Mohon tunggu...
Cahyadi Takariawan
Cahyadi Takariawan Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis Buku, Konsultan Pernikahan dan Keluarga, Trainer

Penulis Buku Serial "Wonderful Family", Peraih Penghargaan "Kompasianer Favorit 2014"; Peraih Pin Emas Pegiat Ketahanan Keluarga 2019" dari Gubernur DIY Sri Sultan HB X, Konsultan Keluarga di Jogja Family Center" (JFC). Instagram @cahyadi_takariawan. Fanspage : https://www.facebook.com/cahyadi.takariawan/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Saatnya Menikah Lagi

22 Mei 2014   13:08 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:15 5218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1400713498855230922

[caption id="attachment_337621" align="aligncenter" width="560" caption="ilustrasi : www.nicolepearcephotography.com"][/caption]

Tidak ada orang yang ingin berpisah dari kekasih. Semua orang ingin hidup bersama kekasih bahkan berharap kelak bisa berkumpul lagi di surga. Namun kisah hidup tidak selalu sesuai dengan harapan kita. Kadang harus siap menjumpai kejadian yang diluar keinginan serta kehendak sadar kita. Contohnya adalah berpisah dengan pasangan, oleh sebab kematian maupun perceraian.

Perpisahan ini pasti membuat kesedihan di hati, karena tidak sesuai dengan harapan. Namun, sesedih apapun kenyataan itu harus dihadapi dengan tegar dan penuh tanggung jawab untuk menghadapi masa depan yang masih membentang. Apalagi jika dalam perpisahan itu ada anak-anak, tentu harus disikapi dengan lebih bijak dan hati-hati. Jangan sampai anak menjadi korban dari sikap orang tuanya.

Jangan Terbelenggu Masa Lalu

Ketika sudah terlanjur terjadi perpisahan itu, segera tata hati, perasaan dan pikiran. Jangan terbelenggu oleh masa lalu, tapi fokuslah melihat masa depan. Segera buka hati untuk menerima kehadiran orang lain yang akan menjadi pendamping hidup, bersama-sama merenda keindahan keluarga dan mendidik anak-anak yang harus diutamakan perhatiannya.

Suatu ketika saya berbincang dengan seorang lelaki tengah baya. Ia menceritakan kegalauan hatinya mengurus tiga anak seorang diri.

"Mengapa kamu tidak segera menikah lagi?" tanya saya kepada seorang lelaki duda yang sudah dua tahun ditinggal mati istrinya akibat kanker payudara.

Lelaki ini berusia empatpuluhan tahun, telah dikaruniai tiga anak dari pernikahan pertamanya. Kini ia hidup sendiri –tanpa istri—mendidik dan merawat ketiga ananda tercinta. Wajahnya tampak sedih ketika ia bercerita tentang penyakit yang diderita istri hingga menghantarkan kematiannya.

"Susah pak. Almarhumah istri saya menjelang wafatnya berpesan agar saya kelak mendapat pengganti yang lebih baik dari dia. Nah sampai sekarang saya belum mendapatkan perempuan yang lebih baik dari dia", jawabnya.

"Kamu tidak akan pernah mendapatkan perempuan yang lebih baik darinya", ungkap saya.

"Mengapa demikian?" tanya lelaki itu.

"Posisi dia sebagai perempuan pertama yang kamu nikahi akan selalu membekas dan berkesan di hatimu. Dengan segala suka duka hidupmu, kamu mengawali hidup dari nol, ia selalu setia menemanimu. Ini yang membuatnya istimewa di hatimu. Tidak ada yang bisa menggantikannya", jawab saya.

"Lalu saya harus bagaimana?" ia bertanya lagi.

"Jangan pernah membandingkan istri pertamamu itu dengan siapapun. Bangun hidup baru bersama istri barumu tanpa membandingkannya dengan istri pertama," jawab saya.

"Oh, begitu ya?"

"Iya. Segera temukan istri salihah yang akan engkau nikahi sebagai dirinya, bukan sebagai pengganti istri pertamamu", jawab saya.

Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Merasa mendapat kemantapan hati.

Tidak Membandingkan Antar Istri

Pada dasarnya, tidak ada orang yang senang dibandingkan dengan orang lain. Membandingkan dalam bentuk memuji kebaikan orang lain di hadapan kita, sering menyebabkan perasaan tersisih dan tidak nyaman. Misalnya membandingkan anak pertama dengan anak kedua. Seorang ibu selalu memuji kebaikan anak kedua di hadapan anak pertama, bisa menyebabkan anak pertama merasa tersisihkan dan merasa tidak nyaman.

Demikian pula membandingkan istri pertama dengan istri kedua, bisa menyebabkan sakit hati dan perasaan tersisih dari salah satu istrinya. Ketika suami selalu memuji istri pertama di hadapan istri kedua, bisa menimbulkan kecemburuan yang berlebihan pada istri kedua, dan menyebabkan ia merasa tidak diterima serta tidak dicintai. Walaupun istri pertama sudah meninggal atau sudah dicerai.

Maka pada kondisi dimana duda memutuskan menikah lagi, yang harus ia lakukan adalah menata hati, perasaan dan pikiran, bahwa ia akan menikahi seorang perempuan sebagai dirinya sendiri. Bukan sebagai pengganti istri pertama yang sudah meninggal atau sudah bercerai. Ia tidak boleh menuntut istri barunya untuk berperilaku atau bersikap seperti istri pertama, karena masing-masing orang pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Semua Istimewa

Dalam dunia pendidilkan dikenal prinsip “semua anak itu cerdas”, sebuah prinsip yang membuat para orang tua dan guru tidak membeda-bedakan serta tidak membanding-bandingkan satu anak dengan anak lainnya. Kecerdasan setiap anak berbeda-beda, sehingga tidak bisa dibandingkan begitu saja antara mereka. Ketika seorang anak mendapatkan nilai 10 pada pelajaran matematika dan anak lain mendapatkan nilai 6, itu hanya menunjukkan kecerdasan satu bidang saja, yaitu matematika. Tidak bisa digunakan untuk menilai kecerdasan secara umum.

Bisa jadi seorang anak menonjol dan cerdas dalam bidang seni, dan tidak memiliki kecerdasan di bidang lain. Anak lainnya cerdas dalam bidang bahasa, ada yang cerdas dalam matematika, ada yang cerdas dalam olah raga, ada yang cerdas dalam sastra, dan lain sebagainya. Bagaimana bisa membandingkan kecerdasan yang berbeda-beda seperti ini? Mereka semua istimewa, namun memiliki letak keistimewaan yang berbeda. Istimewa pada bidangnya masing-masing.

Demikian pula dalam kehidupan keluarga, semua orang itu istimewa, dengan keistimewaan yang berbeda-beda. Istri pertama memiliki keistimewaan yang sudah dimengerti dan dirasakan oleh suami, hal ini tidak bisa digunakan sebagai parameter dan tolok ukur untuk menilai istri kedua. Seolah istri kedua harus seperti istri pertama, dan apabila tidak bisa seperti istri pertama dianggap tidak istimewa.

Demikian pula jika terjadi kondisi sebaliknya. Misalnya seorang duda yang menikah lagi dengan istri baru, lalu ia merasa istri kedua sangat istimewa dibandingkan istri pertama yang sudah meninggal atau sudah bercerai dari dirinya. Seakan-akan istri pertama tidak memiliki keistimewaan apapun, seakan-akan istri pertama tidak memiliki kebaikan apapun. Penilaian seperti ini tentu tidak adil, dan tidak pada tempatnya.

Sebenarnyalah semua orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Tidak ada manusia sempurna, tidak manusia tanpa cela. Maka sikap positif yang harus kita kembangkan adalah fokus melihat sisi kebaikan pasangan, jangan sibuk mencari-cari kekurangan serta kelemahan pasangan. Toh dirinya pun memiliki banyak kekurangan dan kelemahan, lalu bagaimana menuntut kesempurnaan pasangan?

Fokus saja melihat kebaikan dan kelebihannya, bukan pada kekurangan dan kelemahannya. Insyaallah anda akan selalu bahagia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun