Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tenang Saja, Tidak Ada Pelakor di Sekitar Kita

26 Februari 2018   16:41 Diperbarui: 26 Februari 2018   17:10 4691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Thinkstock

Media sosial mudah membuat berbagai aktivitas privat menjadi konsumsi publik. Berbagai peristiwa yang sebenarnya biasa saja, bisa viral akhirnya berubah menjadi luar biasa. Terkadang menimbulkan dampak penasaran berlebihan, kekhawatiran berlebihan, ketakutan berlebihan, yang semata-mata didasarkan pada sejumlah informasi yang bertubi-tubi memenuhi ruang chatting warga dunia maya. Inilah konsekuensi dan dampak perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang terlampau cepat, lebih cepat dari kemampuan kita mencerna semua berita dan peristiwa yang disuguhkannya.

Salah satu yang kebablasan belakangan ini adalah tuduhan "pelakor". Kata ini kembali mencuat saat unggahan video kemarahan seorang perempuan yang menuduh perempuan lainnya sebagai pelakor, bermunculan di berbagai media. Bahkan sampai dibuatkan sangat banyak meme dan parodi yang menirukannya. Secara selintas, parodi tersebut menjadi lucu, karena dikemas dengan aneka bumbu. Namun esensinya, penyebaran video tersebut di berbagai media sosial telah menimbulkan sejumlah kekhawatiran berlebihan tentang berkeliarannya para pelakor di sekitar kehidupan keluarga kita.

Benarkah kekhawatiran itu? Perlukah kita cemas dan takut terhadap para pelakor? Emangnya siapa pelakor itu?

Jangan Ada Pelakor di Antara Kita

Dalam kata pelakor, terkandung sebuah tuduhan yang keji. Betapa tidak. Saat kata itu ditudingkan kepada seseorang ---perebut laki orang--- bukanlah hasil dari sebuah pengadilan atau persidangan. Itu adalah istilah sarkasme yang bisa mematikan atau membunuh karakter seseorang yang belum tentu bersalah. Sebuah istilah yang secara emosional bisa mengenai banyak kalangan tanpa mengetahui proses dan kejadian yang sesungguhnya. Tertuduh pelakor pastilah memiliki nilai negatif, salah, jahat, dosa, dan yang semacamnya, padahal belum ada kejelasan tentang duduk perkara sesungguhnya. Tuduhan itu sekaligus meniadakan asas praduga tak bersalah.

Sangat berbeda dengan istilah korupsi. Dalam istilah korupsi, terkandung sebuah gambaran kejadian yang mudah dipahami. Bahwa seseorang menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki untuk mengambil uang, barang atau fasilitas yang bukan haknya. Atau lebih sederhana lagi, seseorang mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Paling tidak ada tiga pihak yang berada dalam perbuatan korupsi. Pertama orang yang melakukan korupsi, disebut koruptor. Kedua, uang, barang atau fasilitas yang diambil oleh koruptor. Ketiga, pemilik dari uang, barang atau fasilitas tersebut. Pemilik ini bisa berupa orang, lembaga atau bahkan negara.

Sebagai contoh, seorang lelaki bernama A, staf di perusahaan XY, mengambil dan menggunakan uang perusahaan sejumlah Rp, untuk kepentingan pribadinya. Dalam contoh ini, si A berlaku salah dengan mengambil dan menggunakan uang sejumlah Rp milik perusahaan XY. Terjadinya tindak korupsi ini ---menurut teori Kepolisian--- disebabkan oleh karena ada niat pelaku dan ada kesempatan. Perusahaan XY menjadi pihak yang dirugikan oleh perbuatan si A. Uang sejumlah Rp tersebut bersifat pasif dan statis, karena berupa benda tak hidup. Ia diam saja saat diambil oleh A. Ia tidak protes ketika digunakan oleh A untuk kepentingan pribadinya.

Nah, dalam kata pelakor, memiliki dimensi yang sangat kompleks, sekaligus meniadakan sisi etika. Anggaplah memang ada pelakor, maka dalam perbuatan merebut suami orang ini, juga ada tiga pihak yang berada di dalamnya. Pertama adalah perempuan pelaku tindakan merebut laki orang, disebut pelakor. Kedua, lelaki yang menjadi suami orang. Ketiga, istri dari suami yang direbut oleh pelakor. Kita lihat dalam konteks ini, tiga-tiganya adalah manusia. Pihak pertama adalah manusia, pihak kedua adalah manusia, pihak ketiga juga manusia. Semuanya manusia.

Misalnya, seorang perempuan bernama P, merebut seorang lelaki bernama L, yang menjadi suami dari seorang istri bernama I. Si P dituduh sebagai pelakor, karena merebut L dari I. Peristiwa "merebut" suami orang, menjadi sesuatu yang sangat rumit dan sulit untuk dibayangkan teknis kejadiannya. Misalnya kita pertanyakan detail kejadian perebutan tersebut. Pertama, kapan P merebut L dari si I ? Kedua, saat P merebut L, apakah si L diam saja dan tidak berontak ? Ketiga, apakah yang dilakukan oleh si I saat terjadinya peristiwa perebutan itu ? Apakah si I diam saja, membiarkan L direbut ? Atau bahkan I tidak tahu bahwa si L sudah direbut P ?

Inilah absurditas tuduhan pelakor. Karena yang direbut itu manusia, seorang lelaki dewasa yang bisa memutuskan apakah dirinya mau direbut atau tidak. Yang direbut bukanlah benda tak bernyawa, yang hanya bisa diam pasif tanpa ada perlawanan dan pemberontakan. Si L mungkin bahkan memiliki fisik yang kuat dan kekar, yang akan bisa mempertahankan diri saat P datang untuk merebut dirinya. Atau, jangan-jangan, si L justru menggoda P untuk merebut dirinya, dan menyodor-nyodorkan dirinya untuk direbut oleh P. Jika demikian, masih layakkah P disebut sebagai pelakor ?

Nah, sangat rumit untuk memahami adanya tindakan merebut suami orang. Sangat keji untuk menuduh seorang perempuan sebagai pelakor, padahal kejadian yang sesungguhnya belum tentu seperti yang tampak dalam tuduhan tersebut. Oleh karena itulah, saya cenderung menganggap bahwa sesungguhnya tidak ada pelakor di sekitar kita. Jika tidak ada, lalu apa yang ada di sekitar kita ?

Tumbu Ketemu Tutup

Fenomena inilah yang sesungguhnya terjadi dan lebih mudah untuk dipahami. Ya, orang Jawa menyebut sebagai "tumbu ketemu tutup". Tumbu adalah wadah makanan yang terbuat dari anyaman bambu. Tumbu dan tutupnya, merupakan sepasang benda yang saling melengkapi, dan sifatnya sangat pas. Tumbu yang ukuran itu, akan pas dengan tutup yang sepadan. Begitu ditemukan, langsung "klik". Tumbu mendapat tutup yang pas, dan tutup berada dalam tumbu yang pas pula.

Ketika tumbu sudah ketemu tutup, maka tampak mereka berdua sebagai pasangan yang saling melengkapi. Inilah gambaran tentang perselingkuhan yang terjadi dalam kehidupan pernikahan. Misalnya seorang suami yang melakukan selingkuh dengan seorang perempuan, pada saat kejadian selingkuh tersebut diketahui pihak lain, sesungguhnya itu bukan merupakan peristiwa sesaat atau peristiwa yang tiba-tiba. Tidak ada selingkuh yang terjadi secara tiba-tiba, semua perselingkuhan melalui proses panjang, hanya saja sering kali tidak diketahui prosesnya. Kebanyakan kasus selingkuh ketahuan setelah kejadian, entah karena tertangkap basah atau karena ditemukan jejak digitalnya.

Nah, pada waktu telah ketahuan perselingkuhan tersebut, bisakah kita definisikan, siapa tumbu dan siapa tutup? Apakah pihak laki-laki yang tumbu dan pihak perempuan sebagai tutup, atau sebaliknya, pihak laki-laki yang tutup dan pihak perempuan sebagai tumbu. Ini menjadi hal yang rumit untuk didefinisikan. Artinya, siapa yang merebut dan siapa yang direbut dalam kasus perselingkuhan, menjadi tidak mudah untuk diurai. Harus mengerti rangkaian kejadian dan proses dari awal, baru bisa memahami apa yang sesungguhnya terjadi pada mereka.

Sangat berbeda dengan kejadian korupsi, di mana si koruptor yang aktif mengambil uang perusahaan atau uang negara, sementara si uang hanya diam saja tanpa bisa melakukan perlawanan dan pembelaan. Pada saat yang sama, pihak perusahaan atau negara yang dirugikan berada dalam situasi lalai atau lengah, tidak mengerti adanya kejadian korupsi tersebut. Dengan kata lain, pihak perusahaan atau negara yang dicuri uangnya, tidak bisa menjaga kekayaannya dengan baik. Uang adalah benda tak bernyawa yang tidak bisa menjaga diri sendiri, maka pemilik uang yang harus menjaga dengan baik.

Sangat sulit membayangkan kejadian perebutan suami orang, dimana si suami adalah manusia dewasa yang punya jiwa. Bukan benda mati, bukan benda tak bernyawa. Bahkan semestinya si suami bisa menjaga diri dan melindungi diri sendiri dari godaan dan gangguan pihak lain. Maka betapa mengherankan ketika ada seorang perempuan berteriak-teriak, "Tolong... tolong... suamiku direbut orang..." Betapa mengherankan saat seorang istri baru menyadari bahwa suami sudah tidak ada di sisinya karena direbut perempuan lain. Apa kata dunia?

Orang akan segera bertanya, "Emang laki loe ditaruh di mana?" Sangat banyak pertanyaan di sekitar tuduhan ini yang ditujukan kepada semua pihak. Jika kita membuat daftar "kesalahan", maka ada banyak pihak yang terlibat dalam kesalahan ini. Pihak pertama, perempuan yang 'merebut' laki orang. Tentu bukan haknya untuk merebut suami orang. Pihak kedua, suami yang direbut. Mengapa ia diam saja dan tidak melawan saat direbut. Artinya, ia telah memberi kesempatan untuk direbut. Atau, jangan--jangan dia justru yang meminta untuk direbut? Pihak ketiga, istri yang merasa suaminya direbut.

Nah, untuk pihak ketiga ini, ada sangat banyak pertanyaan layak ditujukan kepada dirinya. Bagaimana ia menjaga suami selama ini? Bagaimana ia membahagiakan suami selama ini? Bagaimana ia menyenangkan hati suami selama ini? Bagaimana ia mengekspresikan cinta kepada suami selama ini? Bagaimana ia berbakti dan menghormati suami selama ini? Karena jika sang suami bahagia bersama dirinya, mustahil mau direbut orang lain. Jika suami selalu nyaman bersama sang istri, ia akan lebih memilih untuk bersama sang istri, kendatipun ada banyak perempuan yang berusaha merebut dirinya dengan sekuat tenaga.  

Hilangnya Kedekatan Emosional dengan Pasangan

Ada sangat banyak alasan mengapa terjadi perselingkuhan. Salah satu yang dikemukakan dalam studi Gary Neuman adalah, hilangnya kedekatan emosional dengan pasangan. Seorang suami yang kehilangan kedekatan emosional dengan istri, lebih mudah mengalami perselingkuhan. Demikian pula seorang istri yang kehilangan kedekatan emosional dengan suami, lebih mudah mengalami perselingkuhan. Kedekatan emosional antara suami dan istri adalah salah satu bonding atau ikatan yang menyebabkan mereka berdua selalu dalam kondisi saling terikat kuat satu dengan yang lain.

Hilangnya kedekatan emosional dengan pasangan bukanlah kejadian yang tiba-tiba seperti kehilangan benda-benda. Suasana bonding yang kuat antara suami dan istri terutama pada masa pengantin baru, bisa berubah secara berangsur-angsur, sesuai dengan perubahan dan perkembangan fase kehidupan pernikahan. Ketika pasangan suami istri mulai terjebak dalam rutinitas kehidupan, kehambaran mulai mereka rasakan. Sayangnya, sering kali suasana kehambaran ini dibiarkan tanpa ada usaha untuk menghangatkan dan menyegarkan kembali cinta di antara mereka.

Perlahan tapi pasti, kedekatan emosional antara suami dan istri mulai pudar. Ikatan cinta dan kasih saya terurai bagian demi bagian. Hingga akhirnya kedekatan emosional itu benar-benar hilang. Pasangan suami istri merasa saling asing. Satu dengan yang lainnya makin merenggang, makin menjauh. Bonding diantara keduanya makin melemah. Di titik seperti inilah, terjadi kerawanan hubungan. Ibarat perusahaan atau negara, tidak lagi memiliki sistem pengamanan atas aset kekayaan yang dimiliki. Maka, sangat mudah terjadi tindakan korupsi, karena tidak ada proteksi yang memadai atas berbagai macam aset tersebut.

Gejala hilangnya kedekatan emosional antara suami dan istri sebenarnya sangat mudah mereka kenali. Jika mereka merasa sulit berkomunikasi, tidak nyaman berinteraksi, sangat jarang melakukan kontak fisik, tidak lagi nyaman ketika berduaan, mudah terjadi kesalahpahaman, mudah emosi saat berkomunikasi, merasa lebih nyaman saat sendirian, maka itu semua menunjukkan kedekatan emosional di antara mereka telah pudar bahkan hilang. Seharusnya pasangan suami istri segera melakukan upaya dan tindakan penyelamatan, agar tidak semakin memperburuk keadaan.

Menemukan Kedekatan Emosional dengan Orang Ketiga

Saat pasangan suami istri berada dalam suasana kehilangan kedekatan emosional, godaan makin mudah datang. Titik interaksi dan komunikasi dengan orang ketiga di luar sana, kerap menjadi ajang untuk pelarian dari suasana kejenuhan berumah tangga. Semula hanya berteman biasa, mengobrol, berkegiatan bersama, chatting, kemudian mulai merasa asyik saat curhat dengannya, ternyata menimbulkan perasaan yang berbeda, dan bahkan lama-lama menjadi perasaan yang istimewa. Kedekatan emoional mulai terbangun dengan orang ketiga tersebut.

Seorang lelaki yang mulai menemukan kedekatan emosional dengan perempuan di luar rumahnya, akan semakin berani untuk melakukan tindakan mendekat. Hormon adrenalinnya terpacu untuk menunjukkan bahwa dirinya lelaki yang bertanggung jawab dan bisa dipercaya oleh kekasih baru itu. Pihak perempuan semakin merasa mendapatkan harapan dan peluang, ia juga akan semakin berani mengekspresikan perasaan kepada si lelaki. Inilah fenomena "tumbu ketemu tutup" yang telah saya sampaikan di atas.

Demikian pula seorang perempuan yang mulai menemukan kedekatan emosional dengan lelaki di luar rumahnya, akan semakin berani untuk mendekat bahkan nekat. Semakin sering curhat, semakin sering melakukan interaksi dan komunikasi. Di rumah, ia merasa tidak diperhatikan oleh suami, merasa dicuekin oleh suami, kurang mendapatkan kasih sayang dari suami, sementara bersama lelaki barunya ia merasa mendapatkan perhatian yang ia inginkan. Di rumah suaminya dingin dan diam saja, sementara lelaki barunya demikian care dan bisa memberikan kasih sayang seperti yang ia harapkan. Ini juga fenomena "tumbu ketemu tutup" yang sudah saya sampaikan di depan.

Fenomena seorang suami mengalami kehilangan kedekatan emosional dengan istri, kemudian mendapatkan kedekatan emosi dengan perempuan lain, hingga akhirnya ia menjalani hubungan khusus dengan perempuan itu ---yang lazim disebut sebagai selingkuh--- adalah peristiwa 'kesalahan kemanusiaan' yang banyak terjadi. Sebagaimana juga peristiwa seorang istri mengalami kehilangan kedekatan emosional dengan suami, kemudian mendapatkan kedekatan emosi dengan lelaki lain, hingga akhirnya ia menjalani hubungan khusus dengan lelaki itu, juga menjadi ketergelinciran yang sering terjadi.

Jadi, siapa yang merebut, siapa yang direbut? Patutkah pihak perempuan disebut sebagai pelakor? Patutkah pihak laki-laki disebut pebinor? Padahal yang sangat sering terjadi adalah peristiwa "tumbu ketemu tutup". Tumbu mendekat kepada tutup, dan tutup mendekat kepada tumbu. Setelah mereka bertemu, ternyata merasa "klik" dan pas, jadilah mereka berdua pasangan selingkuh yang tampak menyatu.

Cukup jelas kiranya, tidak perlu menjadi kekhawatiran dan ketakutan berlebihan. Sesungguhnya tidak ada pelakor di sekitar kita. Yang ada adalah, hilangnya kedekatan emosional antara suami dan istri, lalu satu di antara mereka ---atau keduanya--- menemukan kedekatan emosional dengan pihak lain. Justru hal inilah yang perlu dikhawatirkan.

Menjaga Kedekatan Emosional dengan Pasangan

Oleh karena itu, yang harus selalu dilakukan oleh pasangan suami istri adalah menguatkan bonding di antara mereka. Jaga selalu kedekatan emosional dengan pasangan, dan jangan biarkan ada jarak yang terbentang antara suami dan istri. Jarak fisik, jarak psikologis, jarak perasaan, jarak pemikiran, yang jika dibiarkan semakin lama akan semakin membentang. Pada titik tertentu, jarak itu sudah benar-benar memisahkan. Di saat jarak mulai terentang panjang, sangat mudah bagi munculnya kedekatan emosional dengan orang lain di luar sana.

Saya sering mengistilahkan, godaan itu serupa dengan virus. Kita tidak perlu takut terserang virus apabila memiliki imunitas yang cukup kuat dalam jiwa. Sebanyak apapun virus datang menyerang, tidak akan bisa mempan jika sistem imun kita bekerja dengan baik. Yang menjadi masalah apabila imunitas lemah, sehingga sistem imun dalam diri kita tidak bisa mencegah dan melawan serangan virus. Di saat itu kita segera terserang virus. Oleh karena itulah, konsentrasi kita jangan terfokus pada usaha membasmi virus, namun harus konsentrasi kepada usaha meningkatkan imunitas.

Jika kita berada di suatu ruang yang penuh virus, hanya mereka yang imunitasnya lemah akan terpengaruh dampak virus. Mereka yang imunitasnya kuat tidak akan terpengaruh oleh serangan virus. Jika kita berusaha membasmi virus yang ada dalam ruang itu, mungkin saja berhasil. Semua virus berhasil kita bunuh dan kita lumpuhkan. Namun begitu bergerak ke ruang lain, di sana pun akan berjumpa dengan virus-virus lainnya. Maka jika waktu dan tenaga kita habiskan untuk membunuhi virus, hal itu membuat kita kehabisan tenaga, karena virus selalu ada dimana-mana dan tidak ada habisnya.

Fokuskan perhatian dan konsentrasi untuk menguatkan sitem imun dalam keluarga. Jika keluarga memiliki imunitas yang tinggi, maka dimanapun berada, pindah di daerah manapun, tinggal di negara manapun, menghadapi virus sebesar dan sebanyak apapun, tidak akan terkena pengaruhnya. Namun jika imunitas lemah, setiap kali bertemu virus akan selalu terdampak dan terpapar.

Di antara cara menguatkan imunitas keluarga adalah dengan selalu menjaga kedekatan emosional antara suami istri. Inilah bonding yang membuat kedua belah pihak saling terikat dengan kuat, sekaligus saling terikat dengan bahagia. Anda tidak akan bisa mengikat suami anda dengan teralis dari baja, anda tidak akan bisa mengikat suami anda dengan jeruji besi, tidak pula dengan ancaman tajamnya pedang. Yang harus anda lakukan adalah mengikat suami dengan cinta, kasih sayang, penghormatan, bagusnya pelayanan, indahnya penampilan, yang membuat suami anda klepek-klepek dengan semua yang anda berikan.

Rumusnya masih sama : jika anda mampu membahagiakan pasangan anda, maka ia akan bersedia melakukan apapun yang anda minta; bahkan lebih dari yang anda minta.

Percayalah.

Mertosanan Kulon, Yogyakarta

Bahan Bacaan

Cahyadi Takariawan, Wonderful Couple, Era Adicitra Intermedia, Solo, 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun