Mohon tunggu...
Desa PagitaSinach
Desa PagitaSinach Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa_UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA

HUKUM KELUARGA ISLAM

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

About Marriage Problems

21 Maret 2023   21:05 Diperbarui: 21 Maret 2023   21:49 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Apa itu Hukum Perdata Islam? Bagaimana pengertiannya? Pastinya kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan Hukum Perdata Islam, jadi Hukum Perdata Islam menurut saya adalah Hukum yang mengatur hubungan antara individu dengan individu yang lain, yang didalamnya memuat berbagai aspek. Sebenarnya kita lebih sering menyamakan istilah Hukum Perdata dengan Fikih Muamalah, karena nyatanya pembahasan antara kedua cabang ilmu tersebut tidak jauh berbeda.

Hukum Perdata Islam Di Indonesia adalah sebuah aturan yang mengatur bagaimana hubungan antar individu dan bagaimana ditaatinya Hukum tersebut. Hukum Perdata Islam Di Indonesia berlaku dan berjalan di suatu Negara, yang sesuai dengan dasar  Negara Republik Indonesia, yang bersumber dari Hukum positif dan Hukum adat yang berlaku di Indonesia.

Hukum Perdata Islam Di Indonesia termasuk kedalam Hukum privat yaitu Hukum antar perorangan yang lebih menitikberatkan pada suatu kepentingan. Hukum Perdata Islam di Indonesia merupakan sebagian Hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau telah menjadi Hukum Positif yang berjalan di Indonesia.

Prinsip Perkawinan Menurut Undang Undang Perkawinan Nomer 1 Tahun 1974 dan KHI

Setiap Negara pasti mempunyai sumber aturan dalam mengatur masyarakatnya, mengenai perkawinan Indonesia telah mengatur dalam Undang Undangan tersendiri yaitu dalam UU Perkawinan Nomer 1 Tahun 1974. Undang Undang ini mengatur apa saja prinsip Perkawinan yaitu:

  • Yang pertama yaitu membentuk keluarga yang kekal dan bahagia
  • Pada UU Nomer 1 Tahun 1974 juga mengatur mengenai poligami yaitu, bagaimana proses pegajuan ijin dipengadilan serta proses ijin istri baik secara lisan maupun tertulis.
  • Batas usia perkawinan, dalam UU Nomer 1 Tahun 1974 yaitu 19 tahun baik laki laki maupun perempuan, nah apabila perkawinan yang dilaksanakan namun usia nya belum memenuhi syarat harus meminta dispensasi nikah jika ingin melaksanakan perkawinan.
  • Putusnya Perkawinan ditentukan oleh putusnya pengadilan.
  • Kedudukan suami istri harus sefuku, hal ini harus dilakukan agar mencegah untuk alasan putusnya perkawinan.
  • Terpenuhnya rukun dan syarat perkawinan.
  • Tujuan dari perkawinan menurut UU Nomer 1 Tahun 1974 yaitu membangung keluarga yang SAMAWA.
  • Dalam UU nomer 1 Tahun 1974 hak kewajiban suami istri harus seimbang.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam lebih ditekan bahwa akad yang terjadi ketika perkawinan yaitu sangat kuat dan sakral, hal tersebut juga merupakan sebagian dari penyempurnaan Agama.

Pencatatan Perkawinan

Menurut saya mengenai pencatatan perkawinan perlu adanya sosialisasi dari pemerintah mengenai seberapa penting pencatatan perkawinan bagi kedua belah pihak terutama pihak perempuan. Pembaharuan program prongram dan juga kesadaran masyarakat juga sangat penting untuk menjadi gebrakan agar masyarakat lebih terbuka mengenai seberapa urgen pencatatan perkawinan tersebut.

Seacara yuridis : apabila tidak terjadi pencatatan pernikahan maka tidak adanya bukti otentik yang berkekuatan hukum, jadi apabila terjadi suatu persengketaan maka hak istri dan anak tidak bisa terlindungi karena tidak adanya bukti otentik (akta nikah). Hal ini juga diperuntukan guna menertiban adminitrasi bagi pemerintahan.

Secara Sosiologis : bahwa masyarakat indonesia lebih sering melakukan pernikahan dibawah tangan (tidak dicatatkan) karena menurut mereka nikah ya bearti melangsungkan akad yang sah. Hal ini dipengaruhi karena pembenturuan Hukum Adat yang berlaku dan Hukum Positif di Indonesia.

Secara Religius : sebenarnya pencatatan perkawinan dalam pandangan agama menjadi sebuah kemaslahatan dalam hal mempermudah urusan yang berkaitan dengan umum dan hukum.

Pendapat Ulama Serta KHI Mengenai Perkawinan Wanita Hamil

Permasalahan perkawinan wanita hamil pastinya terjadi dalam kehidupan masyarakat, perkawinan yang dilangsungkan ketika wanita tersebut hamil, hal itu terjadi guna menutupi aib keluarga pihak perempuan. Dalam Kompilasi Hukum Islam permasalahan tersebut telah diatur dalam pada pasal 53 ayat (1), (2) dan (3). Dalam pasal itu perkawinan wanita diperbolehkan apabila dikawinkan dengan laki laki yang menghamilinya tanpa menunggu anak yang ada dikandungan itu lahir dan tidak perlu dilangsungkan perkawinan ulang. Perkawinan yang dilangsungkan saat wanita hamil adalah perkawinan yang sah.

Sedangkan para ulama mempunyai pendapat masing masing tentang sah tidaknya perkawinan yang dilangsungkan saat wanita tersebut hamil. Menurut 4 mazhab ada yang berpendapat sah dan ada juga yang mengatakan tidak sah. Menurut Abu Hanifah dan Asy Syafii akad yang dilangsungkan sah tanpa menunggu masa iddahnya (sampai melahirkan). Asy Syafii beralasan bahwa janin dari perkawinan yang sah dianggap tidak ada sehingga tidak berlaku masa iddahnya.

Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa mengatakan laki laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita tersebut, kecuali sudah bertaubat dan setelah ia melahirkan anaknya (telah habis masa iddahnya). Namun apabila tidak bertaubat maka Imam Ahmad berpendapat tidak boleh menikahi dengan siapapun.

Menurut Sayyid Sabiq, boleh menikahi wanita pezina dengan catatan wanita tersebut telah bertaubat terlebih dahulu. Menurut M. Quraish Shihab pada dasarnya, pria yang menikahi wanita yang pernah dizinai hukumnya sah sah saja.

Hal Hal Untuk Menghindari Perceraian

Ada banyak sekali faktor faktor yang melatar belakangi perceraian, walaupun perceraian adalah perbuatan yang dibolehkan namun dibenci oleh ALLAH SWT. Perceraian adalah jalan terakhir yang dipilih apabila terjadi pertengakaran dalam sebuah rumah tangga. Dampak perceraian juga tidak hanya bagi pihak yang bercerai saja akan saja bagi anak yang lahir dari perkawinan tersebut, dampak tersebut sebagai dampak jangka panjang.

Adapun hal hal yang bisa dilakukan untuk menghindari perceraian, menikah adalah hal yang sakral jadi bagi kita sebelum memutuskan untuk menikah kita juga harus berfikir secara matang. Mempelajari ilmu ilmu tentang pernikahan bahkan mengikuti seminar atau pendidikan pra nikah agar mengetahui hak serta kewajiban masing masing baik suami ataupun istri. 

Tak kalah penting yaitu Belajar mengkontrol emosi dan belajar menyelesaikan konflik, apabila terjadi perselisihan dan juga membangun jalinan komunikasi yang baik antar kedua belah pasangan. Hal ini juga bisa menjadi tugas bagi pemerintahan yaitu adanya sebuah kebijakan serta pelayanan pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga baik secara ekonomi maunpun agama untuk bisa ditingkatkan lagi, guna bisa menekan tingginya angka perceraian.

Review Book

Judul               : PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK ASUH ANAK (HADHANAH) terhadap istri yang keluar dari Agama Islam.

Penulis             : Zulfan Efendi,S.Ag.M.Pd.I

Tahun terbit    : 2019

Penerbit           : STAIN Sultan Abdurrahman Press

Cetakan           : Cetakan pertama, Desember 2019

Kesimpulan yang dapat saya ambil dalam buku ini yaitu mengenai Hadhanah yaitu merawat serta mendidik anak kecil yang belum mampu menjaga diri sendiri (baligh), dalam hadhanah ini juga terdapat nafkah yang harus diberikan pihak ayah kepada sang anak besar kecilnya nafkah tersebut ditentukan dari kemampuan sang ayah. Dalam penjatuhan hak anak ini apabila seorang anak itu belum menginjak usia 17 tahun maka haknya dijatuhkan oleh pihak ibu, apabila diatas 17 tahun anak tersebut diberikan pilihan dia ingin ikut pihak ayah atau ibu.

Dalam buku ini pun permasalahan yang diangkat yaitu bagaimana bila terjadi sebuah gugatan bagi sang ayah yang mengugat hak asuh karena mantan istrinya telah keluar dari Agama Islam. Pengadilan Agama Pekanbaru tetap memproses gugatan tersebut namun putusan yang diberikan Ketua Pengadilan Agama tersebut mempertimbangkan bagaimana psikologi anak tersebut. Sehingga pada akhirnya kasus tersebut Hak Asuh Anak tetap berpihak pada sang ibu walaupun ibunya adalah orang murtad.

Pembelajaran yang saya dapatkan adalah bahwa dampak perceraian begitu besar salah satunya mengenai Hak Asuh anak dan juga bagaimana sikap Ketua Pengadilan Agama yang menangani kasus tersebut juga sangatlah adil alasaya Ketua Pengadilan Agama tersebut tetap memproses gugatan Hak Asuh Anak yang dijatuhkan sang ayah tetapi tetap memperdulikan bagaimana dampak psikologi anak tersebut. Sehingga apabila kita terdapat kasus tersebut kita bisa mempertimbangkan seadil adilnya sebuah putusan.

DESA PAGITA SINACH_HKI 4B_212121058_UTS H. Perdata Islam Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun