Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

7 Faktor Pembentuk Resiliensi Keluarga

18 Agustus 2016   11:07 Diperbarui: 19 Agustus 2016   03:43 1825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: shutterstock

Pertanyaan tersebut mengarahkan seseorang untuk lebih mampu mengendalikan impuls dalam dirinya. Kemampuan mengendalikan impuls ini memang sangat terkait dengan faktor yang sebelumnya, yaitu regulasi emosi. Keduanya berhubungan dengan sangat erat.

3. Sikap Optimistik

Pada dasarnya, individu yang resilien adalah individu yang optimis. Seseorang dikatakan optimis apabila ia mampu melihat masa depannya cemerlang, atau lebih baik dari saat ini. Pasangan suami istri yang yakin bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi permasalahan atau kemalangan yang bisa saja terjadi sewaktu-waktu, menjadi faktor pembentuk resiiensi. Sikap optimis yang dimiliki suami istri ini membuat mereka lebh tenang dalam menghadapi dan menyelesaikan setiap permasalahan.

Sebaliknya, pribadi yang pesimistik, membuat dirinya memandang segala sesuatu secara negatif, memandang lemah diri sendiri dan pasangan, merasa tidak berdaya, dan pada akhirnya membuat mereka mudah mengalami kegagalan saat menghadapi beratnya permasalahan. Optimisme diperlukan oleh semua orang, karena  pada dasarnya berat atau ringan suatu masalah sangatlah relatif. Namun sikap optimis menghadapi kehidupan di masa depan akan membuat semua orang lebih nyaman dengan berbagai kondisi yang dihadapi saat ini.

Masyarakat Indonesia memiliki pepatah, berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Ini adalah contoh sikap optimis, bahwa kalaupun saat ini susah dan sakit, tapi ada harapan perbaikan di masa depan. Orang Jawa menyatakan, “wong kang ngalah dhuwur wekasane”, orang yang bersikap mengalah itu bukan berarti kalah. Justru mereka akan mendapatkan ketinggian posisi di masa yang akan datang. Ini juga merupakan sebentu optimisme menghadapi hal yang akan datang kemudian, sebagai konsekuensi dari sikap positif yang dibangun pada saat ini.

4. Analisis Penyebab

Causal analysis atau analisis penyebab, merujuk pada kemampuan individu untuk mengidentifikasikan secara akurat penyebab dari permasalahan yang mereka hadapi. Orang yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus berbuat kesalahan yang sama. Dalam sebuah keluarga, kemampuan suami dan istri untuk melihat penyebab atau akar masalah menjadi penting, agar mereka bisa menghindari masalah yang sama di waktu yang akan datang.

Semua persoalan dalam hidup berumah tangga, pada dasarnya bermula dari mereka sendiri. Oleh karena itu, sikap yang paling tepat adalah melakukan evaluasi atas diri mereka sendiri, dan tidak melempar kesalahan kepada pihak lain. Pribadi yang resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang mereka perbuat, demi menjaga harga diri mereka atau membebaskan mereka dari rasa bersalah. Mereka tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan.

5. Sikap Empati

Empati adalah sikap menempatkan diri pada posisi orang lain, hal ini sangat erat kaitannya dengan kemampuan individu untuk membaca tanda-tanda kondisi emosional dan psikologis orang lain. Beberapa individu memiliki kemampuan yang cukup mahir dalam menginterpretasikan bahasa-bahasa nonverbal yang ditunjukkan oleh orang lain, seperti ekspresi wajah, intonasi suara, bahasa tubuh dan mampu menangkap apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Oleh karena itu, seseorang yang memiliki kemampuan empati cenderung memiliki hubungan sosial yang positif.

Dalam kehidupan keluarga, suami istri yang mampu bersikap empati satu dengan yang lain, akan memiliki hubungan yang lebih menyenangkan. Mereka akan saling mengerti, saling memahami, dan saling menjaga perasaan yang lain. Dengan cara seperti ini, sikap terhadap diri dan pasangan akan positif, demikian pula sikap terhadap permasalahan akan lebih konstruktif. Masalah keluarga akan lebih dihadapi bersama, apabila mereka berdua memiliki sikap empati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun