Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 53: Raga yang Terbuka

7 April 2013   09:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:35 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13653030842067222399

DINI hari di sebuah hutan.

Dhanapati membuka matanya. Mentari belum lagi menampakkan diri. Hari masih gelap saat itu. Tanah terasa agak basah karena embun pagi.

Kabut dimana- mana.

Perlahan, berusaha tak menimbulkan suara, Dhanapati bangkit berdiri. Dia tak ingin membangunkan Kaleena yang masih terelap tak jauh dari situ. Dia pasti lelah sekali. Kemarin mereka berjalan jauh menembus hujan lebat dan kilat yang sambar menyambar.

Dhanapati berniat mencari tanaman atau buah- buahan yang dapat dimakan. Dia berjalan beberapa saat hingga akhirnya ditemukannya sekelompok pohon pisang yang sedang berbuah lebat. Diambilnya sesisir saja dari begitu banyak pisang di tandan. Cukup sudah untuk pagi ini, pikirnya sambil melihat berkeliling. Dan.. ah, ditatapnya rimbunan pohon beberapa tombak dari tempatnya berdiri. Tak salah lagi, itu pohon nanas.

Kaleena mungkin suka buah nanas, pikirnya sambil mendekati pepohonan itu.

Dugaannya benar. Itu pohon nanas. Sedang berbuah lebat, dengan banyak buah yang berkulit kuning keemasan. Nanas- nanas itu sudah matang.

Dhanapati mengambil dua buah nanas, lalu membalikkan badan menuju ke tempat dimana ditinggalkannya Kaleena tadi.

Tempat mereka bermalam itu merupakan tempat dimana ada ceruk alami yang terbentuk seperti gua yang tak begitu dalam. Cukup untuk meluruskan badan dan melindungi mereka dari udara malam. Tak jauh dari situ, juga terdapat sebuah danau. Airnya akan dapat diminum. Mungkin ada ikan juga disana, pikir Dhanapati.

Tanpa tergesa, Dhanapati melangkahkan kaki. Latihan yang diterimanya selama ini membuatnya terbiasa berjalan tanpa menimbulkan suara. Mentari sudah mulai menampakkan sinarnya. Hari mulai terang sekarang. Dia tiba di tepi danau tak jauh dari gua dimana dia dan Kaleena bermalam kemarin.

Dan...

Dhanapati terkesiap.

Dia sama sekali tak bersiap- siap untuk menemukan pemandangan semacam itu. Terperanjat, dia berhenti melangkah. Dadanya berdebar, dan tubuhnya terasa menghangat.

Di sana, di hadapannya, Kaleena sedang mandi di danau berair bening itu. Bajunya ditumpuk di atas bebatuan tak jauh dari tempatnya mandi. Tak menyadari bahwa Dhanapati ada di sekitar situ, Kaleena dengan asyik membasuh dan membersihkan badannya yang polos tanpa selembar benangpun menempel disana.

Dhanapati mematung hampir tak berkedip. Nafasnya memburu.

Karena terkena air, ramuan dari dedaunan, batang dan ranting pohon yang dibalurkan ke tubuh Kaleena agar dia tampak seperti para perempuan di Jawadwipa luntur. Dan kulit aslinya tampak. Kulit kekuningan yang halus. Dhanapati tahu itu halus, sebab dia pernah menyentuhnya.

Nafas Dhanapati makin memburu. Dadanya terasa sesak...

***

Kiran melangkah menembus hutan. Sang Surya baru saja muncul. Dia menggendong sesosok perempuan tua, Mohiyang Kalakuthana.

Dini hari tadi, Kiran terlibat pertempuran sengit melawan Rakyan Wanengpati dan Durgandini. Ketika diketemukannya hampir tengah malam kemarin, kedua orang itu sedang berjalan di belakang Mohiyang Kalakuthana. Kiran mengamati mereka dan mendengar apa yang dikatakan Rakyan Wanengpati pada Mohiyang, dia segera tahu bahwa ada yang tidak beres.

Mohiyang tidak bertindak berdasarkan akalnya sendiri. Dia dalam kendali Rakyan Wanengpati yang jelas sekali memerintahkannya untuk menunjukkan jalan ke pondok dimana Kiran berada.

Susmana Halayang, pikir Kiran. Sesuai namanya, Susmana Halayang atau Jiwa Melayang, membuat siapapun yang terkena racun itu menjadi sosok tak berjiwa. Raganya akan menjalankan apapun yang diperintahkan oleh sang pemberi racun.

Racun itu sangat kuat dan hanya beberapa orang saja yang dapat membuat dan menangkalnya. Mohiyang Kalakuthana, si Ratu Racun, sebetulnya akan dapat menangkal racun itu seandainya saja dia memakan anti racun buatannya sendiri sebelumnya. Tapi itu tidak dilakukannya kemarin malam ketika meninggalkan pondok, walau dia memberi Kiran anti racun tersebut untuk berjaga- jaga.

Racun dalam kadar normal akan dapat dengan mudah diatasi oleh Mohiyang. Itulah sebabnya dia tak merasa perlu meminum anti racun. Tapi, Susmana Halayang memang racun istimewa yang bahkan Mohiyangpun tak dapat menghindari efeknya jika dia tak berjaga- jaga dan melindungi diri dengan anti racun sebelumnya..

(bersambung)

** gambar:: 500px.com **

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun