Susi adalah seorang ibu rumah tangga yang telah menjalani kehidupan bersama Anton, sang suami, lebih dari limabelas tahun. Pada sebagian besar rentang kehidupannya, Susi sangat banyak ditimpa kemalangan dan kesengsaraan hidup. Bermula dari suami yang terkena PHK, kemudian disusul kebangkrutan dalam berbagai bisnis dan usaha, bahkan akhirnya Anton mengalami kelumpuhan akibat penyakit yang mendera mereka.
Susi adalah perempuan yang tegar. Tiap pagi ia bangun sebelum Subuh dan mengerjakan semua urusan rumah tangga. Menyiapkan sarapan, menyiapkan keperluan anak sekolah, hingga mengantar anak-anak sekolah dengan sepeda motor tua. Usai itu, Susi segera mengurus sang suami yang lumpuh, dan mengantarkannya berobat ke dokter serta tempat pengobatan alternatif. Ia boncengkan sang suami dengan susah payah, namun ia tabah menjalani itu sekian lama.
Anton adalah tipe suami yang sangat bertanggung jawab. Sikap positif Anton tetap tampak sampai saat ia mengalami kelumpuhan. Anton tidak pernah mengeluh, dan menghadapi kemalangan tersebut dengan penuh kesabaran. Sikap positif Susi dan Anton sangat memberi inspirasi bagi banyak keluarga lainnya. Betapa dalam kondisi kemiskinan yang berat, Susi harus bekerja keras mencari uang untuk makan dan biaya sekolah anak-anak, serta biaya pengobatan sang suami tercinta.
Faktor apakah yang membentuk sikap hidup Susi serta Anton? Mengapa mereka demikian tegar menghadapi sejumlah masalah berat dalam kehidupan berumah tangga? Inilah yang disebut sebagai resiliensi (kelentingan) keluarga.
7 Faktor Pembentuk Daya Resiliensi
Pada postingan sebelumnya, sudah saya sampaikan tentang fungsi resiliensi bagi kehidupan keluarga. Pada kesempatan kali ini akan saya sampaikan tentang 7 (tujuh) sisi resiliensi, atau tujuh kemampuan yang membentuk daya resiliensi.
Pertama kali, saya ajak anda untuk melihat fenomena beberapa rumah tangga. Secara selintas kita menyaksikan ada keluarga yang tangguh dan ada keluarga yang rapuh. Ada keluarga yang kerap ditimpa kemalangan, namun sanggup mereka hadapi dengan penuh kedewasaan, kesabaran dan ketabahan. Mereka tidak suka mengeluh, dan cepat pulih setelah mengalami keterpurukan. Inilah keluarga yang tangguh. Namun ada pula keluarga yang begitu ditimpa kemalangan, begitu cepat mengeluh, dan tidak mampu bangkit dari keterpurukan. Keluarga ini mudah hancur berantakan. Inilah keluarga yang rapuh.
Untuk memamahami fenomena perbedaan kondisi keluarga tersebut, saya ingin memperlihatkan sisi-sisi resiliensi. Paling tidak ada tujuh faktor yang membentuk daya resiliensi dalam diri seseorang. Apabila suami dan istri memiliki daya resiliensi yang tinggi, maka keluarga akan menjadi tangguh. Keluarga yang resilien atau lenting, yaitu mampu menghadapi setiap permasalahan dengan cepat dan tepat, tanpa membahayakan kebaikan dan keutuhannya.
Dari berbagai studi, ditemukan setidaknya 7 (tujuh) faktor yang membentuk daya resiliensi pada diri seseorang. Tujuh faktor itu adalah:
1. Regulasi Emosi
Para ahli menyatakan, yang dimaksud dengan regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang di bawah kondisi yang menekan. Orang yang tidak memiliki kemampuan mengatur emosi, cenderung mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga hubungan dengan orang lain. Penjelasan yang sederhana adalah, tidak ada orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang mudah marah, cepat merengut, selalu cemas, khawatir serta gelisah di setiap saat.