"Maksud Abah?" Sukun tidak mengerti dengan peringatan Abah.
"Kamu melupakan hal penting yang menjadi penentu wajah Islam yang sebenarnya." Lagi, Abah hanya memberikan penilaian atas sikap Sukun.
 Abah ingin Sukun menemukannya sendiri apa yang telah ia lewatkan. Paling tidak, jika sukun tetap tidak menemukannya, ia menjadi sangat penasaran tentang hal penting yang ia lewatkan.Â
Tujuannya jelas, agar saat Sukun mendapatkannya ia tidak mudah melupakannya. Tentu saja, apa yang Abah lakukan cerminan dari teknik keguruan yang sudah menyatu dengan darah dan dagingnya.
Saling bersahutannya suara tonggeret yang menyambut kedatangan magrib seolah tidak masuk kedalam telinga Sukun. Telinga Sukun tertutup oleh peringatan Abah.Â
Dirinya tenggelam dalam ektase pemikirannya. Kerutan keningnya hampir saja membuat dua alisnya bersatu. Bibirnya komat-kamit seolah membaca mantra-mantra. Abah bagai resi yang setia menunggu muridnya bersemadi.
Dua menit kurang tiga detik berlalu. Lamat-lamat suara degupan semringah dadanya terdengar di telinga Sukun. Kerutan di keningnya kabur. Bibirnya mengembangkan sepucuk senyum.
"Kamu sudah menemukannya, Sukun?" Tampak air bahagia beriak di muka Abah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H