Mohon tunggu...
Saifuddin Du
Saifuddin Du Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku adalah apa yang ada di hatiku.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Manusia dan Puasa

12 Desember 2011   16:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:26 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Segala kejadian di alam semesta selalu sarat makna bagi yang bersedia merenungkannya. Sekecil apapun kejadian itu, seringan apapun pengaruhnya dalam kehidupan, selalu akan memberikan pelajaran dan hikmah ketika ia dirasakan dan direnungkan. Termasuk di dalamnya adalah fenomena metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu, pasti terkandung pelajaran dan hikmah yang mendalam di dalamnya. Seekor ulat yang setiap harinya berjalan dengan merangkak dan makan dedaunan, pada saatnya setelah bermetamorfosis menjadi kupu-kupu, akan dapat terbang bebas di udara dan menikmati manisnya madu dalam indahnya bunga-bunga.

Seekor ulat tentu saja tidak serta merta berubah menjadi kupu-kupu yang indah. Ia akan melalui proses yang panjang, yang tanpa proses itu tak akan ia berhasil merubah dirinya. Jika ditilik dari perjalanan hidupnya, awalnya hewan ini mengalami pahit-getirnya kehidupan, tertatih-tatih ketika merangkak berjalan dan hanya cukup dengan makan dedaunan. Kemudia ia memulai pola hidup baru, kebiasaan baru yang menarik sebelum akhirnya ia dapat merubah diri. Ia mengasingkan dirinya di lipatan dedaunan, sembari berpuasa sepanjang hari. Setelah melewati beberapa masa tertentu, ia akhirnya berubah menjadi kupu-kupu.  Kupu-kupu yang indah, yang dapat terbang dan yang bisa menikmati manisnya madu kehidupan.

Kehidupan ulat di atas, mengisahkan perjalanan yang penuh dengan pelajaran dan nilai-nilai hikmah bagi kehidupan manusia. Yang ternyata kesuksesan itu tidak serta merta dapat diraih dengan mudah, tetapi melalui proses tertentu yang membutuhkan perjuangan, pengorbanan dan kesabaran. Manusia pun harusnya demikian, menyediakan diri untuk mengasingkan diri dan berpuasa layaknya ulat, ketika ia mencita-citakan kesuksesan dalam hidupnya. Catatan ini secara khusus menjelaskan gambaran-gambaran tentang manfaat puasa seperti yang telah dicontohkan dalam perjalanan hidup seekor ulat.

Antara Puasa dan Keberhasilan Manusia

Puasa adalah aspek yang secara tidak langsung bertalian dengan keberhasilan seseorang. Dikatakan tidak langsung karena antara puasa dan keberhasilan lebih dipengaruhi oleh aspek keyakinan sebagai tali penghubungnya. Secara kasat mata, orang yang berpuasa seakan tidak ada sangkut paut dengan keberhasilan yang diraih. Maka di sini keyakinanlah yang mempunyai peran dominan, yang meyakinkan seseorang tentang arti penting berpuasa. Dalam masyarakat sendiri banyak hal yang mendasari keyakinan seseorang. Umat muslim akan melaksanakannya karena yakin puasa adalah perintah Tuhan, umat budha sebagai sarana mencapai kesempurnaan, masyarakat jawa untuk bertirakat, dan masih banyak lagi yang lain.

Keyakinan seseorang juga akan terkait dengan pemikiran-pemikirannya tentang sesuatu yang diyakini itu, apakah pemikiran nantinya menguatkan keyakinan atau justru semakin melemahkannya. Terkait dengan puasa dan keberhasilan seseorang, banyak sekali pemikiran-pemikiran yang menghubungkan keduanya. Berikut adalah gambaran beberapa pemikiran sederhana tentang hal itu, yang boleh jadi menguatkan keyakinan untuk berpuasa:

Puasa berarti menahan diri dari makan dan minum, juga hal-hal lain yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa akan bersabar walau dalam himpitan rasa lapar dan dahaga. Hal ini mengandung arti bahwa puasa memiliki andil dalam melatih seseorang untuk menahan diri dan sabar. Keberhasilan seseorang pun tentu akan terkait dengan kedua hal itu. Seorang kaya misalnya, pada mulanya ia pasti menahan diri dan bersabar dari kehidupan yang boros dan berfoya-foya.

Dan kemudian juga, seorang yang berpuasa akan dengan tekun mengatur aktivitasnya supaya ia dapat bertahan sampai waktunya berbuka. Puasa juga menjadi tidak bernilai ketika seseorang yang sedang melaksanakannya menggunakan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Hal ini menunjukkan puasa dapat melatih seseorang untuk bisa mengatur diri dan waktunya. Seorang yang ingin berhasil pun harus pandai melakukan itu: mengatur diri dan mengatur waktu.

Kemudian akan timbul pertanyaan. Jika demikian kenapa harus dengan puasa, toh tanpa puasa pun seseorang bisa meraih keberhasilan itu, bisa untuk menahan diri dan sabar, juga bisa untuk mengatur diri dan waktu? Memang demikian, akan tetapi kalau hal-hal lainnnya itu lebih pada persiapan dalam arti lahir, sedangkan puasa untuk persiapan dalam arti batin. Dan itupun, seperti yang telah disebut di atas, sangat tergantung dari faktor keyakinan masing-masing individunya, apakah ia akan percaya atau menolaknya.

Puasa Sebagai Sarana Pembentuk Watak

Watak yaitu sifat batin manusia yang mempengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti dan tabiatnya. Watak pada diri manusia, salah satunya, sangat dipengaruhi oleh kebiasaan yang sering dilakukannya. Ketika yang kebiasaan itu baik maka baik jadinya dan jika buruk maka buruk juga jadinya, terlepas dari pengertian baik dan buruk itu sendiri. Kaitannya dengan itu, ada manusia yang berwatakkan sholat, ada yang berwatakkan zakat, ada yang berwatakkan puasa, dan ada pula yang berwatakkan haji. Catatan ini khusus membahas manusia yang berwatakkan puasa.

Manusia yang berwatakkan puasa maksudnya yaitu dalam pikiran dan tingkah lakunya, budi pekerti dan tabiatnya sehari-hari, yang menjadi ciri dari manusia tersebut adalah juga ciri dari puasa dalam arti seluas-luasnya. Misalnya saja dalam hal menahan diri, seorang yang berwatakkan puasa akan pandai menahan diri dalam hal apapun: menahan marah, tidak menikah, dan hal-hal yang lain. Kemudian juga karena puasa itu ibadah yang tersembunyi, maka seorang yang berwatakkan puasa akan sangat piawai dan sabar dalam menyembunyikan sesuatu dalam dirinya: perasaan, pikiran, dan lain-lain. Selain itu, seorang ahli puasa dalam menjalankan puasanya memiliki ciri tidak menuntut apapun pada dirinya sendiri atau sekelilingnya. Maka seorang yang berwatakkan puasa pun demikian halnya, dalam urusan apapun ia cenderung untuk tidak menutut dirinya, orang lain, atau siapa pun juga.

Tentunya masih banyak lagi ciri-ciri manusia yang berwatakkan puasa. Yang kesemuanya itu, menurut hemat saya, semakin memperkaya batin manusia yang bersangkutan. Dan dengan itu, karena tingkat intensitas puasa yang sering sampai ia menjadi watak bagi pelakunya, dapat menjadi sarana perubahan bagi manusia menuju ke arah kebaikan. Maka perubahan itu tiada pernah salah, karena selain Dia yang kuasa, segala sesuatu di semesta raya, sekecil apapun itu, akan mengalami perubahan juga. (sai)

Pondok Aren
07 Desember 2011
Kompasiana | Blogspot

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun