Mengemas luka dalam kata-kata bukanlah perkara mudah. Semenjak kekasihnya berpaling, ia lebih akrab dengan sepi, lebih menyukai sunyi yang kelatnya tak mau beranjak dari lidah.
Dea memutuskan tak akan mengenal cinta lagi. Baginya, malam lebih setia, luka lebih mengerti dirinya.
"Dea."
Suara-samar ada yang memanggil namanya, tapi tak tahu dari arah mana datangnya.
"Siapa yang memanggilku?"
"Aku, Dea, aku di sini."
Dea melihat seorang perempuan cantik di sudut ruangan tengah tersenyum padanya. Tapi, raut mukannya terlihat dalam kesedihan.
"Siapa kamu?"
"Apakah kamu tidak mengenaliku?"
Dea mengamati lebih seksama wajah perempuan itu. Ia memutar ingatannya, tap, ia tak menemukan wajah ayu itu.
"Tidak."