah tanggal 9 Dzulhijjah, sedangkan di negara lain, hilal Dzulhijjah telah terlihat sehari sebelum ru'yah Mekkah; sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah adalah tanggal 10 Dzulhijjah di negara tersebut. Tidak boleh bagi penduduk negara tersebut untuk berpuasa Arafah pada hari ini karena hari ini adalah hari Idul Adha di negara mereka, yakni sudah 10 Dzulhijjah."
"Demikian pula jika kemunculan hilal Dzulhijjah di negara itu selang satu hari setelah ru'yah di Mekkah, sehingga tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah baru tanggal 8 Dzulhijjah di negara tersebut. Penduduk negara tersebut berpuasa Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah menurut negara mereka, meskipun hari tersebut bertepatan dengan tanggal 10 Dzulhijjah di Mekkah".
Syaikh Utsaimin menambahkan, "Sebagaimana manusia bersepakat bahwa terbitnya fajar serta tenggelamnya matahari itu mengikuti daerahnya masing-masing, demikian pula penetapan bulan itu sebagaimana penetapan waktu harian (yaitu mengikuti daerahnya masing-masing)". Lihat : Majmu Fatawa wa Rasa'il Fadhilah asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Sudah sangat banyak pendapat yang menguatkan argumen, puasa Arafah dan Idul Adha tidak harus sama dengan waktu di Arab Saudi dan jama'ah haji. Semoga engkau semakin paham, anakku.