[caption id="attachment_339730" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi : www.thetorah.com"][/caption]
Memiliki keluarga yang rukun, kompak, harmonis, bahagia adalah dambaan semua orang. Namun kadang orang salah membayangkan, bahwa keluarga yang kompak dan harmonis itu tidak pernah bertengkar dan berkonflik sama sekali. Dengan pemahaman seperti ini, banyak orang yang menjauhkan diri dan menghindari konflik dengan pasangan, karena khawatir akan membuat keluarganya berantakan.
Saya telah memposting sebelumnya, bahwa konflik tidak selalu negatif, bahkan ada sembilan manfaat konflik suami istri (http://edukasi.kompasiana.com/2013/06/16/9-manfaat-konflik-suami-isteri-565627.html). Konflik sesungguhnya tidak untuk dihindari, tetapi justru untuk dihadapi dan diselesaikan dengan baik.
Jika konflik bisa dikelola dengan positif, maka justru akan menimbulkan kehangatan dalam interaksi pasangan suami istri. Cinta mereka bisa selalu baru dan bersemi, karena ada berbagai dinamika yang mampu mereka lalui dengan baik. Konflik justru menghasilkan tambahan keindahan cinta dalam keluarga.
Bosan dengan Kemapanan
Manusia adalah makhluk yang dinamis. Karena karakter yang dinamis, maka dampaknya cepat mengalami kebosanan apabila menghadapi hal-hal yang bersifat rutin dan monoton. Manusia memerlukan variasi dan sentuhan seni dalam menghadapi semua aktivitas kehidupan. Dengan demikian kehidupan akan selalu indah dan menarik, tidak membosankan dan membuat suasana selalu baru.
Saya mendengar komentar lucu seorang sahabat yang tengah menempuh pendidikan lanjut di Amerika. Saat baru tiba di Amerika begitu terkagum-kagum dengan ketertiban, keteraturan, kebersihan, kerapian dan kedisiplinan warga negara Paman Sam tersebut. Antrian yang selalu tertib, lalu lintas yang teratur, berbagai aturan yang ditegakkan dengan disiplin, fasilitas umum yang rapi dan bersih, semua tampak mengagumkan. Ketika dibandingkan dengan Indonesia, rasanya Indonesia seperti hidup di zaman purba.
Namun setelah sekian lama tinggal di Amerika yang penuh dengan keteraturan tersebut, ternyata muncul rasa bosan juga. Ia merasa hidup sebagai mesin atau robot yang sangat mekanik. Tertib, teratur, disiplin, tidak menyisakan ruang untuk ketidakteraturan. Hidup setiap hari seperti itu ternyata juga membosankan. Tiba-tiba ia merindukan ketidakteraturan Jakarta. Ingin kembali menikmati bergelantungan di bus kota dan KRL, ingin menikmati warung tenda yang berjejeran sepanjang trotoar dari pagi sampai malam tiba, semua membuat suasana yang berbeda.
Itulah manusia, yang bercorak dinamis. Mudah bosan dengan kemapanan. Orang Indonesia bosan dengan kemacetan, ketidakteraturan, kekumuhan, ketidakdisiplinan dan hal-hal unik lainnya. Yang di Amerika atau Eropa bosan dengan keserbateraturan hidup yang demikian monoton.
Bosan Hidup Rukun
Demikian pula dalam kehidupan rumah tangga. Sekian banyak pasangan yang sering dilanda konflik merasa lelah dan bosan berada dalam konflik. Mereka ingin segera keluar dari konflik itu dan hidup ‘normal’ sebagaimana pasangan suami istri lainnya. Rasanya bosan bertengkar, karena setiap hari selalu berada dalam suasana pertengkaran dangan pasangan. Ingin rasanya menikmati suasana santai, bebas dari ketegangan konflik yang selalu mendera.
Namun ada pula keluarga yang hidup ‘adem ayem’, tidak pernah berkonflik, tidak pernah bertengkar. Sepuluh tahun hidup berumah tangga tidak pernah tahu bagaimana rasanya orang berantem. Muncullah rasa bosan hidup dalam kerukunan. Ingin menikmati suasana konflik sebagaimana dialami oleh beberapa keluarga. Karena apabila berhasil melewati konflik, akan hadir kekuatan cinta antara suami dan istri. Mereka bisa merayakan cinta setelah usai perang baratayudha.
Seperti kisah yang ditulis oleh seorang rekan kompasianer, Tubagus Encep (http://www.kompasiana.com/tubagusencep), tentang sahabatnya. Sebuah keluarga yang hidup tenang, tenteram, nyaman, adem, ayem, suasana penuh dengan kesejukan. Namun muncul kebosanan pada istri yang ingin merasakan suasana konflik dengan pasangan. Mulailah ia berulah, dengan tujuan agar suami marah, lalu mereka mengalami konflik.
Suatu saat sang istri sengaja bangun siang dan tidak melakukan aktivitas rutin kerumahtanggaan. Ia tidak memasak, tidak membereskan kotoran dapur, tidak mencuci baju, tidak membersihkan rumah, tidak mengurus anak-anak. Ia menunggu respon suaminya. Berharap suaminya akan marah dan mereka akan bertengkar karena kemarahan suami tersebut.
Sampai siang ia tidak mendengar keributan apapun di rumah. Setelah keluar dari kamar tidur, ia segera menuju ke dapur. Tertegun ia di dapur, menyaksikan semua sudah beres. Makanan sudah tersedia di meja makan, dapur sudah bersih, ruang keluarga dan teras sudah tampak rapi dan bersih, cucian sudah dijemur. Semua sudah tampak beres. Ternyata sang suami dengan damai mengerjakan sendiri semua aktivitas kerumahtanggaan tersebut.
Tanpa harus marah-marah dan menyalahkan istrinya, sang suami melaksanakan sendiri semua aktivitas praktis kerumahtanggaan sampai beres. Ia merasa tidak perlu membangunkan dan mengganggu sang istri yang mungkin sedang kelelahan serta memerlukan istirahan yang cukup. Usaha sang istri untuk mengajak berantem ternyata gagal. Sang suami memang bukan tipe lelaki yang suka berantem dengan istri. Ia lebih mudah mengalah demi kebaikan keluarga.
Mengelola Dinamika Keluarga
Sesungguhnya yang diperlukan adalah kemampuan mengelola dinamika keluarga. Bersyukur atas apa yang dikaruniakan Allah, dan bersabar atas apa yang belum didapatkan dalam kehidupan. Ada saat mengalami konflik, ada saat reda dan damai dalam ketenteraman. Ada masa memiliki kelebihan harta, ada pula saat harus kekurangan dan menderita. Semua itu hanyalah bagian-bagian puzle kehidupan dan kebahagiaan yang harus dilewati.
Jika selalu mampu bersikap positif dalam menghadapi dinamika, semua akan selalu indah dirasakan. Konflik hanyalah satu bagian dari keping puzle kabahagiaan. Tidak untuk dicari apalagi diusahakan, namun apabila mengalami jangan melarikan diri. Hadapi konflik dengan hati dan kepala dingin agar cepat reda dan terselesaikan dengan sebaik-baiknya. Biasakan memecahkan masalah berdua saja, agar persoalan bisa dilokalisir dan tidak melebar kemana-mana.
Bagi yang tidak pernah mengalami konflik, jangan mencoba-coba dengan sengaja membuat masalah. Hadapi saja semua dinamika keluarga secara dewasa. Semua akan indah jika mampu bersikap secara tepat dalam setiap suasana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H