Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Laknat Lelaki di Ujung September

17 September 2016   15:16 Diperbarui: 18 September 2016   03:11 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu, di sebelah wajah bulan, Dea lepaskan pucat itu. Ada rindu lain, saat lelaki itu sedang terpesona, ia tawarkan bahu kirinya. Basah itu seperti gerimis, telah pula lepas perlahan dari matanya, Dea hitung setiap rintik sebelum tersimpan rapi di ingatan dan menamainya kesedihan.

Di tembok-tembok kamarnya, wajah lelaki itu terlukis, dengan senyum yang menawan, walau matanya sembab, mendung bergelayut di sana. Tabir menyelimuti setiap hembusan napas.

Entahlah..., semenjak mengenal lelaki itu, Dea tak bisa melupakannya. Jauh sebelum kata-kata menemukan titik, Dea telah jatuh cinta pada anak rambutnya.

Meremang lelaki itu di ujung bibir Dea, dalam kecup selembut janji awan yang menggantung di langit terang medan abu-abu. Ia tiduri dengan suka rela, seperti mau lelaki itu.

Lalu, pada keinginan yang belum begitu dewasa, Dea telah sibuk mempersolek kecantikkannya. Membintangkan nama lelaki itu di langit-langit mimpinya yang tinggi, mencandui serupa canabi, kemudian rela kepayang dirundung bimbang. Tersebab senyap itu lahir prematur dari tutur Dea yang mundur perlahan.

Penyesalan membekap hati, serupa rembulan yang kehilangan cahaya, atau induk ayam yang kehilangan anak. Tidak seharusnya, perempuan memberikan separuh hati pada lelaki lain, selain belahan jiwanya.

"Kau membuat luka, Dea. Memeluk, mencumbui sepi, kemudian menikam jantungku!" dengan menahan sakit, lelaki itu berseru, lantang suaranya, membuat Dea terjaga dari lamunan.

"Maafkan aku..., cinta itu datang dengan sendirinya, dan aku..., aku tak mampu menolaknya," dengan serembah membasah pipi, Dea menjawab lirih.

Dea memilih setia, seperti janjinya, walau sakit yang ia terima selama ini. Tapi, cinta bukanlah rasa sakit, cinta itu bahagia, indah seperti kupu-kupu yang berdansa di atas taman bunga. Ia mencoba bertahan dalam terpaan badai, berharap kekasihnya melukis pelangi setelah reda.

Setahun ia tinggalkan cinta laknatnya, dan kini, ia kembali. Masih tentang kenang, di atas bukit yang dulu, lelaki itu berdiri dan menumpahkan rasanya.

Senja ini, September ke dua Dea menjejakkan kakinya di bukit yang sama setahun yang lalu. Saat awam menyaput birunya langit menjadi abu-abu kehitaman, lelaki itu masih terlihat sama, berdiri di tempat yang sama, mungkin meratapi cinta laknatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun