Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 10: Saat Perkenalan...

19 November 2011   08:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:28 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

KIRAN membalikkan badan. Larut malam saat itu.

Dia berada di sebuah pondok kayu dimana semacam panggung berupa lantai yang ditinggikan berada di dalamnya. Lantai yang berjarak sekitar satu meter di atas tanah itu terbuat dari kayu jati, serupa dengan seluruh bagian lain pondok tersebut.

Disitulah, di panggung kayu jati itu Kiran berbaring di salah satu sisinya.

Di sisi lain terbaring seorang lelaki.

Mereka hanya berdua di dalam pondok itu. Sang pemilik pondok, Putri Harum Hutan tak berada di pondoknya. Dia sedang melawat ke Dharmasraya, ibukota kerajaan Melayu di Swarna Dwipa.

***

"Dhanapati"

Lelaki itu mengucapkan namanya untuk memperkenalkan diri ketika dia terjaga di pagi hari dan mendapati dirinya berada di sebuah pondok kayu bersama seorang gadis yang tak dikenalnya.

"Kirana."

Kiran balas memperkenalkan diri.

"Oh... uh... mmm... “ Dhanapati kesulitan mencari sebutan yang tepat. Bagaimana sebutan yang tepat untuk gadis ini, pikirnya. Tuan Putri? Putri Kirana? Atau yang lain?

Melihat apa yang telah dilakukan sang gadis pada dirinya, Dhanapati tahu bahwa dia sama sekali tak boleh menganggap enteng gadis ini. Jelas gadis di hadapannya ini bukan orang sembarangan. Ilmu yang dibutuhkan untuk menyembuhkan luka- luka yang ditimbulkan para pendekar Bhayangkara Biru adalah ilmu tingkat tinggi. Apalagi, apa yang telah dialaminya bukan hanya bertempur dengah salah satu anggota Bhayangkara Biru saja, tapi tujuh orang sekaligus!

Jadi apa sebutan bagi...

Seakan mengerti apa yang dipikirkan Dhanapati, Kiran berkata, "Panggil aku Kiran saja..."

Dhanapati tercekat.

"Panggil aku Kiran saja."

"Ah, tuan pendekar tak perlu memanggilku tuan putri. Cukup Sekar saja…"

Dhanapati tergugu. Kenangan akan istrinya bergulung melanda. Lalu bersamaan dengan itu sebait tembang muncul memenuhi kepala serta hatinya.

Tak lela lela lela ledung
Cep meneng ojo pijer nangis
Anakku sing bagus rupane
Yen nangis ndak ilang baguse

Tak gadang bias urip mulyo
Dadio satrio utomo
Ngluhurke asmane wong tuo
Dadio pendakaring bangsa
...

Dhanapati merasa hatinya nyeri berdarah.

Tembang itu adalah tembang yang biasa digunakan oleh Sekar dan juga Dhanapati saat menidurkan anak semata wayang mereka.

Dulu.

Sebab anak itu sekarang sudah...

Dada Dhanapati sesak dan dia kehilangan kata- kata. Tenggorokannya tersumbat.

Sementara itu Kiran diam tak mengeluarkan suara.

Beberapa hari terakhir ini dia mengobati Dhanapati dan nyaris sepanjang hari selalu mendampinginya. Berada di sisinya. Kiran melihat perkembangan kesehatan lelaki itu dari mulai dia dibawa ke pusat pengobatan dengan paras amat pucat, tubuh sangat dingin dan tak sadarkan diri, lalu periode di mana Dhanapati setengah sadar dan banyak mengigau, hingga hari ini ketika Dhanapati telah siuman sepenuhnya.

Walau tak tahu persis siapa Sekar Wangi yang seringkali disebut- sebutnya, ada satu kejadian yang membuat Kiran memahami apa yang kira- kira bergejolak dalam diri lelaki tersebut, yaitu saat ketika Dhanapati, seperti yang telah beberapa kali terjadi, mengigau dalam tidurnya.

Tapi kali itu dia tak menyebut Sekar Wangi seperti biasa. Saat itu igauannya berupa tembang yang biasa digunakan untuk menidurkan bayi dan anak- anak.

Kiran mengenal tembang tersebut, tentu saja. Di masa kecilnya, orang tuanya juga seringkali menembang semacam itu di saat- saat menjelang waktu tidur. Hanya saja, saat Dhanapati melantunkan tembang tersebut, alih- alih merasa hangat, hati Kiran justru seperti tersayat. Nada suara Dhanapati sama sekali tak diisi kehangatan dan keriangan.

Suara itu jelas mencerminkan cinta kasih. Tapi cinta itu tercampur dengan nyeri dan luka yang sangat dalam...

Karenanya Kiran tak hendak bertanya apa- apa kini. Biarlah waktu yang akan menjawab semua pertanyaan itu.

Setelah beberapa saat berlalu dalam sunyi yang canggung, Dhanapati berkata, "Terimakasih untuk bantuan mengobatiku," -- diam sejenak , lalu disambungnya kalimat itu -- "Kiran..."

Kiran tersenyum dan menggeleng.

"Berterimakasihlah pada Dewata," katanya. "Para Dewata yang menyembuhkanmu, bukan aku."

Lelaki itu terdiam lagi. Begitu pula Kiran.

Lalu, "Kau mau mandi air panas?" Terdengar suara Kiran.

Eh? Mmm. Dhanapati tergagap mendengar pertanyaan tak terduga yang datang dari gadis di hadapannya.

"Mmm.. mm.. ah, anu... tak perlu repot repot, Kiran. Aku bisa mandi air dingin saja."

Kiran menatap Dhanapati lalu menjawab, "Tidak, aku tidak repot. Dan tidak, kau belum boleh mandi air dingin, tubuhmu belum pulih benar."

Dhanapati tak membantah.

"Baiklah kalau begitu. Akan kusiapkan kayu bakar dan apinya. Nanti kuangkat air ke sana."

Kiran menggelengkan kepalanya.

"Bukan," jawabnya. "Maksudku, maukah kau mandi di sumber air panas?"

***

Kiran berjalan menelusuri jalan setapak.

Dhanapati mengikuti di belakangnya.

Mereka hendak menuju ke sumber air panas yang dikatakan Kiran.

Beberapa saat setelah tiba di Pondok Putri Harum Hutan, setelah melakukan terapi pada Dhanapati, Kiran kemudian berjalan-jalan untuk mengenali lingkungan di sekitarnya. Dan dengan takjub didapatinya bahwa Pondok Putri Harum Hutan itu berada di suatu tempat yang sangat indah dan strategis luar biasa.

Kiran menemukan sebuah danau penuh berisi ikan.

Lalu, tak jauh dari danau itu, ada sebuah air terjun.

Tapi penemuan yang terutama membuatnya sangat senang adalah bahwa ketika dia hendak berjalan pulang kembali ke pondok, dia melalui sebuah anak sungai kecil yang sangat bening yang membuatnya dengan spontan mencelupkan kaki ke dalam air bening itu, sekedar untuk bermain- main dan melepaskan lelah sejenak.

Dan Kiran terkejut bercampur senang luar biasa ketika didapatinya bahwa air tersebut... hangat!

Rencana untuk pulang dibatalkannya. Kiran menelusuri anak sungai kecil tersebut ke arah hulu, disanalah ditemukannya sumber air panas kemana dia hendak mengajak Dhanapati sekarang.

Sementara mengikuti langkah kaki Kiran, Dhanapati mengamati gadis itu dari belakang.

Percakapan sejenak di pondok tadi cukup untuk memberikan waktu bagi Dhanapati untuk mengamati Kiran. Dan walau kekuatannya sama sekali belum pulih serta tubuhnya terasa lemas tak bertenaga, dia adalah seorang lelaki normal yang dengan segera dapat membaca gadis yang berada di hadapannya.

Tadi di pondok, Dhanapati menyembunyikan senyumnya saat dia berkesimpulan bahwa tak perduli setinggi apapun ilmu gadis ini sehingga dapat mengobati luka yang ditimbulkan oleh pertempuran dengan para pendekar Bhayangkara Biru, namun gadis bernama Kiran ini sebetulnya sungguh polos dan... agak kekanakan...

(bersambung)

** gambar diambil dari: my.opera.com/pabha/blog/**

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun