Pelantun tembang sunyi mencoba menguaskan warna pada dinding-dinding sepinya. Pada pahit, getir,seperti empedu pecah dalam mulut, ia mencoba merasakan manisnya.
Ini tentang gundah yang setia menyelimuti hatinya, mengabu--ragu, maju-mundur. Antara hati dan logika yang tak pernah akur, ia rela melara, menduka hanya karenanya. Sedangkan dirinya tak berani mengambil keputusan, menentukan hitam atau putih.
Ham, lelaki lapuk, selalu resah, tak yakin akan cintanya pada Ros, perempuan yang telah menunggunya enam musim tanpa kepastian. Kisah yang sedikit membingungkan, karena sikap Ham yang abu-abu dan mengambang.
"Buat apa mengumbar kecantkian di media sosial? Apa yang kau cari, Ros?" lirih suara Ham pada dirinya sendiri.
Beberapa pekan terakhir, Ham mengurung dirinya dalam kamar. Dinding-dindingnya penuh gambar wajah Ros. Ingatan masa berjalan bersama menari-nari diatas kepalanya.
Kecantikan raga itu sebuah karunia, bagi seorang wanita, mungkin di atas segalanya. Tapi, terkadang bisa membawa petaka. Tak sedikit wanita yang menyesali kecantikannya.
Seperti halnya kecantikkan Ros, telah menorehkan sejarah hitam, bahkan pekat pada masa lalunya. Ia pernah terpuruk, tertipu manisnya cinta, kehilangan segalanya. Saat dalam keterputus--asaan, Ham hadir sebagai dewa penolong. Ia membawa lentera pada kehidupan Ros.
Setelah luka dan masa lalu terkubur, cinta mulai tumbuh dalam hati Ros, tapi Ham meragukan dirinya. Ham meragu karena masa lalu yang pernah menimpanya.
"Haruskah aku terkungkung dalam cintamu, Ham? Itukah yang kau mau?" tanya Ros, sambil menatap lekat wajah Ham.
"Bukan! Bukan seperti itu maksudku. Tapi, buat apa kau selalu pamer kecantikan, bila cintamu telah kau serahkan padaku?" pertanyaan bernada cemburu meluncur dari mulut Ham.
"Apa pengaruhnya, Ham? Kamu menyangsikan cintaku?"
"Aku menyangsikan diriku sendiri," lirih jawaban Ham.
"Beri aku kepastian, Ham. Hanya itu yang aku tunggu darimu selama ini. Apa pun keputusanmu, aku siap menerimanya. Tidak ada yang lebih menakutkan, selain cinta tanpa kepastian," Ros mengiba, karena merasa lelah terombang-ambing.
Lagi-lagi Ham terdiam. Dilema selalu menghantui pikirannya. Ia cinta, tapi, rasa takut suatu saat Ros melakukan seperti peristiwa dulu membekap cintanya.
Perdebatan yang sia-sia. Ham masih meyakini sesuatu yang tidak logis. Cinta Ros yang begitu tulus, harus mengabu karena masa lalu.
Dari apa yang di lakukan Ros, selalu salah di mata Ham. Cemburu, tapi, ia menyimpannya dalam hati, hingga sesak, serupa menarik napas dan menyimpan di dada kirinya, siap terhembus kapan pun ia mau.
Ham berusaha lari dari kenyataan, mengingkari kata hati--nuraninya. Saat ia menyadari, bahwa apa yang dilakukan itu sia-sia, menyiksa, seakan menikam jantungnya sendiri dengan belati, semua sudah terlambat.
Penyesalan dan rasa berdosa, selamanya mendekam dalam dadanya, serupa bom waktu yang siap meledak setiap saat.
"Maaf, Ros. Aku tak mampu memahami perasaanku sendiri. Kukira, dengan kematianmu, hidupku bisa tenang, tapi, ternyata tidak. Perasaanku semakin sesak dalam dada, pikiranku, hanya tentang dirimu. Tunggu aku, Ros, aku akan segera menyusulmu," perkataan terakhir Ham, sebelum ia meminum kopi hitam itu dengan serembah membanjiri wajahnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H