Mohon tunggu...
Saifuddin Du
Saifuddin Du Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah apa yang ada di hatiku.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Katak Bicara Cinta

24 Januari 2012   01:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Meski dengan berat hati akan kulanjutkan juga kisah ini. Kisah di mana pagi baru saja membuka matanya, sehingga tampak kuning-kemerahanlah mata itu karena ngantuknya, seolah sedang marah ia. Sementara burung-burung tidak berani bernyanyi dengan merdu lagi, karena takut akan amarah sang mentari. Pohon-pohon pun merunduk sedih, sebentar-sebentar ia teteskan air mata embunnya. Langit di angkasa ikut muram juga, tak tega melihat seorang manusia yang dinaunginya, sedang dihinggapi kegelisahan di dalam dada.

Begitulah gambaran suasana hatiku yang serba tak menentu pagi itu. Pagi setelah malam memberiku angan dan impian yang menyenangkan. Senyum bahagia yang aku dapatkan kemarin senja tidak menyapaku lagi dengan kejam. Yang ada padaku tinggal kegelisahan, pikiran yag melayang-layang, dan hati yang dag-dig-dug tak karuan. Dua hal yang sedang memenuhi otakku kala itu: dua ekor katak dan garasi rindu. Sedang pusat semua tetap satu, dialah Dinda yang kurindu.

Iya, harus kuakui sepenakut itulah aku saat itu. Walaupun ada yang mengira aku pujangga, tapi di hadapan wanita tak dapat kuberkata-kata. Untuk menatap matanya saja, aku takut luar biasa. Apalagi menyentuhnya, memeluknya, menciumnya, bermimpi tentang itu saja aku tak bisa. Semua itu terus kusimpan saja, dan akhirnya menjadi bisul juga.

Pagi itu, di kamarku, aku telah berseragam sekolah, lengkap dengan tas dan dasinya. Kali ini sengaja aku mandi dan bersiap sekolah lebih pagi. Kalau-kalau si Dinda nanti sewaktu-waktu memanggilku, aku telah siap bertemu dengan seragam dan sepatu. Teman-teman yang melihatku pada heran semua, tak percaya aku bisa siap lebih pagi dari mereka. Sebagian dari mereka menggoda, bahkan ada juga yang menghina. Mereka tak tahu hatiku sedang kacau luar biasa, panas dingin badanku rasanya.

“Saaai,” tiba-tiba terdengar suara Mbah berteriak memanggil dari bawah.

“Iya mbah,” jawabku sambil menunjukkan muka di Jendela Cinta.

“Dinda sudah menunggu di Garasi Rindu, cepetan Kau ke sana!” kata mbah kemudian. ia pun terus pergi ke Dapur Kenangan.

Mendengar itu aku langsung terdiam, kepala menjadi pusing bukan kepalang. Tangan dan kakiku bergetar, mengikuti hati yang sedang deg-degan. Dari Jendela Cinta aku butuhkan mengamat-amati Garasi Rindu yang kelihatan dari kamarku, tiada siapa-siapa di sana. “Jangan-jangan memang Mbah mengerjaiku,” ratapku menderita. Di kamar lima aku pun terus duduk, hanya duduk. Dua ekor katak yang ada kubiarkan saja di tempatnya. Tidak tahu aku Dinda benar ada di Garasi Rindu atau tidak, aku pun tidak berusaha mencari kepastiannya. Ketakutanku menghadapi wanita telah mengalahkan segalanya.

Setelah kira-kira setengah jam terduduk, aku kemudian berdiri. Itupun karena seorang teman telah menghampiriku untuk mengajak berangkat sekolah bersama. Aku kemudian berjalan meninggalkan kamar lima, meninggalkan kedua katak di tempatnya. Ketika melewati halaman aku sempatkan melihat Garasi Rindu untuk kedua kalinya, banyak santri perempuan yang akan berangkat sekolah berlalu-lalang di sana, tapi tidak kutemukan si Dinda. Kalaupun tadi dia benar menunggu di sana, barangkali ia telah bosan, kemudian kembali ke kamarnya. Aku pun terus berjalan menuju sekolah.

“Ah, bodoh sekali aku ini.” Kalimat itulah yang aku ucapkan dalam hati berulang kali. Sempat juga aku pikirkan si katak, bayangannya nampak begitu jelas, kemudian seakan-akan ia juga menatapku dan berkata: Kamu memang bodoh Sai, melakukan yang begitu saja tak berani! Tidak mengerti cinta kau ini. Ia ucapkan itu padaku berulang kali. Karena tak sabar, aku pun membenarkannya. Aku menjadi teringat tulisan Pramoedya dalam bukunya, “Sepandai-pandai lelaki, kalau sedang gandrung: dia sungguh sebodoh-bodoh si totol.”

Pondok Aren
19 Oktober 2011 14:40
Blogspot
| Kompasiana

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun