"Bukankah kebenaran itu harus disampaikan walaupun pahit, Bah?" Dalih Sukun dengan menyitir makna sebuah hadits.
Tentu saja kalimat itu bukan mengajari terbang seekor burung. Ungkapan itu sangat populer. Seringkali beberapa penceramah menyerukan satu kebenaran dengan gelegar suara lantang dibubuhi sedikit kecamaan dan hardikan. Ia berhujah, "kebenaran harus diungkapkan walaupun pahit."
Logika Sukun mampu memahami maksud dari perumpamaan cerita Abah tadi, sebetulnya. Namun, bagaimanapun hal itu perlu disampaikan untuk mendamaikan sengketa hati dan pikirannya. Tentu saja pertanyaan Sukun tidak bermakna sesederhana tulisannya.Â
Bukan jawaban iya atau bukan yang dibutuhkan. Namun pertanyaan Sukun bermakna, "tolong jelaskan kenapa perumpamaan yang Abah lakukan seolah bertentangan dengan hadits!"
Sukun bukan anak kemaren sore yang baru mengenal khazanah Islam. Bukan anak milenial yang baru belajar keislaman dari sosial media. Bukan anak yang sesegera mungkin melabeli salah dan kafir kepada orang karena berbeda dengan pengetahuan yang ia tonton di Youtube.Â
Ia tahu ketidaksesuaian pemahaman orang lain dengannya bukan indikasi orang tersebut tidak tahu. Bisa jadi itu menjelaskan bahwa dirinya belum mendapatkan pengetahuan tersebut.
"Begini, jangan karena kasihan ke pasien, lalu dokter bilang, "minum pilnya boleh dengan air susu" Â kalau begitu, khasiat obatnya akan hilang. Walaupun pil pahit, dokter harus sadar itu demi kebaikan pasien. Jangan mengurangi dosis atau menambah pemanis yang tidak bermanfaat. Namun dokterpun harus memberikan resep atau obat itu dengan cara yang baik. Apa yang berlaku kalau si dokter memberikan resep obat dengan cara dilemparkan ke muka si pasien?" Pertanyaan retoris menutup penjelasan Abah.
Sambil manggut-manggut, Sukun memberikan tanggapan, "Berarti maksud hadits itu adalah kebenaran tidak boleh dimodifikasi walaupun pahit rasanya. Namun cara menyampaikannya tetap harus baik. Begitu Bah?"
"Kamu bisa jelaskan!" Bukan menjawab, Abah malah minta Sukun memberikan penjelasan.
"Kalau saya tidak salah, hubungannya ini dengan metode dakwah yang tersurat dalam An-Nahl ayat 125. Ayat ini menjelaskan ada 3 metode dalam berdakwah. Ketiganya merupakan pilihan prioritas berdasarkan urutan. Cara pertama yang terbaik adalah dengan hikmah yaitu dengan suri tauladan. Tidak bisa dengan cara hikmah, gunakan metode kedua; mau'idoh yaitu dengan nasihat-nasihat. Kalau metode pertama dan kedua tidak bisa, kita harus siap dengan metode terakhir, yaitu berdebat." Sukun mengutip ayat Quran dalam penjelasannya.
"Sukun, kamu sepertinya melewatkan sesuatu," Abah mencoba memberikan peringatan.
"Maksud Abah?" Sukun tidak mengerti dengan peringatan Abah.
"Kamu melupakan hal penting yang menjadi penentu wajah Islam yang sebenarnya." Lagi, Abah hanya memberikan penilaian atas sikap Sukun.
 Abah ingin Sukun menemukannya sendiri apa yang telah ia lewatkan. Paling tidak, jika sukun tetap tidak menemukannya, ia menjadi sangat penasaran tentang hal penting yang ia lewatkan.Â
Tujuannya jelas, agar saat Sukun mendapatkannya ia tidak mudah melupakannya. Tentu saja, apa yang Abah lakukan cerminan dari teknik keguruan yang sudah menyatu dengan darah dan dagingnya.
Saling bersahutannya suara tonggeret yang menyambut kedatangan magrib seolah tidak masuk kedalam telinga Sukun. Telinga Sukun tertutup oleh peringatan Abah.Â
Dirinya tenggelam dalam ektase pemikirannya. Kerutan keningnya hampir saja membuat dua alisnya bersatu. Bibirnya komat-kamit seolah membaca mantra-mantra. Abah bagai resi yang setia menunggu muridnya bersemadi.
Dua menit kurang tiga detik berlalu. Lamat-lamat suara degupan semringah dadanya terdengar di telinga Sukun. Kerutan di keningnya kabur. Bibirnya mengembangkan sepucuk senyum.
"Kamu sudah menemukannya, Sukun?" Tampak air bahagia beriak di muka Abah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H