[caption caption="ilustrasi : www.heartrelationships.com"]
[/caption]“Tolong jujur. Siapakah para suami di sini yang belum pernah dimarahi istrinya?” tanya saya kepada para peserta laki-laki dalam sebuah Pelatihan Wonderful Family. Peserta Pelatihan ini adalah pasangan suami istri yang usia pernikahannya di atas sepuluh tahun.
Seorang lelaki dengan mantap mengangkat tangannya. Hanya satu orang saja, dari sekitar enampuluh peserta lelaki yang mengikuti Pelatihan tersebut. Tentu saja saya merasa surprise, karena lebih dari sepuluh tahun menikah dan dia belum pernah dimarahi istrinya. Untuk itu, sebagai apresiasi, saya meminta kepada lelaki tersebut untuk maju ke depan forum bersama istrinya.
“Benar anda belum pernah dimarahi istri selama usia pernikahan anda?” tanya saya kepada sang suami.
“Benar Pak Cah. Alhamdulillah istri saya baik banget. Saya tidak pernah melihatnya marah”, jawabnya mantap.
“Benarkah demikian? Bisa anda ceritakan bagaimana tipsnya lebih dari sepuluh tahun menikah dan anda tidak pernah memarahi suami”, tanya saya kepada sang istri.
“Tidak benar itu Pak Cah. Berarti selama ini dia tidak pernah tahu kalau saya marahi. Dia tidak pernah tahu kemarahan saya”, jawab sang istri.
Jawaban ini spontan mengundang gelak tawa segar dari seluruh peserta yang jumlahnya sekitar seratus duapuluh orang. Awalnya para peserta ingin mendapatkan tips dari pasangan suami istri ini, bagaimana hidup berumah tangga sudah lebih dari sepuluh tahun tetapi tidak pernah ada kemarahan di dalamnya. Namun ternyata yang terjadi tidaklah seperti itu.
Kisah Boneka Rajut
Kejadian tersebut mengingatkan saya dengan kisah lama yang juga pernah saya posting di Kompasiana tentang boneka rajut. Alkisah hiduplah sepasang kakek dan nenek di sebuah pinggiran kota nan sejuk. Mereka hidup bahagia dalam ikatan pernikahan, hampir 60 tahun mereka menjalani kebersamaan sebagai suami dan istri. Secara umum mereka tampak happy saja sebagaimana banyak pasangan lainnya. Mereka berjanji saling mempercayai dan selalu saling menjaga pasangannya.
Sepanjang enampuluh tahun hidup bersama, tidak ada rahasia yang mereka sembunyikan, kecuali sebuah kotak yang disimpan oleh nenek di atas lemari tua, di dalam kamar tidur mereka. Ia selalu memperingatkan suaminya agar tidak menyentuh kotak itu sama sekali. Selama ini, suaminya tak pernah melanggar permintaan tersebut.
Hingga suatu hari, nenek yang sudah tua jatuh sakit dan harus dirawat di ruang intensif ICCU sebuah rumah sakit. Sang suami menyempatkan pulang ke rumah untuk mengambil kotak itu dan membawanya ke sisi sang istri. Khawatir bahwa masa kematian istrinya sudah hampir tiba. Istrinya pun setuju. Ia merasa ini memang sudah waktunya membuka kotak tersebut.
Ketika kotak dibuka, sang suami terkejut melihat isinya. Di dalam kotak terdapat sejumlah uang dalam jumlah yang banyak. Lembaran uang kertas tersebut diikat rapi dengan karet gelang. Ketika dihitung, jumlahnya mencapai US $ 95.000 atau lebih dari Rp 950 juta. Di dalamnya juga ada dua boneka rajut.
"Dari mana ini semua, Nek?" tanya sang suami.
“Panjang sekali ceritanya”, sang istri mulai membuka cerita. "Sejak awal menikah denganmu, nenekku menceritakan rahasia pernikahan bahagia. Menurutnya, rahasia itu adalah agar aku tidak bertengkar denganmu, jadi aku harus mampu mengendalikan marah," ujarnya.
“Awalnya tidak mudah bagiku mengendalikan amarah”, lanjut sang istri. "Hingga akhirnya nenekku menasehati, kalau aku sudah mulai marah padamu, sebaiknya aku merajut boneka," lanjut sang istri.
Sang suami mendengar dengan seksama. Mendengar hal itu kini ia mulai mengerti, mengapa ada dua boneka rajut di dalam kotak itu. Ia juga merasa sangat terharu karena kesabaran sang istri. Hampir enampuluh tahun hidup bersama, istrinya hanya marah dua kali saja. Terbukti hanya ada dua boneka rajut di dalam kotak itu.
