"Pasti ia kembali, Bu. Bersabarlah..., seperti sabarku menunggu gemintang turun," jawab Perempuan Paruh Baya dengan datar, tanpa ada ekpresi di raut mukanya. Mungkin, sedatar keyakinnya yang hampir punah juga.
Ketika malam, perempuan tua menemaninya bermimpi, meramainya anak kecil yang menghuni dangaunya dengan canda-tawa, tangis dan pertengakaran. Ia goreskan warna keceriaan di setiap sudut dinding dengan jari-jarinya yang sudah mengeriput.
"Apakah kau tak menginginkan kehadiran anak-anak kecil di sini? Mereka akan mengusir sepi, menendang sunyi dengan tangisannya dan kenakalan-kenakalan yang mereka lakukan. Tidakkah kau ingin menjadi seorang ibu bagi mereka?" dengan penuh kasih, Perempuan Tua membelai rambut Perempuan Paruh Baya, berharap ia segera tersadar dari mimpinya yang tak bertepi.
Wanita Paruh Baya menjawab dengan tawa yang lirih, serembah mengalir dari kedua matanya yang bulan. Tawa penuh kedukaan, hanya ia sendiri yang mengerti arti sebuah penantian, mungkin sia-sia.
Setiap pagi, aku membersihkan mimpi mereka. Menaruh sekuntum mawar merah di pojok meja riasnya, sesekali meyelipkan nama dan rayuan pada perempuan bermata bulan. Berharap ia kembali ke logika, menghapus bayangan senja yang suram, mengantinya dengan kisah nyata.
Setahun, aku melukis kisah dalam ingatannya. Mendekap kasih, melumat malam, terbang memetik bintang, berusaha mengantikan mimpinya.
Pairun Adi/Senandung Kiara
Malang, 11 September 2016