Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Malpraktik Berumah Tangga

8 September 2016   14:27 Diperbarui: 8 September 2016   14:38 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah tangga Bang Toyib berada dalam suasana yang sangat rumit. Sudah sepuluh tahun dirinya pergi ke luar negeri demi mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Di awal-awal kepergian, Bang Toyib rutin memberikan kiriman dana tiap bulan kepada Romlah untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Secara finansial, kebutuhan hidup Romlah dengan dua anaknya tercukupi dari kiriman rutin suaminya. Namun ternyata itu tidak bertahan lama.

Memasuki tahun ketiga, kiriman mulai tersendat. Komunikasi juga mulai tidak lancar. Hingga akhirnya tahun keempat, semua sudah berakhir. Bang Toyib tidak pernah mengirim uang lagi, tidak pernah mengirim kabar, tidak juga pulang. Romlah berusaha menelpon, tetapi nomer Bang Toyib sudah tidak bisa dihubungi. Romlah mencoba mengontak lewat teman-teman yang dikenalnya, namun semua mengatakan tidak tahu menahu keberadaan Bang Toyib. Romlah juga mengirim surat, namun tidak berbalas.

Secara de fakto, Romlah hidup sendiri dengan dua anaknya. Dia berjuang sendirian mencari penghidupan, demi kedua anak tercinta. Kini anak pertama sudah sekolah SMA, dan anak kedua sekolah SMP. Sepuluh tahun hidup seperti jomblo, namun harus mengasuh dua anak. Tidak ada sentuhan kasih sayang, tidak ada belaian, tidak ada cumbu rayu, tidak ada aktivitas bersama suami yang membahagiakan dirinya. Semua seperti alam mimpi, bahkan akhirnya Romlah mengubur semua kenangan itu. Semakin diharap, semakin menyakitkan. Ia hanya bisa pasarah menjalani hidup sendiri.

Mau menikah lagi, takut kalau-kalau suatu ketika Bang Toyib pulang dan merasa masih menjadi suami yang sah. Romlah serba salah tingkah.

Ikatan Dalam Pernikahan

Ada banyak jenis ikatan yang terjadi dalam pernikahan. Yang pertama adalah ikatan Ketuhanan, dimana menikah adalah bagian dari tuntunan agama. Allah telah mengatur pernikahan sebagai jalan yang halal dan legal untuk menyalurkan fitrah kemanusiaan. Ikatan ini yang menyebabkan pernikahan menjadi sakral, karena berlandaskan tuntunan Allah. Prosesi pernikahan semuanya mengacu kepada ajaran agama, dan tidak boleh ada penyimpangan dalam pelaksanaannya. Bahkan Allah menyebut ikatan pernikahan sebagai “mitsaqan ghalizha”, sebuah ikatan yang sangat kuat dan kokoh.

Yang kedua adalah ikatan perasaan kemanusiaan. Bahwa menikah terjadi karena adanya tautan perasaan hati dua insan. Ikatan perasaan ini tidak mesti dalam bentuk saling jatuh cinta atau perasaan tergila-gila. Dalam batas tertentu, pada prinsipnya mereka telah bersepakat untuk saling menerima dan berproses bersama menuju gerbang pernikahan. Ikatan perasaan ini akan menjadi semakin kuat setelah diikat dalam sebuah akad yang sah. Perasaan cinta dan kasih sayang bisa terekspresikan dengan leluasa setelah menikah. Ini menjadi ikatan yang membuat suami dan istri bisa menjaga kebersamaan sepanjang usia.

Yang ketiga adalah ikatan tujuan. Dalam pernikahan ada visi, misi dan tujuan yang jelas. Bukan semata-mata menyalurkan keinginan atau memenuhi syahwat kemanusiaan. Menikah memiliki tujuan-tujuan yang sangat mulia. Suami dan istri terikat bersama untuk mewujudkan sejumlah tujuan tersebut dalam kehidupan keseharian. Ini juga menjadi hal yang mengikat kebersamaan antara suami dan istri.

Yang keempat adalah ikatan legal formal. Yang dimaksud dengan ikatan legal formal adalah bentuk legalitas yang terjadi saat prosesi akad nikah. Dalam praktek pernikahan di Indonesia, sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 1/1974 tentang Perkawinan, dikenal Perjanjian Taklik yang dikrarkan oleh suami pada saat ijab kabul atau prosesi akad nikah, dan dicantumkan dalam Akta atau Buku Nikah yang ditandatangani oleh kedua mempelai.

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), sighat taklik adalah perjanjian yang diucapkan oleh mempelai laki-laki setelah akad nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang (KHI pasal 1 huruf e). Sighat taklik ini tercantum pada buku nikah bagian belakang. Biasanya, setelah ijab kabul selesai, mempelai laki-laki diminta oleh petugas KUA untuk membacanya.

KHI memandang perjanjian sighat taklik bukan merupakan keharusan dalam setiap perkawinan. Hal ini kita dapat kita baca di dalam KHI pasal 46 ayat (3), "Perjanjian taklik talak bukan suatu perjanjian yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali." Jadi menurut KHI, perjanjian taklik bukanlah suatu keharusan dalam pelaksanaan pernikahan.

Isi dari perjanjian taklik talak adalah sebuah janji untuk mu’asyarah bil ma’rufsebagai berikut:

Bismillahirrahmanirrahim

Wa aufu bil ‘ahdi, innal ‘ahda kana mas’ula

“Dan tepatilah janjimu, sesungguhnya janji itu kelak akan dituntut.”

Sesudah akad nikah, saya : Toyib bin Sudarmo, berjanji dengan sesungguh hati bahwa saya akan mempergauli istri saya yang bernama : Romlah binti Munawar, dengan baik (mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran Islam.

Kepada istri saya tersebut saya menyatakan sighat ta’lik sebagai berikut.

Apabila saya :

  • Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut;
  • Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya;
  • Menyakiti badan atau jasmani istri saya;
  • Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih,

Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut kemudian istri saya membayar uang sebesar Rp. 10,000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai ‘iwadl (pengganti) kepada saya, maka jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan Agama saya memberikan kuasa untuk menerima uang ‘iwadl (pengganti) tersebut dan menyerahkannya kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.

Suami : Toyib bin Sudarmo.

Pelanggaran Shighat Taklik

Dalam contoh kasus keluarga Bang Toyib di atas, maka dengan jelas ia telah melakukan banyak pelanggaran terhadap isi shighat taklik yang diikrarkan saat akad nikah. Coba kita cermati isi perjanjian shighat taklik tersebut dan bagaimana kondisi yang terjadi pada Bang Toyib.

  • Meninggalkan istri saya selama 2 (dua) tahun berturut-turut

Kenyataannya Bang Toyib sudah sepuluh tahun berturut-turut meninggalkan Romlah beserta dua anaknya.

  • Tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya

Kenyataannya Bang Toyib sudah tujuh tahun berturut-turut tidak memberikan nafkah wajib kepada Romlah. Baik nafkah lahir maupun nafkah bathin.

  • Menyakiti badan atau jasmani istri saya

Dalam kasus keluarga Bang Toyib, tidak ada indikasi KDRT yang dilakukan secara fisik terhadap Romlah. Ini karena mereka terpisah jarak jauh.

  • Membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya selama 6 (enam) bulan atau lebih

Kenyataannya sudah tujuh tahun Bang Toyib tidak pernah mengirim kabar berita lagi kepada Romlah. Tidak ada komunikasi yang dibangun oleh Bang Toyib sepanjang waktu tersebut.

Melihat tiga poin pelanggaran yang dilakukan Bang Toyib atas perjanjian shighat taklik tersebut, maka kondisinya dikembalikan kepada Romlah sebagai istri. Karena ada kalimat selanjutnya : “Dan karena perbuatan saya tersebut, istri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut...”

Jika Romlah tidak rela dengan perlakuan tersebut, maka ia bisa melakukan gugatan cerai melalui Pengadilan Agama. Delik hukum sudah terpenuhi. Namun kondisinya tidak semudah yang dibayangkan. Romlah masih mencintai Bang Toyib, walau merasa ditelantarkan selama tujuh tahun terakhir. Ia masih berharap Bang Toyib pulang, dan melanjutkan hidup berumah tangga dengan dirinya, dan membersamai tumbuh kembang anak-anaknya yang sekarang sudah remaja.

Romlah mencoba bertahan. Sepuluh tahun bukan masa yang pendek untuk sebuah penantian. Ditambah lagi, tidak ada kepastian apakah Bang Toyib akan pulang kepada Romlah ataukah tidak. Bahkan, sesungguhnya Romlah tidak tahu apakah Bang Toyib masih hidup ataukah sudah meninggal. Keluarga besar Bang Toyib juga terkesan menutup diri atas situasi ini. Mereka tidak banyak mengerti tentang keberadaan Bang Toyib, bahkan menyarankan agar Romlah mengajukan gugatan cerai saja.

Apa yang sebaiknya dilakukan Romlah? Bukankah ia korban malpraktek berumah tangga? Layakkah ia bertahan demi menjaga sisa rasa cinta dan perasaan dua anaknya?

Nyatanya, Romlah masih terus memberikan harapan kepada kedua anaknya, “Ayahmu pasti akan pulang. Entah kapan....”

Baca postingan kisah Bang Toyib sebelumnya di :

http://www.kompasiana.com/pakcah/rumah-tangga-tidak-jelas_57d0c6f0779773a70ae0950f

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun