Naturalisasi di PSSI: Solusi atau Involusi
"Anda dapat termotivasi dengan rasa takut, dan Anda dapat termotivasi dengan imbalan. Namun, kedua cara tersebut hanya bersifat sementara. Satu-satunya yang abadi adalah motivasi diri."---(Homer Rice)
Indonesia sangat berharap dapat mendongkrak prestasi sepak bola dengan mendatangkan pelatih dari negeri ginseng. Pelatih Shin Tae-Yong yang kini melatih tim nasional Indonesia merupakan pelatih tim senior Korea Selatan pada tahun 2017-2018. Ia berhasil mengalahkan juara bertahan Jerman pada piala dunia 2018. Harapan besar PSSI sulit terwujud jika tanpa motivasi diri yang kuat untuk melakukan reformasi sepak bola nasional yang menyeluruh dan berkesinambungan. Â
Prestasi sepak bola masa dekade awal berdirinya Republik Indonesia sebenarnya sangat membanggakan. Indonesia yang masih belia justru mampu unjuk gigi di level Asia. Indonesia berhasil melaju pada semifinal Asian Games Manila 1954. Indonesia dikalahkan Taiwan dengan skor 2-4. Kemudian, Indonesia lolos dalam Olimpiade Melbourne 1956 dan berhasil menahan imbang Rusia 0-0. Indonesia bahkan berhasil meraih medali perunggu pada Asian Games 1958 di Tokyo dengan mengalahkan India dengan skor 4-1. Prestasi sepak bola Indonesia pada dekade selanjutnya justru terus melorot di bawah rezim Orde Baru yang berhasil melakukan stabilisasi politik dan ekonomi. Prestasi tertinggi selama rezim Orde Baru hanyalah meraih medali emas di Sea Games Manila 1991 dengan menaklukkan Thailand melalui drama adu penalti 4-3. Kemudian, prestasi timnas makin terbenam. Indonesia mandul prestasi selama tiga puluh tahun. Â Â Â
Usulan naturalisasi pemain asing yang kembali berhembus di tubuh tim nasional Indonesia pada tahun 2022 ini menandakan PSSI masih terbelenggu pola pikir instan dalam membenahi kualitas sepak bola. Solusi jangka pendek tersebut berupaya menghindari proses panjang yang terjal dan berliku. Jerman berhasil meraih juara piala dunia 2014 setelah mereformasi sepak bolanya secara fundamental pada tahun 2002. Jerman mulai mewajibkan tiap klub Bundesliga 1 dan Bundesliga 2 untuk memiliki akademi sepak bola. Tiap akademi sepak bola minimal memiliki dua belas pemain untuk tiap kelompok umur. Setiap klub Jerman harus mengeluarkan 75 juta euro per tahun atau setara Rp 1 triliun (1 euro senilai Rp 13.000-an pada satu dekade lalu).
Solusi Jangka Panjang
Indonesia perlu mereformasi sepak bola secara menyeluruh dan berkesinambungan setidaknya selama dua dekade. Jerman yang memiliki industri sepak bola yang relatif maju saja membutuhkan dua belas tahun untuk meraih juara Piala Dunia 2014. Jerman akhirnya memutuskan untuk mereformasi sepak bolanya setelah meraih hasil memalukan pada Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Jerman kalah dari Kroasia 0-3 pada babak perempat final Piala Dunia 1998. Hasil paling memalukan adalah juru kunci pada Piala Eropa 2000 dengan rekor tidak pernah menang, yaitu Jerman bermain imbang 1-1 dengan Romania, Jerman dikalahkan Inggris 0-1, dan dibungkam Portugal 0-3. Kekalahan dari Thailand untuk ketiga belas kalinya sejak Piala Tiger 1996 hingga final Piala AFF 2020 seharusnya cukup untuk membuat Indonesia mulai serius berbenah diri.
Membenahi kualitas timnas sepakbola Indonesia tidak cukup hanya mendatangkan pelatih berkelas dunia. Seorang pelatih timnas pastilah tidak dapat berbuat banyak jika tidak didukung materi pemain mumpuni. Oleh karena itu, organisasi PSSI seharusnya setia mengabdi untuk menjamin profesionalitas dan mutu liga Indonesia. Jika diibaratkan sistem pendidikan, timnas sepak bola Indonesia merupakan jenjang pendidikan tinggi. Mutu lulusan jenjang pendidikan tinggi tidak berdaya saing jika tidak ditopang pendidikan sekolah dasar dan menengah yang berkualitas. Mengacu kondisi liga Indonesia yang centang perenang, maka target juara di level Asia Tenggara yang hanya berjumlah sepuluh negara peserta akan sulit diraih.
Organisasi PSSI harus rendah hati untuk belajar dari federasi bulu tangkis nasional kita yang meraih segudang prestasi di tingkat dunia. Kesuksesan tim bulu tangkis Indonesia karena didukung kolaborasi serta sinergisitas pemerintah dan swasta dalam melakukan pembinaan atlet muda yang terencana dan sistematis. Organisasi PSSI selama ini cukup lama menjadi bancakan para politisi. Suap dan pengaturan skor yang marak terjadi dalam liga Indonesia tidak pernah mendapat sanksi tegas. Â Â Â
Organisasi PSSI seharusnya menolak keras naturalisasi pemain asing karena Indonesia memiliki tim junior yang sarat prestasi. Tim junior Indonesia yang diwakili ASIOP Apacinti pernah menjuarai kejuaraan dunia U-15 bernama Gothia Cup 2016 dengan mengalahkan tim Swedia IF Elfsborg 3-1. Kemudian, timnas U-22 berhasil meraih perunggu pada ajang AFF 2017. Namun, prestasi timnas junor belum mampu dikapitalisasi. Naturalisasi sejatinya solusi jangka pendek yang menggadaikan masa depan atlet muda hanyalah merupakan involusi atau kemunduran.
Prestasi sepak bola Indonesia di tingkat Asia dan bahkan Piala Dunia hanyalah isapan jempol jika Indonesia tidak konsisten mengembangkan strategi prestasi sepak bola jangka panjang yang bersifat TSM (Terstruktur, Sistematis, Masif). Pembinaan sepakbola yang terstruktur dimulai dari tingkat kecamatan, kabupaten/kota, provinsi mulai tingkat usia U-13, U-15, U-17, U-19, U-21. Jika pemerintah memiliki kendala dana, pemerintah dapat mengikuti kisah sukses Jerman dengan membuat regulasi untuk "memaksa" tiap klub sepak bola profesional wajib berinvestasi dengan memiliki satu akademi sepakbola untuk segala kelompok usia.
Kemudian, kita dapat mengikuti jejak Italia yang juga juara piala dunia empat kali seperti Jerman melalui pembinaan sepakbola yang sistematis. Meskipun sebagian besar klub sepak bola Italia tidak memiliki lapangan sendiri seperti kebanyakan klub sepakbola profesional di Indonesia, mereka punya sistem kompetisi berjenjang. Liga mereka berjenjang dimulai dari seri D-C-B-A. Liga atau kompetisi sepak bola Indonesia kurang berjenjang sehingga kualitas sepak bola profesional kita tidak melewati proses yang relatif memadai. Terakhir, Indonesia dapat meniru Korea Selatan yang masif menerapkan jam olah raga empat kali dalam seminggu. Cara Korsel relatif agaknya sulit ditempuh terkait beban kurikulum kita yang sudah sangat berat. Oleh karena itu, langkah masif minimal yang mudah dieksekusi, yaitu prioritaskan sepak bola dan filsafat olah raga menjadi materi pokok di tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah.***
(Pagar Sianipar, pecinta sepak bola dan siswa SSB Tunas Patriot, Bekasi 1999-2000)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H