"Posisi dia sebagai perempuan pertama yang kamu nikahi akan selalu membekas dan berkesan di hatimu. Dengan segala suka duka hidupmu, kamu mengawali hidup dari nol, ia selalu setia menemanimu. Ini yang membuatnya istimewa di hatimu. Tidak ada yang bisa menggantikannya", jawab saya.
"Lalu saya harus bagaimana?" ia bertanya lagi.
"Jangan pernah membandingkan istri pertamamu itu dengan siapapun. Bangun hidup baru bersama istri barumu tanpa membandingkannya dengan istri pertama," jawab saya.
"Oh, begitu ya?"
"Iya. Segera temukan istri salihah yang akan engkau nikahi sebagai dirinya, bukan sebagai pengganti istri pertamamu", jawab saya.
Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Merasa mendapat kemantapan hati.
Tidak Membandingkan Antar Istri
Pada dasarnya, tidak ada orang yang senang dibandingkan dengan orang lain. Membandingkan dalam bentuk memuji kebaikan orang lain di hadapan kita, sering menyebabkan perasaan tersisih dan tidak nyaman. Misalnya membandingkan anak pertama dengan anak kedua. Seorang ibu selalu memuji kebaikan anak kedua di hadapan anak pertama, bisa menyebabkan anak pertama merasa tersisihkan dan merasa tidak nyaman.
Demikian pula membandingkan istri pertama dengan istri kedua, bisa menyebabkan sakit hati dan perasaan tersisih dari salah satu istrinya. Ketika suami selalu memuji istri pertama di hadapan istri kedua, bisa menimbulkan kecemburuan yang berlebihan pada istri kedua, dan menyebabkan ia merasa tidak diterima serta tidak dicintai. Walaupun istri pertama sudah meninggal atau sudah dicerai.
Maka pada kondisi dimana duda memutuskan menikah lagi, yang harus ia lakukan adalah menata hati, perasaan dan pikiran, bahwa ia akan menikahi seorang perempuan sebagai dirinya sendiri. Bukan sebagai pengganti istri pertama yang sudah meninggal atau sudah bercerai. Ia tidak boleh menuntut istri barunya untuk berperilaku atau bersikap seperti istri pertama, karena masing-masing orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Semua Istimewa