”Ibu sangat senang akhirnya engkau bisa bangun pagi”.
Sang Ibu terlalu detail melihat kekurangan dan kelemahan Putri, namun seperti tidak mau melihat kebaikan dan prestasi Putri. Tanpa disadari, sang ibu telah melukai hati dan perasaan Putri. Memang ia tidak pernah menampar, tidak pernah memuku, atau menendang. Tidak, sang ibu tak pernah melakukan perbuatan fisik yang kasar kepada Putri. Tapi kata-katanya jauh lebih menyakitkan daripada rasa dipukul atau ditampar. Benar kata orang, kata-kata bisa lebih tajam dari pedang.
Apa Senangnya Mencela?
Saya pernah menceritakan kejadian ini sebelumnya di Kompasiana. Hari itu Andri mengajak Evie, isterinya, serta ketiga anak mereka ---Ifa, Arman dan Naila--- untuk pergi berbelanja dan jalan-jalan ke supermarket. Andri terkenal sebagai orang tua yang sangat disiplin terhadap waktu. Jam 9 pagi kurang sepuluh menit ia mengingatkan Evie dan anak-anak bahwa mereka segera berangkat. Namun sampai dengan jam 9 tepat, belum ada tanda-tanda bahwa mereka telah siap berangkat.
“Ayo anak-anak, kita segera berangkat. Matikan televisi, rapikan mainan kalian dan segera angkat tas ayah ke dalam mobil”, perintah Andri sembari menuju ke mobil.
Walaupun Andri telah mengulang kalimat tersebut, anak-anak tetap saja asyik di depan televisi sembari bermain. Akhirnya Andri kembali masuk ke rumah dan langsung mematikan televisi.
“Sekarang kita berangkat. Ayo Ifa, segera angkat tas Mama ! Arman, segera rapikan mainan”, perintah Andri.
“Kenapa harus aku yang membawa tas Mama? Arman saja yang membawakan”, Ifa protes.
“Dasar anak malas ! Kalau begitu Ifa yang membantu Naila memakaikan sepatu, Arman yang membawa tas Mama”, ulang Andri.
“Aku tidak mau membawakan tas Mama, ‘kan berat, jadi kak Ifa yang membawa”, gantian Arman yang protes.
“Kalian semua memang bandel ! Ayo Ifa, segera kerjakan, membawakan tas Mama atau memakaikan sepatu dik Naila, jangan jadi pemalas”, kembali Andri menghardik.