Mohon tunggu...
Padre Pio Wisnu Amengku Djati
Padre Pio Wisnu Amengku Djati Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Siswa SMA Kolese Kanisius Jakarta

Siswa yang sedang mencari hobi baru.

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Membelai Paras Negeri Gurindam Dua Belas

26 Mei 2024   16:14 Diperbarui: 26 Mei 2024   21:12 633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi: 500 Lohan Temple Vihara Ksitigarbha Bodhisattva, Kepulauan Riau. 

Banyak orang tahu Gurindam Dua Belas merupakan sajak berisi petuah tentang cara hidup beragama dan bermasyarakat orang Melayu. Sajak-sajak karya Raja Ali Haji yang tersohor hingga kini menjadi pedoman hidup masyarakat Melayu yang lekat dengan kesusastraannya. Tak perlu jauh-jauh, sebut saja pantun, gurindam, syair, talibun, karmina dan jenis puisi lainnya memenuhi gudang karya Melayu Klasik yang diajarkan hingga kini.

Namun, bukan itu yang ingin dibahas kali ini. Banyak orang tahu Gurindam Dua Belas diciptakan tapi tak banyak yang tahu letak dimana sajak indah itu dilahirkan. Perjalanan membawa saya menuju Pulau yang letaknya tak jauh dari Singapura, Pulau Bintan namanya. 

Mencium Tanah Tanjung Pinang

Mendarat di ibukota Kepulauan Riau di sore hari, saya lekas mencium bau tanah bauksit di Bandara Raja Haji Fisabilillah. Perjalanan melalui pesawat ditempuh hampir sama dengan menuju Changi Airport. Bedanya hanya tiket dari Jakarta harganya dua kali lipat lebih mahal daripada menuju Singapura. Maklum, tak lebih dari lima pesawat yang tiap harinya melayani penerbangan dari Jakarta menuju Tanjung Pinang. 

Kesunyian senja Tanah Melayu menyambut saya ketika tiba. Sulit ditemukan hiruk pikuk keramaian saat menuju malam. Sesunyi itu pandangan pertama melihat jalanan yang besar tapi tak ramai. Sepanjang perjalanan menuju hotel, kanan dan kiri dihiasi dengan ruko-ruko baru dengan banner tulisan disewa. 

Karena lapar, saya diajak menuju Akau Potong Lembu. Ya itulah namanya, hingga pulang ke Jakarta benak ini masih bingung mengapa dinamakan demikian. Ibarat Chinatown PIK, Akau Potong Lembu adalah tempat bercengkrama masyarakat Tanjung Pinang. 

Banyak kuliner dapat ditemukan di sini, sebut saja teh tarik, nasi lemak, otak-otak, hingga babi panggang sangat mudah untuk dicari. Namun, ada satu hidangan yang paling terkenal di sini, sampai terkenalnya makanan yang berasal dari laut ini dibuatkan tugu di tengah kota sebagai tanda kuliner khas masyarakat Tanjung Pinang, gonggong namanya. 

Jika belum tahu, gonggong adalah suatu jenis siput yang habitatnya banyak tinggal di sekitar Pulau Bintan dan Batam tetangganya. Cara gonggong disajikan hampir sama seperti kerang dara di pecel lele, cukup direbus bersama dengan siungan bawang dan jahe jika ada. 

Perlu diketahui sampai  pulang, perut saya sudah cukup rasanya menelan gonggong ini. Gonggong begitu menjadi primadona masyarakat Tanjung Pinang dan sekitarnya, hal ini juga disebabkan oleh banyaknya masyarakat yang bekerja sebagai nelayan.

Menyisiri Timur Pulau Bintan

Karena waktu itu sedang liburan, maka mengelilingi satu pulau ini adalah kewajiban. Dari luas memang tampaknya kita bisa mengelilingi satu Pulau Bintan dalam satu hari. Bertemu dengan Bang Kinoy, pria kelahiran Dabo Singkep, sebuah pulau yang berjarak 158 Km ke arah selatan Pulau Bintan. Beliau menemani saya selama perjalanan keliling pulau. 

Perjalanan pertama adalah pergi menuju Vihara Ksitigarbha Bodhisattva atau 500 Lohan Temple atau juga masyarakat Bintan menyebutnya Patung Seribu. Lokasinya tak jauh dari Tanjung Pinang, jalanan yang mulus mempercepat perjalanan. Destinasi pertama  ternyata sudah membuat saya terpukau dengan artistiknya yang tak mungkin dijumpai di tempat lain. 

Seperti namanya, di vihara ini terdapat 500 patung lohan sebesar postur tubuh manusia yang masing-masing memiliki karakteristik dan mimik wajah yang berbeda. 

Semua patung memiliki ciri khasnya sendiri, tak ada dari satupun patung yang memiliki bentuk atau ciri khas yang sama. Lokasi vihara yang berada di atas perbukitan menambah suasana menjadi kian ciamik diwarnai lapisan batu berwarna abu-abu menjadi tembok mengelilingi vihara.

