Sari mendongak, katika melihat tetes-tetes bening mulai berjatuhan satu per satu. Ia manatap langit yang mulai menghitam. Senyum mengembang, ia tengadahkan tangan, menyambut tetesan-tetesan itu.
Seumur hidup, Sari belum pernah main hujan. Karena sejak kecil, Dokter melarangnya. Sedang ia tak pernah tahu alasannya.
"Hujan hampir turun, Sar, ayuk pulang," ajak Bram sambil menarik tangan Sari.
"Untuk sekali ini, aku ingin bermain hujan denganmu, Bram. Apa pun yang terjadi, aku siap."
"Ta, tapi..., Lukamu belum sembuh betul, Sar, bisa infeksi."
"Aku sudah sembuh, Bram. Setelah operasi, keadaanku semakin membaik. Aku sangat ingin merasakan tubuhku dibasahi air hujan, bersamamu."
Sari bersikukuh, ia sangat merindukan saat-saat seperti itu, di taman, bermain hujan bersama orang yang ia cintai.
Bram tak tega melihat wajah Sari yang memohon, hatinya luluh. Dan ia pun menunggu tetes-tetes bening itu turun lebih lebat. Sari begitu gembira menyambut hujan yang mulai merapatkan rintiknya. Ia menarik-narik tangan Bram, mengajak berlarian ke sana ke mari. Selayaknya bocah kecil yang mendapat mainan baru
Ketika hujan semakin lebat, Bram terjatuh saat berlarian menemani Sari. Ia tak bangun lagi. Sari panik dan membawanya ke rumah sakit, tapi, Bram tak mau bangun untuk selamanya.
*****
Sari mengusap kaca jendela kamar yang buram oleh desahan napasnya. Setiap hujan turun, ia selalu memandangi rinai yang menghunjam ke bumi, bersama penyesalan, kesedihan, dan kenang yang tak pernah terlupakan.
Kejadian itu melekat--erat dalam benaknya. Kini ia sangat membenci hujan. Tak jarang umpatan dan kutukan terlontar dari mulutnya saat hujan turun.
"Kenapa? Kenapa kau berikan sebelah ginjalmu, Bram? Sedang yang sebelah tidak berfungsi normal. Seharusnya aku yang pergi, Bram," ujar Sari lirih pada dirinya sendiri, nada yang penuh penyesalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H