Namun ia masih penasaran dengan uang sebanyak itu. "Lalu dari mana uang sebanyak ini, Nek? Apakah engkau menabung dari uang belanja kita?" tanya sang suami.
"Uang itu kudapatkan dari menjual boneka-boneka hasil jahitanku. Hasilnya selalu aku simpan di kotak itu," jawab istrinya pelan.
Ternyata uang itu adalah hasil penjualan boneka-boneka yang dirajut saat sedang menyalurkan kemarahan kepada suaminya. Entah sudah berapa boneka yang dibuat dan berapa banyak amarah yang berhasil dipendam sang istri. Kini sang suami baru mengerti, betapa selama ini sangat banyak sikap dan perlakuannya menyakiti hati sang istri.
Sedemikian pandai sang istri menyalurkan kemarahan, sampai akhirnya suaminya tidak mengetahui bahwa sudah sangat banyak perbuatannya yang menyakiti hati sang istri. Tidak terhitung berapa banyak boneka rajut sudah berhasil dibuat dan dijual oleh sang istri selama ini. Menandakan sudah sangat banyak kemarahan yang berhasil disalurkan secara positif oleh sang istri dan tidak diketahui oleh suami.
Dua cerita di atas menandakan, kemarahan suami atau istri tidak selalu dimengerti oleh pasangannya. Bisa jadi ada suami yang marah dan sakit hati terhadap istri, namun karena pandai menyembunyikan atau menyalurkan dengan positif, sampai sang istri tidak mengetahui kalau suaminya marah. Demikian pula bisa jadi ada istri yang marah dan sakit hati terhadap suami, namun tidak diketahui oleh sang suami.
Di sini ada dua sisi yang harus diperhatikan oleh pasangan suami istri. Pertama, jika sedang marah, hendaklah berusaha untuk menyalurkan secara positif dan konstruktif. Jangan menyalurkan kemarahan dengan perkataan, perbuatan dan sikap yang negatif serta destruktif. Penyaluran negatif ini misalnya dengan umpatan, teriakan, caci maki, sumpah serapah, kata-kata kotor, pukulan, tendangan, merusak barang-barang, dan lain sebagainya.
“Cara” marah seperti ini memang sangat mudah dilakukan dan sangat mudah pula dimengerti oleh pasangan. Tidak perlu menjelaskan dengan kata-kata “aku sedang marah”, tapi kalau ekspresinya negatif seperti dijelaskan di atas, dengan sangat mudah pasangan akan merasakan dan mengerti kemarahannya. Ekspresi kemarahan yang negatif dan destruktif ini tidak menghasilkan kebaikan apapun baik bagi diri sendiri maupun bagi pasangan. Terlebih ketika sudah memiliki anak, kemarahan seperti itu akan menjadi inspirasi bagi mereka.
Anda harus selalu belajar dan berusaha untuk menyalurkan kemarahan secara positif dan konstruktif. Misalnya ---bagi umat Islam--- dengan berwudhu, shalat sunnah, istighfar, dan kegiatan spiritual lainnya. Hendaknya selalu mengingat bahwa marah itu bukan ciri calon penghuni surga, sebagaimana sabda Nabi “Jangan marah bagimu surga”. Atau disalurkan dengan melakukan tindakan yang produktif, seperti oleh raga, kerja keras, dan menyalurkan dengan karya nyata. Kisah boneka rajut di atas adalah salah satu contoh penyaluran marah dengan kerja dan karya nyata.
Kedua, hendaknya berusaha untuk memahami dan mengerti kemarahan pasangan. Setiap orang memiliki ekspresi kemarahan yang khas, tidak selalu sama dengan orang lainnya. Oleh karena itu, setiap kita harus berusaha mengenali ekspresi kemarahan pasangan, dan tingkat atau level kemarahannya. Dengan mengenalinya, kita akan tahu betapa marahnya pasangan walaupun hanya diekspresikan lewat sikap diam dan mimik muka dingin.
Saat mengetahui pasangan tengah marah, hendaknya anda berusaha mendekat dan menenangkannya. Sangat bagus jika sejak awal anda sudah memiliki kesepakatan dengan pasangan tentang “sikap yang diharapkan pasangan saat ia marah”. Dengan itu anda akan tahu apa yang menyenangkan serta menenangkan hati pasangan saat ia tengah marah kepada anda. Ikut marah, membalas kemarahan dengan kemarahan, atau meninggalkan pasangan yang tengah marah, bukanlah tindakan yang tepat. Jika salah satu tengah marah, yang lainnya harus berusaha cool dan tetap tenang.
Jika tidak mengerti kemarahan pasangan, anda merasa ia baik-baik saja, padahal tengah menyimpan ‘bom waktu’ yang siap meledak setiap saat. Berhati-hatilah.
Selamat pagi, selamat beraktivitas. Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H