Mohon tunggu...
Pairunn Adi
Pairunn Adi Mohon Tunggu... Administrasi - Penyuka fiksi

Seorang Kuli Bangunan yang sangat suka menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perempuan Bermata Bulan

12 September 2016   11:41 Diperbarui: 12 September 2016   23:36 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kutemukan selarik lengkung gandrung pemilik lagu sepi, sedikit bimbang ia masih juga menimang dengung rindunya sendirian. Menatap wajah kekasih di dinding kamar, menertawainya, lalu kembali berkidung sendiri, seorang diri.

Ia perempuan paruh baya, secantik bunga anggrek bulan, dengan rambut hitam, panjang bergelombang. Hidung mancung, bibir tipis, kulit putih dan matanya seperti purnama. Bagai Dewi Shinta, kecantikannya teramat sempurna.

Ia tak pernah terkena sinar mentari, semenjak Sang Kekasih pergi, yang tak pernah kembali lagi. Rindunya laksana ditawan Sang Rahwana, mendekam dalam kalbu, selalu berontak ingin keluar dari dadanya yang menggiurkan hasrat lelaki.

Bayangan wajah sang kekasih masih memenuhi langit-langit, samar, tapi senyumnya jelas mempesona. Senyum itulah yang meluluh-lantakan hatinya.

Secakup jarak tak cukup menelan debar yang tumpah pada nanar cekung mata. Ia masih percaya bahwa cinta bisa berwajah apa saja, bahkan pada nasib paling piatu sekalipun. Tetap, rindu itu masihlah canabi, masihlah madu, meski kelat melebihi empedu.

Sedetik, sehari, sebulan, bahkan setahun, ia menanti dengan debarnya di dada. Impiannya masih tersimpan di sudut kamar, impian yang menguatkan hatinya untuk bertahan.

Kata-kata kembali meraba dada, kali ini lebih buta dari yang lalu, legit namun pahit. Ia menelannya dengan rela dan masih berharap kekasih akan tiba di pematang petang. Membawa wangi keringat matahari, menyablim senja dengan pelukan hangat. Bersatu dalam detak kian padat. Lekat tak terpisah.

Perihal mimpi nanti malam, matanya tentu bulan, angannya lebih bintang.

Dan sepuisi pertemuan bukan lagi basa-basi. Ia menari di sana bersama lilin dan aroma rose kesayangan kekasihnya, di atas dangau tua yang ditinggalkan cukup lama.

Sementara ia tak pernah keluar kamar, Perempuan Tua yang rambutnya separuh putih, sangat setia membasuh sepinya. Kerut kening tak dihiraukan, ia masih menyalakan asa pada perempuan paruh baya itu.

"Kembalilah, Nduk..., jangan menunggu yang sudah pergi. Lihatlah, rambutku telah memutih, tak kan lama lagi aku pun akan pergi," ujar Perempuan Tua lirih.

"Pasti ia kembali, Bu. Bersabarlah..., seperti sabarku menunggu gemintang turun," jawab Perempuan Paruh Baya dengan datar, tanpa ada ekpresi di raut mukanya. Mungkin, sedatar keyakinnya yang hampir punah juga.

Ketika malam, perempuan tua menemaninya bermimpi, meramainya anak kecil yang menghuni dangaunya dengan canda-tawa, tangis dan pertengakaran. Ia goreskan warna keceriaan di setiap sudut dinding dengan jari-jarinya yang sudah mengeriput.

"Apakah kau tak menginginkan kehadiran anak-anak kecil di sini? Mereka akan mengusir sepi, menendang sunyi dengan tangisannya dan kenakalan-kenakalan yang mereka lakukan. Tidakkah kau ingin menjadi seorang ibu bagi mereka?" dengan penuh kasih, Perempuan Tua membelai rambut Perempuan Paruh Baya, berharap ia segera tersadar dari mimpinya yang tak bertepi.

Wanita Paruh Baya menjawab dengan tawa yang lirih, serembah mengalir dari kedua matanya yang bulan. Tawa penuh kedukaan, hanya ia sendiri yang mengerti arti sebuah penantian, mungkin sia-sia.

Setiap pagi, aku membersihkan mimpi mereka. Menaruh sekuntum mawar merah di pojok meja riasnya, sesekali meyelipkan nama dan rayuan pada perempuan bermata bulan. Berharap ia kembali ke logika, menghapus bayangan senja yang suram, mengantinya dengan kisah nyata.

Setahun, aku melukis kisah dalam ingatannya. Mendekap kasih, melumat malam, terbang memetik bintang, berusaha mengantikan mimpinya.

Pairun Adi/Senandung Kiara
Malang, 11 September 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun