[caption id="attachment_163987" align="aligncenter" width="500" caption="Garuda Melayang (foto: clairekennedydesign.typepad.com)"][/caption]
NYARIS serempak, Pendekar Misterius, Wolu Likur dan Gegurit Wungu berdiri. Mereka sudah tahu kalau Pendekar Padi Emas akan muncul.
"Mari silakan," kata Wolu Likur. "Eh ada yang tidak beres?" Wolu Likur bertanya heran melihat raut wajah Padi Emas.
"Eh, iya. Sebenarnya... aku..." Padi Emas berkata setengah gagap. "Katakan saja, saudaraku. Kita orang sendiri," kata Pendekar Misterius.
"Emm... Sebenarnya ini bukan tentang aku. Tapi seseorang yang nyawanya terancam," ujar Padi Emas. Dia melongok sejenak ke luar dan menggapai. Beberapa saat kemudian seorang lelaki yang wajahnya letih muncul. Lelaki itu pucat. Lengan dan kakinya berdarah, juga pundak. Lukanya sudah dibebat seadanya.
"Kenalkan, ini Kayan, prajurit Sunda Galuh," Padi Emas berujar sambil mengerahkan ilmu mengirimkan suara. Kata-katanya hanya bisa didengar oleh ketiga pendekar di depannya. "Mungkin Kayan satu-satunya prajurit Sunda Galuh yang lolos dari pembantaian di Lapangan Bubat..."
"Ahhhh..." Pendekar Misterius berseru kaget, seperti disengat ular berbisa. Begitu juga Wolu Likur dan Gegurit Wungu. Tentu saja mereka mendengar kabar kedatangan rombongan penganten dari Sunda Galuh, putri mahkota Sunda galuh yang kabarnya bakal disunting Yang Mulia Baginda Raja Majapahit. Namun ketiganya tidak begitu tertarik soal jodoh, karena perhatian mereka dicurahkan untuk mencari Kiran.
"Apa yang terjadi?" bisik Gegurit Wungu sambil menatap sekeliling. Sesuatu yang tidak perlu sebenarnya karena di bilik itu hanya ada mereka.
Pendekar Padi Emas menarik nafas panjang. Wajahnya keruh. "Pembantaian. Nyawa melayang hanya karena keinginan menguasai wilayah. Dan jodoh serta perkawinan dijadikan sebagai alat..."
"Duduk dulu, Padi Emas. Ceritamu pasti panjang," kata Wolu Likur.
Padi Emas mengangguk, dan duduk di sebuah bangku kecil. Dia mempersilakan Kayan duduk di dekatnya.
Padi Emas lalu bercerita....
***
Beberapa saat setelah gong dibunyikan, rombongan pasukan Sunda Galuh memasuki lapangan. Diawali munculnya tiga gajah dan iring-iringan empat kereta. Kemudian para pasukan berkuda. Mereka nampak gagah.
Tiga lelaki berkuda yang membawa panji Majapahit terlihat mendatangi rombongan. Terjadi pembicaraan. Tidak jelas apa yang didiskusikan karena beberapa saat kemudian tiga pengendara kuda itu kembali. Di saat bersamaan, terjadi perubahan di rombongan Sunda Galuh. Gajah dan kereta dibuat dalam formasi lingkaran. Para prajurit terlihat membentuk barisan dalam formasi siap tempur.
Bunyi gong kembali terdengar, kini bertalu-talu. Terdengar pekikan di sana sini. Prajurit Majapahit menyerbu.
Dari tepi lapangan Padi Emas mengamati dengan penuh perhatian. Dia sudah sering menyaksikan prajurit Majapahit berlatih perang. Ini pertama kali dia melihat prajurit menyerang lawan. Menyerang untuk menghancurkan.
Mata Padi Emas yang tajam dapat melihat kalau formasi menyerang Majapahit tidak sembarangan. Pasukan berkuda dan yang berjalan kaki menyerang dalam formasi tertentu. Setelah mengamati dengan seksama Padi Emas mengenali kalau Majapahit menyerang menggunakan formasi tempur yang disebut Garuda Nglayang (Garuda Melayang).
Formasi tempur ini mengandalkan kekuatan pasukan yang besar seperti burung Garuda melayang. Gerakan pasukan secara umum meniru gerakan burung Garuda. Beberapa senopati memimpin pasukan di paruh, kepala, sayap dan ekor, memberikan perintah kepada anak buahnya untuk menyambar, mematuk dan mencengkeram.
Padi Emas mengenali Senopati Kebo Branjang memimpin pasukan pada posisi paruh, di belakangnya Senopati Swastri dan Senopati Trisuryo memimpin pasukan pada posisi kepala burung. Begawana Bhuriswara di sayap kiri dan Senopati Bango Ngrontol di sayap kanan. Dua orang yang mengenakan penutup kepala nampak memimpin pasukan pada posisi cakar kaki, dan Senopati Kiageng Ngah memimpin pasukan pada posisi ekor yang merupakan pasukan penyapu bersih.
Dilibatkannya sejumlah senopati kelas atas dan teroganisirnya pasukan merupakan pertanda kalau Majapahit memandang pertempuran dengan pasukan Sunda Galuh sangat penting. Bahkan maha penting sehingga tidak boleh gagal.
Pasukan Sunda Galuh menyikapi serangan dengan dua formasi. Pertama Formasi Wukir Jaladri (Gunung Lautan) dengan membentuk lingkaran dari gajah dan kereta sebagai 'gunung di tengah laut'. Baginda Maharaja Lingga Bhuwana bersama sang putri Dyah Pitaloka Citraresmi memimpin formasi ini.
Sebagian prajurit Sunda Galuh yang dipimpin Mangkubumi Hyang Bunisora membentuk formasi Jurang Grawah. Mereka sengaja menciptakan celah berupa jurang guna dimasuki prajurit Majapahit. Lawan yang terpancing memasuki jurang langsung dibinasakan. Formasi Jurang Grawah hanya bisa dibentuk oleh pasukan yang punya kemampuan beladiri, yang kemampuannya jauh di atas para penyerbu.
Awalnya pasukan Sunda Galuh bisa mengimbangi. Prajurit yang membentuk formasi Jurang Grawah menewaskan banyak pasukan Majapahit. Sementara formasi Wukir Jaladri sangat kokoh dan sukar ditembus.
Namun bagaimanapun, para penyerbu adalah pasukan Majapahit. Sebagian di antaranya telah melewati sejumlah pertempuran membela panji Majapahit di seberang samudera. Setelah sempat tertahan, perlahan pasukan Majapahit mulai menekan. Formasi Garuda Melayang pun beraksi. Paruh mematuk, sayap menggempur, cakar mencengkeram.
Dari tepi lapangan padi Emas melihat pertempuran berat sebelah itu. Jeritan kesakitan dan teriakan menjelang ajal terdengar bagai tembang dari lembah kematian.
Lapangan Bubat bersimbah darah.
Dengan trenyuh Padi Emas menyaksikan pemandangan itu. Dan dia kemudian melihat sesuatu yang tidak lazim. (bersambung)
Catatan Deskripsi formasi tempur dalam kisah ini dikutip dari milis Tjersil Salam,
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI