Kondisi keluarga Bang Toyib yang tidak jelas dan menggantung selama sepuluh tahun terakhir, bukan saja membuat tidak nyaman pada Romlah, namun bisa memberikan dampak kepada kedua anaknya. Anak pertama perempuan, yang telah duduk di bangku kelas satu SMA Negeri, dan anak kedua laki-laki, kelas satu di SMP Negeri. Keduanya kehilangan sosok ayah dalam masa panjang, dan pada usia emas mereka.
Ayu, anak pertama mereka, sudah memasuki masa remaja. Umurnya kini 15 tahun. Sedangkan Bagus, anak kedua, kini sudah berumur 12 tahun. Bang Toyib pergi meninggalkan Romlah  pada saat Ayu berumur 5 tahun, dan Bagus adalah bayi mungil berumur dua tahun. Romlah baru saja selesai melepas masa penyusuan Bagus saat Bang Toyib pergi merantau ke negeri jiran, demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik.
Rencananya, Bang Toyib akan bekerja di negeri jiran tersebut selama satu masa periode kontrak, yaitu dua tahun. Romlah bisa menerima dan mendukung rencana kepergian Bang Toyib karena mereka berdua berpikir perlu mengumpulkan modal untuk membangun usaha di kampung halaman. Menurut cerita dari orang-orang yang sukses bekerja di negeri jiran, jika dua tahun bisa digunakan untuk bekerja keras, maka hasilnya cukup untuk modal usaha di kampung sendiri. Tergiur dengan gambaran seperti itu, Bang Toyib pun bersemangat untuk ikut bekerja di negeri seberang.
Tahun pertama komunikasi Bang Toyib dengan Romlah sangat lancar. Setiap hari pasti berkomunikasi melalui SMS, kadang-kadang telpon jika Ayu kangen pengen ngobrol dengan bapaknya. Kiriman uang dari Bang Toyib juga lancar, sebagian untuk uang kebutuhan harian, sebagian masih bisa ditabung Romlah. Tahun kedua, komunikasi mulai tidak lancar. Jarang SMS, apalagi telepon, sangat jarang. Kiriman uang masih berjalan namun tidak lancar. Kadang Romlah harus menelpon berkali-kali untuk mengingatkan Bang Toyib bahwa uang belanja sudah habis dan ia tidak bisa membeli makanan untuk anak-anak.
Petaka mulai terjadi di tahun ketiga. Di akhir tahun kedua Bang Toyib menyampaikan pesan akan memperpanjang kontrak dua tahun lagi di negeri jiran itu. Sebenarnya Romlah keberatan dan meminta Bang Toyib pulang saja, seberapapun uang yang berhasil ditabungnya selama bekerja di sana. Dua tahun terpisah dari suami membuat Romlah merasakan kesepian dan didera kerinduan yang amat dalam. Namun Bang Toyib bersikeras memperpanjang kontrak kerja untuk masa dua tahun berikutnya. Dengan sangat berat Romlah akhirnya bisa menerima.
Bang Toyib menceritakan kesulitan proses mendapatkan izin perpanjangan masa kontrak kerja, sehingga terpaksa menggunakan jasa calo tenaga kerja untuk membantunya. Rupanya proses panjang, berliku dan berbelit. Tidak jelas akhir ceritanya seperti apa, karena semenjak itu komunikasi makin tersendat dan akhirnya bahkan terputus sama sekali. Di tahun ketiga inilah mulai terjadi ketidakjelasan yang menimpa hubungan Romlah dan suaminya. Kiriman uang hanya sesekali waktu didapatkan Romlah. Celakanya, Romlah sudah tidak bisa menghubungi Bang Toyib.
Nomer telepon yang selama ini digunakan untuk komunikasi sudah tidak bisa dihubungi lagi. SMS Romlah sudah tidak berbalas. Tidak berputus asa, Romlah mengontak beberapa teman kerja suami yang diketahui nomer telponnya. Namun semua teman kerja itu seperti kompak. Mereka menyatakan sudah tidak mengetahui keberadaan Bang Toyib lagi, karena sudah pindah tempat kerja. Hingga akhirnya berlalu masa yang panjang, penantian tanpa ujung, sepuluh tahun yang menggantung tanpa kejelasan.
Betapapun Romlah mencoba untuk selalu tegar dan tersenyum di hadapan anak-anaknya, namun toh kesedihan hati Romlah tidak bisa disimpan semuanya. Ayu dan Bagus bisa menangkap kesedihan ibunya, yang dengan setia menemani mereka berdua tanpa kehadiran Bang Toyib. Seluruh persoalan kehidupan ditanggung sendiri oleh Romlah. Semua permasalahan Ayu dan Bagus, diselesaikan sendiri oleh Romlah. Kerasnya kehidupan telah membuat Romlah menjadi wanita perkasa, yang sanggup menghadapi segala tantangan sendirian.
Namun justru ini yang menjadi goresan luka pada diri Ayu dan Bagus. Terutama pada diri Ayu yang telah memasuki masa remaja. Ayu sudah menjelma ABG. Gadis cantik kelas satu SMA Negeri, bahkan sering disebut menjadi kembang di kampung maupun bintang di sekolah. Sebagai cewek cantik, Ayu banyak disenangi teman-teman sekolahnya, maupun teman-teman di lingkungan tempat tinggal. Ayu dipuja banyak teman-teman lelaki yang berlomba ingin memacarinya.
Namun sesungguhnya jiwa Ayu tidaklah seceria penampilannya. Hatinya mendung, pikirannya murung. Ada sejumlah bayangan gelap menggelayuti diri Ayu yang tidak mendapatkan jawaban memuaskan. Setiap mengingat ayahnya, yang didapatkan adalah perasan benci dan marah. Ia merasakan kesedihan yang dialami ibunya. Ayu mengerti kepedihan hati sang ibu kendati sudah berusaha disimpan dan disembunyikan, namun toh sebagai anak perempuan Ayu cukup memiliki kepekaan untuk menangkap sisi-sisi ini.
Tiba-tiba Ayu merasa sangat takut dan benci dengan sosok bernama laki-laki. Ia takut jika kelak menikah, akan mendapatkan perlakuan yang sama dengan ibunya. Ia tidak mau menderita. Ayu menangkap jelas kesan penderitaan pada diri sang ibu, walaupun Romlah selalu berusaha bersikap tegar. Ia melihat sosok ayahnya adalah seorang lelaki yang jahat dan tidak bertanggung jawab. Ketika Ayu mencoba menghitung tahun kehidupan keluarganya, ia menemukan angka yang semakin membuatnya cemas.
Sang ayah meninggalkan mereka saat Ayu berumur lima tahun. Berarti itu adalah tahun keenam dari pernikahan ayah dan ibunya, karena Ayu lahir tepat setahun setelah pernikahan ayah dan ibunya. Jika selama enam tahun itu ibunya bahagia, maka artinya hanya merasakan kebahagiaan dalam masa yang pendek, dibanding beban penderitaan yang harus dihadapi oleh sang ibu untuk bertahan hidup sendirian tanpa didampingi sang ayah. Sepuluh tahun terakhir ibunya menahan penderitaan. Dan entah sampai kapan masa penderitaan ini akan dihadapi dan ditelan sendirian oleh sang ibu. Hati Ayu makin teriris.
Pernikahan baginya adalah sebuah petaka. Hidup bahagia yang menjadi harapan semua orang saat melakukan pernikahan hanyalah fatamorgana. Enam tahun ayah dan ibunya hidup bersama sebagai sebuah keluarga utuh. Sepuluh tahun berikutnya keluarga ibunya berada dalam suasana kepedihan tiada tara. Menjalani hidup sendiri dan berjuang membesarkan kedua anak, adalah episode mengerikan yang terbayang dalam benak Ayu. Ia takut bahwa akan mengalami nasib yang sama dengan ibunya. Ia takut jika kelak harus ketemu sosok suami seperti Bang Toyib yang tega mentelantarkan istri dan anak-anak tanpa kejelasan tanggung jawab.
Bukan hanya Romlah yang bisa mengalami trauma. Bahkan Ayu bisa mengalami trauma berumah tangga. Bukan karena Ayu pernah gagal berumah tangga, namun karena menyaksikan dengan mata kepala sendiri kehidupan tidak bahagia yang dialami ibunya. Keterpisahan yang panjang, membuat Ayu dan Bagus tidak pernah merasa mendapatkan sentuhan kasih sayang dari sang ayah. Ayu tidak menemukan sosok ayah yang diharapkan. Ia hidup bersama seorang ibu yang tegar, walaupun menyimpan luka teramat dalam.
Ayu mengetahui air mata yang sudah kering dari sang ibu. Menangis sudah tidak pernah dilakukan lagi oleh Romlah, justru karena sudah habis bahan untuk menangis. Sisi gelap kehidupan berumah tangga ini membuat Ayu selalu dilanda ketakutan setiap kali membayangkan kehidupan berumah tangga. Kendati ia baru kelas satu SMA, namun naluri kewanitaannya membuat Ayu telah memiliki gambaran tentang kehidupan rumah tangga.
Trauma Healing untuk Ayu
Ayu telah mengalami suatu trauma. Yang harus dilakukan Romlah adalah terus membimbing dan menemani tumbuh kembang kedua anaknya hingga mereka dewasa. Trauma pada diri Ayu akan semakin menguat jika Romlah tidak menyadari situasinya. Kendati ia single parent, namun Romlah wajib menanamkan pengertian dan pemahaman yang benar kepada kedua anaknya tentang nilai-nilai kehidupan dan berumah tangga. Agar kelak mereka bisa benar menjalaninya. Agar kelak mereka bisa bahagia bersama keluarganya.
Romlah bisa sering-sering mengajak Ayu dan Bagus mengunjungi sanak kerabat, handai taulan, serta teman-teman yang memiliki kehidupan keluarga yang harmonis. Hal ini untuk membuka wawasan dan pemahaman pada Ayu dan bagus bahwa sangat banyak keluarga yang hidup bahagia. Sangat banyak keluarga harmonis yang membuat semua anggotanya berbahagia. Sangat banyak suami baik hati dan tidak sombong, suami yang bijak dan romantis, suami yang santun dan penuh kasih sayang. Sangat bapak yang baik dan bertanggung jawab.
Romlah harus sering mengajak Ayu berdiskusi dan berdialog. Biarkan Ayu menyampaikan semua pikiran dan isi hatinya, agar Romlah bisa mengerti dan menampungnya. Tidak mudah memang, namun sebagai orang tua Romlah wajib membimbing dan mengarahkan kedua anaknya untuk kebaikan hidup mereka di dunia hingga ke akhirat.
Semestinya Bang Toyib mengerti kondisi ini. Bahwa dampak dari perbuatannya menghilang tanpa kejelasan selama sepuluh tahun telah menimbulkan luka dan trauma pada diri Ayu. Semua suami dan istri harus menyadari bahwa kehidupan mereka dalam keluarga akan selalu menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi anak-anak mereka. Suasana bahagia yang tampak dari kedua orang tua akan menjadikan hidup mereka enjoy dan bahagia. Suasana duka yang tampak dari kedua orang tua akan memberikan kedukaan bagi hidup mereka. Dalam batas tertentu, sampai bisa menimbulkan trauma.
Segeralah kembali kepada keluargamu, Bang Toyib. Segera rawat dan asuh anak-anakmu. Peluk istri dan anak-anakmu. Mulailah hidup beru bersama mereka.
*******
Baca postingan kisah Bang Toyib sebelumnya di :
Haruskah Istri Terus Menunggu Suami
Saat Istri Harus Menggugat Cerai
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H