Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Jampi-jampi Seruni

20 September 2016   19:05 Diperbarui: 21 September 2016   02:36 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Pixabay.com

Rendy masih merukuni kenang itu, Pada pematang kening sepanjang sungging kekasihnya, yang pergi sejak 36 purnama lalu. Dalam kurun kesal dadanya yang begitu bidang, mencangkok ingatan, memupuk kebencian kian makmur dalam tumbuhnya di celah jantung.

Seruni, perempuan pengukir laranya, semenjak ia pergi demi cinta yang lain. Serupa menuangkan racun, bisa yang mungkin tiada penawarnya, kecuali dirinya sendiri.

Ingatan Rendy tak mungkin bisa lepas darinya, walau sakit, pahit, ia jalani. Seruni serupa sihir, pelet, pengasihan yang mengalir dalam setiap tetes darah dan denyut nadi, wajah dan namanya menyatu dalam jiwa Rendy.

"Lupakan dia, Rend, demi anak-anakmu, raihlah cinta perempuan lain," aku mencoba memberi semangat.

"Ini bukan cinta biasa," Jawabnya di antara gagap tak tanggap mengawini waktu.

Lalu, bola matanya meleleh lebih lumer dari lilin di ruang tamu yang pada setiap malam ia nyalakan untuk dia, yang masih juga ia sebut kekasih.

Rupanya ia mencandui, selayaknya canabi, kepayang pada cintanya Seruni.

Banyak sekali puisi tumpah di sana, berpesta pora antara rindu juga isak sesal yang senak.

Sekala waktu pernah bilang tentang cinta yang tidak serta-merta bersama. Pun tak pula bersesal sepanjang usia. Bukankah hidup selayaknya tetap berjalan? Pada sebuah ketentuan yang acap dilupakan, ia pun melupakan Sang Cipta Segala Maha.

"Lihatlah, Rend, Serunimu sedang berpesta cinta, meneguk birahi, menuangkan hasrat bersama lelaki lain. Tidakkah kau sadar? Ia bukan lagi cintamu yang dulu, bukan pula patut kau rindui sedemikaian rupa hingga kau meneguk lara," aku menyanggah semua keyakinannya.

"Biarlah waktu yang bicara, ia pasti bangga dengan ini semua, itu yang aku mau."

Rendy bergeming dari keyakinannya, ia memilih mengadaikan Tuhan agar bisa Seruni merengut jiwanya secara perlahan.

Ia bangga dengan lara, derita yang ia jalani. Kesetiaan, kata yang menjadi kunci dalam hatinya, ia bangga disebut setia, tapi sia-sia.

Pairun Adi/Senandung Kiara
Malang, 20 September 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun