"Aku menyangsikan diriku sendiri," lirih jawaban Ham.
"Beri aku kepastian, Ham. Hanya itu yang aku tunggu darimu selama ini. Apa pun keputusanmu, aku siap menerimanya. Tidak ada yang lebih menakutkan, selain cinta tanpa kepastian," Ros mengiba, karena merasa lelah terombang-ambing.
Lagi-lagi Ham terdiam. Dilema selalu menghantui pikirannya. Ia cinta, tapi, rasa takut suatu saat Ros melakukan seperti peristiwa dulu membekap cintanya.
Perdebatan yang sia-sia. Ham masih meyakini sesuatu yang tidak logis. Cinta Ros yang begitu tulus, harus mengabu karena masa lalu.
Dari apa yang di lakukan Ros, selalu salah di mata Ham. Cemburu, tapi, ia menyimpannya dalam hati, hingga sesak, serupa menarik napas dan menyimpan di dada kirinya, siap terhembus kapan pun ia mau.
Ham berusaha lari dari kenyataan, mengingkari kata hati--nuraninya. Saat ia menyadari, bahwa apa yang dilakukan itu sia-sia, menyiksa, seakan menikam jantungnya sendiri dengan belati, semua sudah terlambat.
Penyesalan dan rasa berdosa, selamanya mendekam dalam dadanya, serupa bom waktu yang siap meledak setiap saat.
"Maaf, Ros. Aku tak mampu memahami perasaanku sendiri. Kukira, dengan kematianmu, hidupku bisa tenang, tapi, ternyata tidak. Perasaanku semakin sesak dalam dada, pikiranku, hanya tentang dirimu. Tunggu aku, Ros, aku akan segera menyusulmu," perkataan terakhir Ham, sebelum ia meminum kopi hitam itu dengan serembah membanjiri wajahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H