Oleh: Saifuddin Du
Di kamar lima Alhusna, aku hanya duduk termangu bertemankan rasa hampa. Mentari senja mulai menarik diri dari peredarannya. Awan-awan kuning keemasan telah menyeruak memenuhi cakrawala. Sinar-sinar mentari menghangatkan suasana dengan lembutnya, menyulamkan benang-benang cahayanya di celah-celah Jendela Cinta. Debu-Debu Asmara yang menempel di kaca pun turut menyuarakan nyanyian sunyi dalam dada.
“Ah, kenapa semarak senja yang menyapa ini tak sampai menjangkau hatiku juga. Kelam rasanya! Ia harusnya mewangi oleh bunga-bunga dari taman Alhusna, yang setiap hari disiram oleh segarnya air telaga. Oh Dinda, ada apa denganmu pujaan hatiku? Kenapa engkau tak datang juga di hari-hariku yang semakin redup saja? Akankah engkau telah bahagia di sana, di asrama tempat kau cari ilmu serupa intan dan permata?” Suara lamunanku sore itu.
“Mas Sai,” terdengar suara memecah bayang-bayang mimpiku yang membumbung tinggi.
“Mas Sai, dipanggil sama Mbah, ditunggu di depan musholla,” kata adik kelas yang telah berulang kali memanggil-manggilku. Ia pun terus pergi setelah aku mengiakannya. Duh Mbah, ada apa pula denganmu memanggilku yang sedang sepi ini! Adakah kabar bahagia atau nestapa yang akan kau bawa?
Aku pun segera turun menuju musholla Alhusna. Ketika lewati tangga aku rasakan hembusan udara senja menyapa kulitku yang sedang dirudung duka, membuat bulunya menari-nari, memberikan kesejukan layaknya belaian sang kekasih hati. Aku bayangkan Mbah, salah seorang teman sekamarku yang berwajah tua, sedang memberiku kejutan. Namun tiada kuberani angankan kebahagiaan ataukah kepedihan kejutan yang dibawanya itu.
Mbah kelihatan telah menunggu ketika aku sampai di depan musholla. Ia duduk pada batu penghubung musholla dan tempat wudlu, bertemankan sunyinya sendiri, juga burung gereja yang sedang bernyanyi. Begitu memandangku yang telah duduk di sampingnya, ia berkata:
“Sai, ada tugas untukmu.”
“Tugas apa, Mbah?” kataku bertanya.
“Ini permintaan dari si Dinda, pujaan hatimu itu.”
Ah, Mbah! Belum selesai engkau bicara pikiranku sudah melayang kemana-mana. Ucapanmu yang sedikit itu telah membawaku terbang jauh menjelajah angkasa raya dan mengarungi samudra. Seolah engkau sedang menabuhkan genderang di jantungku, terus saja memacunya cepat dan semakin cepat, sehingga hilang sadarku. Ada apa gerangan dengan diriku ini? Akankah ini yang disebut cinta ketika ia sedang menyala-nyala? Ataukah mungkin ini rindu yang sedang menggebu? Aku tak tahu. Permintaan si Dinda macam apa pula yang kau bawa padaku, Mbah? Sudah tak sabar lagi rasanya diriku ingin tahu.
“Begini Sai, si Dinda bilang padaku besok ia ada praktikum. Ia memintamu mencarikan sesuatu,” kata Mbah.
“Apa Mbah, apa yang ia pinta?” tanyaku tak sabar.
Mbah seakan tahu rasaku yang sedang dihujani oleh seribu panah penasaran dari langit. Ia tidak segera melanjutkan perkataan yang telah digenggamnya. Ia malah pandangi aku dengan senyum yang menertawakanku. Senyum yang kurasai sebagai sambaran halilintar tepat di mukaku. Setelah beberapa saat diam tanpa kata, kemudian ia melanjutkan:
“Ia memintamu mencarikan katak, Sai. Besok pagi, sebelum berangkat sekolah, serahkanlah katak itu padanya! Ia akan menunggumu di Garasi Rindu. Kamu pasti bersedia kan?”
Setelah mengatakan itu, tanpa menunggu persetujuan dariku Mbah terus pergi kembali ke alamnya, Dapur Kenangan. Barangkali ia telah yakin aku pasti akan melakukan apapun buat sang pujaan hati. Sedangkan aku sendiri, belum sempat rasanya aku meyakini ucapannya. Bisa saja ia sedang menggoda sebelum nantinya menertawakanku, seperti halnya yang sering dilakukan teman-teman lain terhadapku. Tetapi hatiku selalu ragu, bagaimana kalau tidak, bukankah ini kesempatan buat menunjukkan cinta yang sedang menginginkan secangkir kopi pengorbanan? Sedangkan waktu terus saja berjalan, bahkan semakin cepat. Rasa-rasanya ia pun ingin ikut menertawakanku yang segera akan menyesali keputusan yang kubuat sendiri.
“Ah katak, di mana juga aku harus mencarimu?” suaraku dalam hati. Tiba-tiba aku menjadi teringat nyanyian masa kecilku: kodok ngorek di pinggir kali. “Kalau saja nyanyian itu benar, tentu akan dengan mudah engkau kutemukan di sungai rejoso yang sedang mengalirkan banyak kehidupan itu. Sedangkan aku sekalipun belum pernah melihatmu di sana, di sepanjang sungai yang setiap pagi kulewati berangkat sekolah. Kalau saja nanti engkau benar-benar kutemukan, bagaimana juga aku bisa menangkapmu? Sedang melihatmu saja, geli dan ciut rasanya hatiku. Belum lagi bagaimana aku akan bisa menangkapmu di hari yang telah berada di ambang petang seperti ini? Melihat batang hidungmu saja kayaknya tak mungkin. Sekarang katak, engkau sedang bicara cinta di depanku, cukupkah kiranya nyanyianmu menyuarakan segala isi hatiku yang sedang dirundung rindu?”
Aku masih saja duduk termenung di depan musholla ketika matahari hampir tenggelam ditelan malam. Semakin saja kuterlena akan rasa-perasaanku sendiri, makhluk yang sedang mengiris-iris hatiku untuk kemudian menyematkan duri kegelisahan di dalamnya. Pohon-pohon di halaman Alhusna pun tampak ikut murung, hanya desirannya saja terasa memecahkan suasana. Langit di angkasa tampak diam seribu bahasa, ikut merasai hatiku yang sedang gundah gulana.
“Sai, ngelamun aja lo,” tegur iwan mengagetkanku. Iwan juga salah satu teman sekamarku.
“Ah, kamu wan!”
“Ke Cak Edi yuk! Haus ini kerongkonganku,” ajak Iwan.
Aku diam sejenak sebelum akhirnya menyetujui ajakannya. Dalam perjalanan ia pandangi aku dengan wajah penuh tanya, “ada apa gerangan dengan temanku ini?” Ia seperti sedang menerawang ke pedalamanku, lalu ia temui hatiku yang sedang ditumbuhi benih-benih asmara, tetapi tertutup rapat oleh kabut derita. Ia seolah membaca pikiranku, di mana berjuta-juta kegelisahan bersarang di dalamnya. Kemudian aku pun bercerita tentang permintaan si Dinda yang dibawa Mbah tadi.
“Hahahahaha, dari dulu sampai sekarang tetap itu saja masalahmu, Sai,” katanya sambil tertawa bahagia.
Aku hanya tersenyum kecut. “Sialan!” gumamku. Tetapi aku pun merasai, siapapun akan menertawakanku setelah mengetahui sepenggal kisah ini. “Nanti bantu aku nyari, Wan ya!” pintaku kemudian. Dan Iwan pun menyanggupinya. Pembicaraan menjadi semakin hangat dan meluas ketika segelas es krakatau memenuhi dahaga kami. Selesai minum kami pun segera meninggalkan warung Cak Edi menuju asrama.
“Susah Sai, nyari katak yang bisa bicara cinta,” kata Iwan sambil berjalan.
Aku pun menyetujuinya. Hal itu sejak semula memang menjadi keberatanku juga. Keberatan yang menyebabkan darahku melambatkan alirannya, paru-paruku menyesakkan nafasnya dan otakku memeras segala isi di dalamnya. Sebentar lagi malam pun segera datang bermadikan cahaya bulan dan bintang. Pasti akan semakin sukar mencarinya, mencari katak yang bisa bicara cinta itu.
“Nanti kita coba cari di taman Alhusna Sai, di sekitar pagar ndalem-nya Pak Kiai. Barangkali binatang itu bersembunyi di sana,” kata iwan melanjutkan.
Kami pun berjalan dan terus berjalan. Tiba-tiba di depan Akper PPDU, tepatnya di depan pintu auditorium, terlihat sesuatu melompat-lompat. Kami pun berjalan mendekatinya, semakin berada di kedekatan semakin jelaslah ia. Dialah KATAK, binatang yang sedang kucari-cari, kuimpi-impikan, yang mengerti cinta itu. Sekarang ia melompat-lompat di depanku. Dalam lamunan seolah-olah ia bicara kepadaku: Akulah yang engkau cari-cari Sai, dewa telah mengutusku untuk menemuimu, supaya dapat engkau buktikan cinta sucimu. Ah, bahagianya aku.
“Wan, katak Wan,” kataku pada Iwan. “Inilah yang dinamakan pucuk dicinta, ulam pun tiba.”
Iwan hanya tertawa-tawa. Atas permintaanku kemudian ia mencarikan tempat untuk mewadahi katak itu. Tidak lama ia pun mendapatkannya. Sementara aku sendiri, tanpa berpikir-pikir lagi segera kukejar binatang itu. Aku juga berhasil menangkapnya. Entah syetan mana yang merasukiku, sehingga tanpa ragu-ragu aku langsung menangkap binatang yang sebenarnya kutakuti itu. Selesai mewadahinya pada tempat yang ada, aku pun bergegas kembali ke Alhusna, dengan hati yang berbunga-bunga tentunya.
Sesampainya di Alhusna, tak kusadari aku masih begitu bersemangat. Belum puas rasanya kalau kudapat katak hanya seekor, apalagi didapatkan dengan mudah pula. Itu belum sebanding dengan besarnya cinta dan rindu dalam dada. Aku pun mencari katak lagi. Kali ini kuturuti keinginan Iwan yang memintaku mencari di sekitar pagar di depan ndalem-nya Pak Kiai. Adzan maghrib yang berkumandang pun tidak kupedulikan. Dalam otakku yang ada hanya katak yang akan kuberikan pada sang pujaan. Akhirnya aku dapatkan juga seekor lagi. Teman-teman se-asrama yang kebetulan melihat tingkahku, mereka tertawa dengan sendirinya.
Ketika hati berbunga-bunga, malam terasa berjalan kian cepat saja. Dengan tiba-tiba langit pun telah berubah menjadi kegelapan. Bulan yang saat itu bersinar terang seakan mematikan titik-titik cahaya bintang. Di kamar lima, cicak-cicak yang ingin bercengkerama di dinding merasa segan. Mereka merayap keluar mencari angin malam. Di kepalaku sedang tumbuh bayang-bayang indah sang pujaaan. Bayang-bayang itu kemudian menerbangkanku di ketinggian angan dan impian. Teman-temanku saat itu beramai-ramai menggoda. Daus, Iwan, Arfad, Qurmo, Beji dan Mbah melihatku dengan tertawa-tawa. Namun dengan tersenyum, aku menganggapnya sebagai angin lalu saja. Tiada sabar rasanya kutunggu esok hari tiba, saat bertemu dan menyerahkan katak pada si Dinda. Tetapi dibalik itu masih kurasai keraguaan juga, masih belum juga kudapati keberaniaan yang menyala-nyala.
***
Meski dengan berat hati akan kulanjutkan juga kisah ini. Kisah di mana pagi baru saja membuka matanya, sehingga tampak kuning-kemerahanlah mata itu karena ngantuknya, seolah sedang marah ia. Sementara burung-burung tidak berani bernyanyi dengan merdu lagi, karena takut akan amarah sang mentari. Pohon-pohon pun merunduk sedih, sebentar-sebentar ia teteskan air mata embunnya. Langit di angkasa ikut muram juga, tak tega melihat seorang manusia yang dinaunginya, sedang dihinggapi kegelisahan di dalam dada.
Begitulah gambaran suasana hatiku yang serba tak menentu pagi itu. Pagi setelah malam memberiku angan dan impian yang menyenangkan. Senyum bahagia yang aku dapatkan kemarin senja tidak menyapaku lagi dengan kejam. Yang ada padaku tinggal kegelisahan, pikiran yag melayang-layang, dan hati yang dag-dig-dug tak karuan. Dua hal yang sedang memenuhi otakku kala itu: dua ekor katak dan garasi rindu. Sedang pusat semua tetap satu, dialah Dinda yang kurindu.
Iya, harus kuakui sepenakut itulah aku saat itu. Walaupun ada yang mengira aku pujangga, tapi di hadapan wanita tak dapat kuberkata-kata. Untuk menatap matanya saja, aku takut luar biasa. Apalagi menyentuhnya, memeluknya, menciumnya, bermimpi tentang itu saja aku tak bisa. Semua itu terus kusimpan saja, dan akhirnya menjadi bisul juga.
Pagi itu, di kamarku, aku telah berseragam sekolah, lengkap dengan tas dan dasinya. Kali ini sengaja aku mandi dan bersiap sekolah lebih pagi. Kalau-kalau si Dinda nanti sewaktu-waktu memanggilku, aku telah siap bertemu dengan seragam dan sepatu. Teman-teman yang melihatku pada heran semua, tak percaya aku bisa siap lebih pagi dari mereka. Sebagian dari mereka menggoda, bahkan ada juga yang menghina. Mereka tak tahu hatiku sedang kacau luar biasa, panas dingin badanku rasanya.
“Saaai,” tiba-tiba terdengar suara Mbah berteriak memanggil dari bawah.
“Iya mbah,” jawabku sambil menunjukkan muka di Jendela Cinta.
“Dinda sudah menunggu di Garasi Rindu, cepetan Kau ke sana!” kata mbah kemudian. ia pun terus pergi ke Dapur Kenangan.
Mendengar itu aku langsung terdiam, kepala menjadi pusing bukan kepalang. Tangan dan kakiku bergetar, mengikuti hati yang sedang deg-degan. Dari Jendela Cinta aku butuhkan mengamat-amati Garasi Rindu yang kelihatan dari kamarku, tiada siapa-siapa di sana. “Jangan-jangan memang Mbah mengerjaiku,” ratapku menderita. Di kamar lima aku pun terus duduk, hanya duduk. Dua ekor katak yang ada kubiarkan saja di tempatnya. Tidak tahu aku Dinda benar ada di Garasi Rindu atau tidak, aku pun tidak berusaha mencari kepastiannya. Ketakutanku menghadapi wanita telah mengalahkan segalanya.
Setelah kira-kira setengah jam terduduk, aku kemudian berdiri. Itupun karena seorang teman telah menghampiriku untuk mengajak berangkat sekolah bersama. Aku kemudian berjalan meninggalkan kamar lima, meninggalkan kedua katak di tempatnya. Ketika melewati halaman aku sempatkan melihat Garasi Rindu untuk kedua kalinya, banyak santri perempuan yang akan berangkat sekolah berlalu-lalang di sana, tapi tidak kutemukan si Dinda. Kalaupun tadi dia benar menunggu di sana, barangkali ia telah bosan, kemudian kembali ke kamarnya. Aku pun terus berjalan menuju sekolah.
“Ah, bodoh sekali aku ini.” Kalimat itulah yang aku ucapkan dalam hati berulang kali. Sempat juga aku pikirkan si katak, bayangannya nampak begitu jelas, kemudian seakan-akan ia juga menatapku dan berkata: Kamu memang bodoh Sai, melakukan yang begitu saja tak berani! Tidak mengerti cinta kau ini. Ia ucapkan itu padaku berulang kali. Karena tak sabar, aku pun membenarkannya. Aku menjadi teringat tulisan Pramoedya dalam bukunya, “Sepandai-pandai lelaki, kalau sedang gandrung: dia sungguh sebodoh-bodoh si totol.”
Pondok Aren
19 Oktober 2011 14:40
Blogspot | Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H