Dokumentasi Pribadi: Pantai Trikora, Bintan, Kepulauan Riau.
Dokumentasi Pribadi: Pantai Trikora, Bintan, Kepulauan Riau.

Perjalanan tak berhenti disitu saja, lanjut di siang hari hujan datang saat mobil melewati luasnya kebun sawit yang tiada batasnya hingga akhirnya muncul warna biru kelautan tanda sudah sampai di pesisir timur Pulau Bintan. Walau hujan menghadang, ombak tampak tenang seakan memanggil saya untuk turun dan bermain. Bahkan saat turun, hujan berhenti dan memberikan kesempatan untuk menepi. 

Destinasi kedua ini bernama Pantai Trikora. Sebuah pantai berpasir putih di timur Bintan yang bertugas memecah ombak arus Natuna. Pemandangan Trikora dihiasi dengan air berwarna biru yang ditemani dengan pulau-pulau kecil dan kelong apung, sebuah rumah kayu mengambang yang merupakan tempat nelayan ikan bilis singgah dan menyimpan hasil tangkapan mereka. Karena sangat panjang pesisirnya, Trikora terpecah menjadi lima pantai. 

Di samping itu juga banyak resor yang membentengi pesisir, membentuk wilayah mereka sendiri. Saya pun banyak mendengar hal baru dari sini, seperti adanya bisnis kawasan turis yang hanya memperbolehkan dimasuki orang asing saja, sedangkan pribumi dilarang untuk masuk.  

Ada pula kawasan yang digunakan khusus untuk pekerja asing dari negara tertentu. Walaupun demikian, masih ada destinasi wisata di daerah timur Bintan yang bisa dinikmati bersama. Masih terdapat resor yang terbuka untuk dinikmati siapa saja. Yang jelas masih terdapat pantai umum yang dibuka bagi masyarakat sekitar. 

Di hari libur panjang seperti kemarin pun, keadaan pantai tetap dipenuhi dengan keramaian anak-anak bermain air bersamaan dengan nikmat terik matahari yang tak mungkin saya dapatkan di Jakarta.

Sayang sekali karena cuaca kembali hujan deras lagi, kembali adalah satu-satunya solusi. Kali ini melewati sebuah daerah bernama Kijang. Sebuah daerah di Bintan yang terkenal dengan otak-otak ikannya. Berbeda dengan otak-otak di Pulau Jawa, otak-otak di sini dilapisi dengan daun kelapa sebelum akhirnya dibakar menghasilkan cita rasa nikmat dengan tekstur otak-otak sotong yang segar dan padat ketika disantap. 

Menurut masyarakat Bintan, daerah Kijang juga merupakan salah satu daerah dengan tingkat indikasi banjir rob yang tinggi di sekitar Bintan. Banjir biasanya muncul di saat musim penghujan yang biasanya muncul di akhir tahun. Tingkat curah hujan yang tinggi dan seiring dibangunnya pabrik dan gudang di pesisir daerah tenggara Pulau Bintan itu membuat daerah ini tak luput dari daerah banjir beberapa tahun terakhir.

Perjalanan hari itu diakhiri dengan memakan mi tarempa. Sebuah hidangan khas Kepulauan Riau khususnya wilayah Anambas yang dihidangkan bersama dengan suiran ikan tongkol. Rasanya yang asam dan manis ini dengan mi yang berbentuk lebar menutup hari mengesankan itu.

Perjalanan ke Barat

Dokumentasi Pribadi: Pagoda Sata-Sahasra, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pagoda tertinggi di Indonesia.
Dokumentasi Pribadi: Pagoda Sata-Sahasra, Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Pagoda tertinggi di Indonesia.

Di hari berikutnya, adalah agenda penting perjalanan untuk menghabiskan seluruh pulau. Tak sabar untuk menghabiskan perjalanan pulau ini. Perjalanan dimulai setelah sarapan dengan ayam bawang khas Melayu yang terkenal di TikTok penjual nasi kandar Malaysia itu. 

Jalanan yang begitu mulus membawa saya menuju pagoda tertinggi di Indonesia yang letaknya tak jauh dari saya singgah. Pagoda Sata-Sahasra yang berada di Vihara Avalokitesvar. 

Pagoda yang baru diresmikan pada tahun 2023 ini merupakan pagoda yang tertinggi di Indonesia dengan tinggi  46,8 meter. Tak lama di sana, waktu menuntut saya untuk mengejar destinasi selanjutnya. 

Mengarah ke barat, perjalanan dilanjutkan melewati lima jembatan berbeda dan melintasi Gunung Bintan, sebuah dataran paling tinggi yang ada di pulau tersebut yang pernah dijadikan tempat shooting lagu Laksmana Raja di Laut karya Iyeth Bustami. Tak sampai sejam akhirnya saya tiba di Gurun Pasir Bintan. Sebuah lokasi bekas tambang yang disulap  menjadi gurun pasir seperti yang ada di Timur Tengah. 

Yang menarik di sekitar gurun ini dapat dijumpai kolam-kolam berwarna air biru terang yang membuat gundukan pasir ini menjadi lebih indah. Beruntung saat berjalan di sana terdapat Festival Gonggong, sebuah festival perayaan tahun baru. Saya pun dapat melihat tarian tradisional Kepulauan Riau dan lagi-lagi UMKM penjual siput gonggong yang menghiasi tenda bazar. 

Dokumentasi Pribadi : Gurun Pasir Bintan, Seri Kuala Lobam, Bintan, Kepulauan Riau.
Dokumentasi Pribadi : Gurun Pasir Bintan, Seri Kuala Lobam, Bintan, Kepulauan Riau.

Keramaian kembali tampak saat memasuki tempat ini. Tampaknya parawisata dan UMKM baru saja tertampar dengan adanya COVID-19 2 tahun yang lalu membuat mereka kembali semangat untuk berjualan. 

Dengan adanya Festival Gonggong diharapkan UMKM dapat kembali pulih karena di Bintan sektor parawisata merupakan salah satu sektor yang penting. Hal ini juga didukung dengan kondisi geografis Pulau Bintan yang begitu strategis dan berpotensi untuk menarik sejumlah Warga Negara Asing (WNA) seperti Singapura atau Malaysia untuk mengunjungi wilayah tersebut.

Kembali ke dalam perjalanan, kini tiba saatnya mencapai ke ujung pulau. Melewati Tanjung Uban, kota kedua terbesar di Bintan setelah Tanjung Pinang. Tampaknya memang seperti kota tua, tetapi kota ini menjadi jalur distribusi penting penyeberangan menuju Batam yang sudah tampak mata di seberang. 

Sebentar singgah di Vihara Dharma Shanti melihat patung Buddha tidur kemudian melanjutkan perjalanan melewati pesisir pantai barat sebelum akhirnya sampai di tempat yang dijuluki sebagai tempatnya orang Singapura healing. 

Lagoi, sebuah lokasi yang dikelola swasta yang menjadi wisata utama di Kepulauan Riau. Dengan mata pun, saya bisa menatap Pulau Singapura bersamaan dengan deru mesin kapal penyeberangan dari Lagoi menuju negara tetangga itu yang terus mengarungi selat tiap harinya. 

Wisatawan di sini tak lain tak bukan menikmati keindahan alam Bintan sekaligus mengunjungi superblock eksklusif yang terbentang luas dari hotel, vila, hingga lapangan golf. Satu hal yang mungkin banyak yang tidak tahu di sinilah terdapat Treasure Bay Bintan, kolam renang terluas se-Asia Tenggara dengan panjang 800 meter yang dapat dinikmati wisatawan. 

Dokumentasi Pribadi: Treasure Bay, Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau.
Dokumentasi Pribadi: Treasure Bay, Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau.

Kawasan Lagoi menjadi salah satu kawasan yang diminati wisatawan mancanegara. Selain dekat, biaya liburan yang lebih murah daripada negara di laut seberang itu membuat banyak dari mereka memilih untuk meninggalkan sejenak aktivitas mereka dan menikmati resor yang langsung disambut dengan angin pantai. Lagoi menjadi kunci ekonomi yang paling besar bagi masyarakat Bintan untuk melangsungkan kehidupan mereka. 

Hidup ala Orang Bintan

Ada beberapa hal yang membuat saya makin tertarik dengan Bintan. Sebagai sebuah ibukota provinsi kota ini bisa dibilang begitu menerapkan slow living. Tiap masyarakat hidup dengan menikmati yang menjadi tanggung jawab mereka. 

Berbeda dengan saudaranya Batam yang sekarang mulai dipenuhi dengan macet dan tempat belanja yang marak, Bintan memberikan suasana alam yang pekat dengan kehidupan rukun terutama antara masyarakat Melayu, Tionghoa, dan etnis lainnya.

Semuanya bisa berjalan bersama membangun pulau yang indah ini. Juga tingkat kriminalitas yang begitu rendah akibat tidak adanya sambungan langsung menuju pulau lain yang memaksa penyeberangan harus memakai jalur laut dan udara membuat kondisi pulau yang tenang.

Tak hanya itu, melalui perjalanan menuju Bintan kemarin membuat saya menyadari betapa pentingnya seni bagi perkembangan masyarakat Melayu. Banyak dari mereka menjunjung dan menikmati seni, mulai dari Gurindam Dua Belas yang menjadi pedoman hidup hingga lagu Cindai karya Dato' Sri Siti Nurhaliza serta penyanyi Pop Melayu lainnya yang didengungkan sepertinya di hampir setiap tempat makan.

Maka tak salah jika Andy Liany yang lahir di sini dapat menciptakan lirik indah dalam aransemen lagu rocknya. Seni sudah tergabung dengan tata hidup masyarakat berabad-abad.

Dokumentasi Pribadi: Pulau Bintan dari atas pesawat.
Dokumentasi Pribadi: Pulau Bintan dari atas pesawat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun