“Saya akan berusaha, Buya...” jawabku lirih.
"Jadi sebelum kamu terlanjur menempuh hal yang dibolehkan oleh syara’ itu, pikirkan soal keadilan itu lebih dulu, Cahyadi..." Buya tampak serius saat memulai kalimat ini. Aku menjadi tercekat, tidak tahu akan berkata apa.
“Buya, tapi kan....”
"Orang beriman mesti berpikiran sampai ke sana, Cahyadi. Jangan hanya terdorong nafsu melihat perempuan yang kamu senangi saja," Buya memotong pertanyaanku. Seakan beliau sudah tahu apa yang akan aku sampaikan.
Aku menunduk dalam, tidak berani menatap wajah beliau. Angin sejuk Danau Maninjau menerpa wajah kami, membuatku betah ingin terus mendengar nasehat beliau. Di seberang danau, barisan bukit mulai tampak lebih jelas. Kabut pagi yang menghalangi perlahan tersingkap sinar matahari.
"Mengakadkan nikah adalah hal yang mudah, Cahyadi... Sebab itu, kalau kamu takut akan berlaku tidak adil pula beristeri banyak, lebih baik satu orang sajalah. Dengan demikian kamu akan aman....", suara Buya tampak berat, namun sangat berwibawa.
Aku hanya diam sambil mengangguk-anggukkan kepala. Mencoba memahami apa yang beliau pesankan. Tausiyah ini sangat berharga bagiku, karena lahir dari seorang ulama besar yang sangat bijak.
Buya masih melanjutkan cerita, kali ini beliau bertutur tentang nasehat salah seorang gurunya.
"Seorang di antara guruku yang beristeri lebih dari satu pernah memberi nasihat kepadaku waktu aku masih muda, "Cukuplah isterimu satu itu saja wahai Abdul Malik! Aku telah beristeri dua. Kesukarannya baru aku rasakan setelah terjadi. Aku tidak bisa mundur lagi."
Buya menghela nafas panjang. Seakan ada beban berat yang ingin beliau keluarkan lewat cerita ini.
"Guruku itu mengatakan: Resiko ini akan aku pikul terus sampai salah seorang dari kami bertiga meninggal dunia. Aku tidak akan menceraikan salah seorang antara mereka berdua, karena kesalahan mereka tidak ada. Anakku dengan mereka berdua banyak. Tetapi aku siang-malam menderita bathin, karena ada satu hal yang tidak dapat aku pelihara, yaitu keadilan hati."