[caption id="attachment_189538" align="aligncenter" width="461" caption="Pintu Gerbang Waringin Lawang (foto: badailautselatan.wordpress.com)"][/caption]
TROWULAN yang riuh semakin gaduh. Gema pertempuran yang terjadi di lapangan Bubat akhirnya melebar. Warga berbondong-bondong menuju Bubat, ingin melihat dari dekat apa yang terjadi. Prajurit Majapahit berjaga-jaga di sudut-sudut strategis.
Di kios gerabah milik Mbah Wongso, para pendekar berdiskusi serius.
"Kita berpacu dengan waktu," bisik Pendekar Misterius. "Mahapatih Gajah Mada dan Bhegawan Buriswara adalah orang yang cermat. Mereka tak akan melakukan kesalahan. Aku yakin, sebentar lagi semua pintu gerbang akan dijaga ketat..."
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Ayo, kita kawal saudara Kayan meninggalkan Trowulan," ujar Pendekar Padi Emas.
Pendekar Misterius menggeleng. "Sedapat mungkin, kita jangan menarik perhatian. Jika kita semua menemani saudara Kayan, itu terlalu menyolok. Biar aku saja yang menemani saudara Kayan meninggalkan Trowulan..."
"Aku setuju," timpal Gegurit Wungu. "Aku pikir sebaiknya Pendekar Misterius saja yang mengawal saudara Kayan. Biar kita bertiga berjaga-jaga dari kejauhan. Jika diperlukan, kita bisa memberikan bantuan..."
"Sebelum dilanjutkan, aku ingin mengingatkan tentang resiko yang akan kita terima jika kita ketahuan berusaha menyelundupkan prajurit Sunda Galuh. Kita akan dicap sebagai pengkhianat. Bukan hanya kita. Keluarga kita mungkin akan dibasmi," ujar Pendekar Misterius sambil menatap rekan-rekannya.
Yang ditatap terdiam. Termenung. Dan merinding. Membayangkan mereka akan menjadi musuh Kerajaan Majapahit. Membayangkan keluarga mereka dikejar-kejar dan dibasmi.
"Itu akan terjadi jika ketahuan bukan? Makanya kita harus berusaha agar tidak ketahuan. Sederhana saja bukan?" Wolu Likur berujar sambil tersenyum kocak. Mau tak mau yang lain ikut tersenyum.
"Bagaimanapun, hidup ini memang penuh dengan resiko,” kata Pendekar Padi Emas. “Sebagai pendekar, kita harus bisa mengambil resiko. Karena itulah kita harus bekerja sama agar aksi kita tidak ketahuan..."
Semua setuju. Mereka segera menyusun rencana. Kayan yang terluka diobati. Dia diberi pakaian baru. Pakaian berbentuk jubah panjang yang menutupi luka di kaki, lengan dan pundak.
***
Kedua lelaki itu berjalan tenang. Tidak tergesa. Sesekali mereka menepi. Jalan di Trowulan luar biasa ramai. Masyarakat berbaur dengan prajurit. Semua prajurit Majapahit rupanya diturunkan guna mengamankan Trowulan.
Lima prajurit berkuda melewati jalan sambil berteriak-teriak. Masyarakat menepi sambil menyumpah-nyumpah.
"Kita ke sana," bisik Pendekar Misterius. "Kita keluar melalui pintu gerbang utama..."
Trowulan memiliki empat pintu gerbang, salah satunya merupakan pintu gerbang utama, yang disebut Waringin Lawang. Berupa pintu gerbang yang dilengkapi gapura di kanan-kiri, dilengkapi dua pohon beringin berukuran raksasa.
Dalam upaya meloloskan Kayan, Pendekar Misterius memilih langkah tak terduga. Yakni berusaha lolos dari pintu gerbang utama. Dari pintu gerbang terbesar yang dijaga paling ketat.
“Para prajurit pasti akan memusatkan pencarian dan penjagaan pada pintu alternatif. Secara naluriah, pihak yang berusaha melarikan diri pasti akan berusaha mencari jalan keluar alternatif. Kita tidak boleh mengikuti alur pikiran mereka. Kita harus keluar dari pintu gerbang utama. Kita melarikan diri di tempat yang paling terang,” ujar Pendekar Misterius panjang lebar.
Seperti yang diduga, Waringin Lawang dijaga ketat. Warga yang hendak meninggalkan Trowulan diperiksa dengan seksama. Bukan hanya barang bawaan namun juga pakaian.
Lelaki yang mengenakan jubah lebar dipaksa membuka jubahnya.
“Ah, mereka cerdik. Mereka memaksa laki-laki membuka pakaian. Mereka tahu, jika ada prajurit Sunda Galuh yang lolos, dia pasti terluka...”
“Jadi bagaimana baiknya tuan pendekar? Kita kembali saja?” Kayan berbisik. Suaranya bergetar.
“Tidak,” ujar Pendekar Misterius sambil menggelengkan kepala. “Kita bersiap-siap di sini. Sambil menunggu rekan-rekan kita beraksi!!”
“Rekan-rekan? Maksud tuan, Pendekar Padi Emas dan teman-teman? Apa yang akan mereka lakukan? Dan bagaimana mereka bisa membantu kita lolos?”
Pendekar Misterius hanya tersenyum. Dia menatap langit. Awan putih samar menyaput matahari. Dia menatap para prajurit yang berjaga. Dan dia menunggu. (bersambung)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI