[caption caption="ilustrasi : www.elrhey.com"][/caption]
Jika anda mengunjungi rumah makan Padang, banyak ditemukan tulisan ”Anda puas, beritahukan teman anda. Anda kecewa, beritahukan kami”. Prinsip ini berbeda dengan pendidikan anak. Dalam mendidik anak, kita memerlukan reward and punishment yang seimbang. Kita harus mampu mengapresiasi kebaikan anak, sebagaimana kita boleh memberikan hukuman atas kesalahan anak, dengan hukuman yang mendidik. Keduanya perlu dilakukan secara seimbang untuk
Namun dalam kenyataan keseharian, prinsip keseimbangan reward and punishment ini memang sulit diaplikasikan. Pada dasarnya orang tua lebih mudah melihat dan merasa kecewa atas hal-hal negatif yang dilakukan anak, daripada mengapresiasi hal-hal positif yang ada pada diri anak. Coba perhatikan, pernahkah anda menghitung, lebih banyak mana kata-kata celaan yang terlontar dari orang tua dengan kata-kata pujian?
Ini kisah si Putri. Ibunya yang sangat galak dan cerewet tidak pernah bisa diam menyaksikan kekurangan dan kelemahan Putri. Setiap hari putri menerima kata-kata ejekan, sindiran, cacian dari ibunya.
”Dasar anak malas ! Ayo cepat bantu ibu !”
”Dasar anak nakal ! Ayo bersihkan ruangan tamu ibu ! Sejak pagi ibu sudah merapikannya, kini kamu buat berantakan lagi !”
”Segera bangun ! Kamu tak pernah bisa bangun pagi. Mau jadi apa besok kamu kalau dari kecil sudah pemalas seperti ini ?”
Kalimat-kalimat yang setiap hari diperdengarkan kepada Putri lebih banyak berkonotasi negatif. Semua berupa serangan kepada pribadi putri, berupa klaim tertentu terhadap perilaku putri yang kurang dan lemah. Celakanya sang ibu tidak melihat secara adil. Ketika Putri sudah bangun dan membantu ibu, ia tidak mendapatkan apresiasi dan penghargaan yang memadai atas apa yang dilakukannya.
Semestinya sang Ibu bisa memberikan apresiasi atas apa yang menjadi perbuatan baik Putri, seperti, ”Terimakasih Nak, engkau telah menolong ibu”.
”Bagus Putri, engkau telah merapikan kamarmu sendiri”.
”Syukurlah nak, ruangan ini telah engkau bersihkan kembali”.
”Ibu sangat senang akhirnya engkau bisa bangun pagi”.
Sang Ibu terlalu detail melihat kekurangan dan kelemahan Putri, namun seperti tidak mau melihat kebaikan dan prestasi Putri. Tanpa disadari, sang ibu telah melukai hati dan perasaan Putri. Memang ia tidak pernah menampar, tidak pernah memuku, atau menendang. Tidak, sang ibu tak pernah melakukan perbuatan fisik yang kasar kepada Putri. Tapi kata-katanya jauh lebih menyakitkan daripada rasa dipukul atau ditampar. Benar kata orang, kata-kata bisa lebih tajam dari pedang.
Apa Senangnya Mencela?
Saya pernah menceritakan kejadian ini sebelumnya di Kompasiana. Hari itu Andri mengajak Evie, isterinya, serta ketiga anak mereka ---Ifa, Arman dan Naila--- untuk pergi berbelanja dan jalan-jalan ke supermarket. Andri terkenal sebagai orang tua yang sangat disiplin terhadap waktu. Jam 9 pagi kurang sepuluh menit ia mengingatkan Evie dan anak-anak bahwa mereka segera berangkat. Namun sampai dengan jam 9 tepat, belum ada tanda-tanda bahwa mereka telah siap berangkat.
“Ayo anak-anak, kita segera berangkat. Matikan televisi, rapikan mainan kalian dan segera angkat tas ayah ke dalam mobil”, perintah Andri sembari menuju ke mobil.
Walaupun Andri telah mengulang kalimat tersebut, anak-anak tetap saja asyik di depan televisi sembari bermain. Akhirnya Andri kembali masuk ke rumah dan langsung mematikan televisi.
“Sekarang kita berangkat. Ayo Ifa, segera angkat tas Mama ! Arman, segera rapikan mainan”, perintah Andri.
“Kenapa harus aku yang membawa tas Mama? Arman saja yang membawakan”, Ifa protes.
“Dasar anak malas ! Kalau begitu Ifa yang membantu Naila memakaikan sepatu, Arman yang membawa tas Mama”, ulang Andri.
“Aku tidak mau membawakan tas Mama, ‘kan berat, jadi kak Ifa yang membawa”, gantian Arman yang protes.
“Kalian semua memang bandel ! Ayo Ifa, segera kerjakan, membawakan tas Mama atau memakaikan sepatu dik Naila, jangan jadi pemalas”, kembali Andri menghardik.
“Sudahlah, Mama saja yang membawa tas dan memakaikan sepatu adik”, ucap Evie setelah menyelesaikan urusan di dapur.
Tiba-tiba Arman mengangkat tas dan membawanya masuk ke mobil. Setelah itu, ia kembali lagi masuk ruangan untuk merapikan mainan. Akhirnya Ifa memakaikan sepatu adiknya yang masih kecil, Naila. Setelah itu ia gendong Naila masuk mobil. Evie mengunci pintu rumah dan menyusul masuk mobil.
“Kalian ini selamanya tidak mau mendengar perintah Papa. Cobalah lain kali tidak usah diperintah, kalian sudah harus bisa membantu pekerjaan Papa dan Mama. Kalian ini sudah besar, jangan suka membangkang dan membantah”, Andri masih memarahi mereka sembari menghidupkan mesin mobil.
“Masak aku terus yang disuruh-suruh, ya aku jadinya gak mau”, Ifa membela diri.
“Jangan membantah lagi Ifa. Karena kamu anak Papa yang paling besar, jadi harus sudah bisa membantu tanpa disuruh lagi. Masak Papa mau menyuruh Naila yang masih kecil?”, Andri tak mau kalah.
Coba perhatikan kejadian di atas, berapa banyak celaan dilakukan Andri kepada anak-anaknya, dan betapa kebaikan anak dalam kisah tersebut tidak mendapat apresiasi pujian sama sekali. Misalnya ketika Arman mengangkat tas mama dan membawanya masuk ke mobil. Juga ketika Arman kembali masuk rumah untuk merapikan mainan. Demikian pula ketika Ifa memakaikan sepatu adiknya yang masih kecil, Naila. Setelah itu ia gendong Naila masuk mobil. Itu semua jelas kebaikan anak-anak, namun tidak ada apresiasi positif sama sekali.
Yang terlontar dari Andri hanyalah kata-kata celaan atas ketidaksiapan dan ketidaktaatan anak-anak menjelang berangkat tadi. Seakan-akan ada kepuasan dan kesenangan tersendiri pada orang tua setelah bisa mencela dan memarahi anak-anak. Padahal celaan semacam itu bisa menyakitkan hati anak-anak.
Lihatah Dampak Mencela !
Rudy adalah seorang dokter. Secara ekonomi, ia sudah mapan. Wajahnya tampan, tubuhnya atletis, rambutnya hitam lebat. Usianya belum genap 50 tahun. Rudy benar-benar gambaran lelaki yang ideal dan layak mendapat banyak pujian dari orang di sekitarnya. Namun, di balik gambaran ideal itu, Rudy memiliki problem kejiwaan yang sangat besar. Setiap kali berbicara, suaranya sangat lirih dan pelan, sehingga pasien maupun teman bicaranya sering kesulitan untuk mendengarkan ucapannya.
"Saya sangat sensitif terhadap kata-kata orang lain. Saya selalu berpikir bahwa setiap orang pasti menertawakan saya. Sepertinya istri saya selalu mengejek saya, begitu juga pasien saya. Pada tengah malam saya selalu terbangun, lalu merenungkan setiap kata yang diucapkan orang-orang hari itu kepada saya," cerita Rudy, yang sempat mengira dirinya sakit jiwa.
Ketika ditelusuri, ternyata di masa kecilnya ia selalu menjadi bahan ejekan dan celaan sang ayah. Tanpa disadari sang ayah, Rudy kecil memendam rasa malu yang luar biasa. Ia merasa sakit hati dan terhina setiap mendengar sang ayah mencela dirinya.
“Ayah sering menyebut saya 'si cacing' karena tubuh saya sangat kurus. Ayah juga sering berkata bahwa saya bukan anaknya, melainkan anak yang dipungut dari tempat sampah," ungkap Rudy mengenang masa kanak-kanak yang dialaminya.
Sebenarnya Rudy anak yang cerdas dan berpotensi besar. Terbukti ia mampu menyelesaikan kuliah di Fakultas Kedokteran dengan baik, dengan prestasi di atas rata-rata. Namun Rudy sangat membenci ayahnya, sekaligus membenci dirinya sendiri karena merasa begitu buruk dan tak berguna.
"Cacing dan tempat sampah adalah dua hal yang sama-sama menjijikkan," tambah Rudy. Ia terpaksa harus menjalani terapi kejiwaan.
Lihatlah, dampak dari celaan terhadap anak sangat mengganggu stabilitas kejiwaan si anak hingga dewasa. Bahkan setelah si anak ini dewasa dan membentuk keluarga sendiri melalui pernikahan, perasaan tertekan, tidak nyaman dan tidak berguna tetap saja menghantui jiwanya. Seorang dokter yang lulus dengan prestasi memuaskan dari Fakultas Kedokteran, namun menyimpan persoalan kejiwaan yang parah akibat perlakuan orang tua di masa kecilnya.
Hindari Celaan
Para orang tua, hindari mencela anak anda. Walaupun anda melakukannya hanya dengan bercanda, dan anda tidak bermaksud serius benar-benar mencelanya. Namun jika candaan yang mengandung unsur mencela itu konsisten anda lakukan terhadap anak, akan sangat mempengaruhi citra dirinya hingga dewasa. Jangan menganggap remeh soal celaan ini. Sayangi dan cintai anak anda dengan perlakuan dan kata-kata yang baik dan bijak.
Dr. Susan Forward dalam bukunya Toxic Parents (2002) menjelaskan, kekerasan secara verbal terhadap anak bisa terjadi melalui dua gaya. Yang pertama menyerang anak secara langsung, terbuka, dan secara jahat merendahkan si anak. Contohnya adalah memberikan julukan-julukan seperti si bodoh, si dungu, si pemalas, si hitam, si gembrot, si monyong, termasuk menyebut anak sebagai "tak berguna" atau yang paling keras adalah menyatakan "menyesal telah melahirkannya". Semua itu akan berdampak jangka panjang terhadap perasaan anak, dan memengaruhi citra diri mereka di saat dewasa.
Yang kedua, kekerasan verbal secara tidak langsung. Ungkapan yang disampaikan orang tua bersifat tidak langsung kepada diri si anak, tetapi sangat menghina dan melecehkan mereka. Walaupun kadang orang tua mencela anak dengan nada humor atau canda, namun bercorak sarkastis. Misalnya ucapan "Lihat tuh ada si jelek yang lagi berulah... Dia kan dipungut dari panti asuhan.... Kalau anak Mama Papa pasti nggak kayak gitu deh…."
Jika si anak atau anggota keluarga lain memprotes ucapan kasar itu, orang tua akan membela diri dengan berkata, “Ah, itu 'kan cuma bercanda...." Orang tua semacam ini tidak menyadari bahwa canda yang keterlaluan seperti itu sangat menyakiti hati sang anak. Mereka juga lupa bahwa anak-anak sangat mempercayai apa yang diucapkan orang tuanya. Jika orangtua bilang si anak jelek dan bodoh, ia percaya dirinya betul-betul jelek dan bodoh. Karena itu, tidak mudah bagi anak-anak untuk membedakan apakah ucapan orang tua mereka itu serius atau hanya bercanda.
Berhentilah mencela anak anda, seperti apapun kondisinya. Anda wajib membina, mendidik, membersamai proses tumbuh kembangnya penuh dengan kesabaran dan kebijakan. Bukan mencela dan mengejeknya.
Mertosanan Kulon, 7 Maret 2016
*) Semua nama dalam cerita di atas, bukan nama sebenarnya.
[caption caption="ilustrasi : buku Dr. Susan Forward"]
Bahan Bacaan :
Susan Forward , Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your Life, 2002 by Bantam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H