Mohon tunggu...
Padepokan Rumahkayu
Padepokan Rumahkayu Mohon Tunggu... -

Padepokan rumahkayu adalah nama blog yang dikelola oleh dua blogger yang suka bereksperimen dalam menulis, yakni Suka Ngeblog dan Daun Ilalang. 'Darah di Wilwatikta' ditulis bergantian oleh keduanya dengan hanya mengandalkan 'feeling' karena masing- masing hanya tahu garis besar cerita sementara detilnya dibuat sendiri-sendiri. \r\nTulisan- tulisan lain hasil kolaborasi kedua blogger ini juga dapat ditemukan di kompasiana.com/rumahkayu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Darah di Wilwatikta Eps 2: Sesajen untuk Dewata

30 Januari 2011   16:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:03 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

TUJUH pasang mata menatap Dhanapati yang berjalan terhuyung hingga sosoknya lenyap ditelan hutan.

Dua dari mereka memalingkan wajah. Dua lainnya menarik nafas panjang sambil menunduk. Tiga lainnya bersikap tak peduli.

“Dhanapati telah memilih. Dan dia kini telah membayar harganya…” Yang berujar adalah lelaki berusia 50-an tahun. Berwajah agung dengan tatapan setajam mata elang. Dia mengenakan pakaian mewah dengan simbol burung Garuda mengepakkan sayap yang tersulam indah di dada sebelah kiri. Di Kotaraja, Trowulan, lelaki ini sangat disegani dan dikenal sebagai orang kepercayaan Yang Mulia Mahapatih. Dia bernama Bhagawan Buriswara, pemimpin Bhayangkara Biru, sekaligus salah satu dari lima tokoh paling sakti di Trowulan.

“Tak  perlu ada penyesalan. Kita melakukan hal yang benar. …”

“Memang tak perlu ada penyesalan. Lagipula penyesalan tak akan membuat warga dukuh Weru ini hidup lagi bukan?” Sahut lelaki bertubuh gemuk kekar. Berwajah bulat dengan mulut yang selalu menyeringai. Dia bernama Brontoseno.

Semua terdiam. Nyaris serentak, mereka menatap mayat yang bergelimpangan. Mayat penduduk biasa yang tak tahu apa-apa.

Ini bukan pertama kali mereka membunuh. Pekerjaan yang mereka lakoni telah membuat hati mereka sekeras baja. Mereka mampu membunuh penjahat tanpa berkedip. Bahkan tanpa diiringi tarikan nafas.

Tapi kali ini berbeda. Masyarakat Dukuh Weru yang mereka bunuh, 31 orang dewasa dan 17 anak-anak sama sekali tidak berdosa. Kesalahan masyarakat Dukuh Weru hanya satu. Mereka berada di dekat orang yang salah!!!

“Yang kita lakukan hari ini semata demi Bhayangkara Biru, dan dalam skala yang lebih luas, demi kebesaran dan kejayaan Majapahit,” kata Buriswara. “Dan ingat, yang kita lakukan ini atas sepengetahuan dan persetujuan Yang Mulia Mahapatih…

“Warga Dukuh Weru harus dimusnahkan guna menghilangkan jejak. Tak boleh ada yang tahu keterlibatan Bhayangkara Biru. Ini pilihan terburuk yang memang harus dilakukan…”

Buriswara menatap enam anggotanya satu per satu. “Aku memahami perasaan kalian. Dhanapati itu saudara. Namun dia telah melupakan persaudaraan begitu memutuskan meninggalkan Bhayangkara Biru. Dia telah memutuskan nasibnya begitu meninggalkan Trowulan…"

***

Asap kehitaman membumbung, meliuk menembus angkasa, bagai sesajen untuk Dewata. Samar terdengar bunyi derak kayu yang terbakar. Api menyala hebat, menghanguskan belasan  rumah yang umumnya terbuat dari kayu dan bambu.

Tujuh pasang mata berdiri terpaku, menatap lidah api yang tanpa ampun melumat semua yang tersisa. Tak sampai sepenanak nasi, apa yang kemarin dikenal sebagai Dukuh Weru kini telah berubah menjadi puing kehitaman.

“Urusan Dukuh Weru sudah beres. Sekarang Dhanapati," kata Buriswara. "Brontoseno, Kebo Wungu, kalian cari mayat Dhanapati. Kebumikan selayaknya. Bagaimana pun dia pernah menjadi saudara kita..."

"Bagaimana jika kami tidak menemukan mayatnya? Bagaimana jika dia masih hidup?" Balas Brontoseno.

Mata Buriswara seperti mengeluarkan api. "Aku memerintahkan kalian menemukan mayat. M-A-Y-A-T. Tak peduli dia masih hidup atau mati namun kalian harus menemukan mayatnya!!"

Brontoseno dan Kebo Wungu saling pandang. Artinya, jika Dhanapati masih hidup, mereka harus....

"Kalian jangan berpikir yang tidak-tidak. Di tubuhnya kini bersarang luka akibat serangan tujuh ajian paling hebat yang ada di Jawadwipa. Bahkan Dewata sekalipun tak akan bisa selamat jika terkena pukulan itu. Dhanapati pasti mati. Jika belum, kalian harus memastikan agar dia segera bertemu Dewa Maut!!"

"Kami berlima menunggu kalian di Kotaraja. Ingat, jika memungkinkan tak perlu melibatkan  Bhayangkara Biru. Seperti biasa kalian bisa memanfaatkan semua akses yang diperlukan...."

***

Brontoseno dan Kebo Wungu berjalan menyusuri rerumputan. Mata mereka menatap jengkal demi jengkal.

"Aku mulai tidak menyukai pekerjaan ini," desah Brontoseno. "Biar bagaimanapun, Dhanapati beberapa kali menyelamatkan nyawaku..."

"Kita semua pernah  diselamatkannya. Tak hanya sekali, namun berkali-kali. Namun ingat, kita juga melakukan hal yang sama untuknya. Dan seperti yang dikatakan Bhagawan, Dhanapati telah memilih jalannya sendiri..." sahut Kebo Wungu.

"Lihat ini, rasa-rasanya aku menemukan jejak darah..."

Kebo Wungu membungkuk, dan mengangguk. Ada bercak darah di rerumputan. Sudah mengering namun jelas masih baru. "Kalau begitu kita berada di jalur yang benar."

Keduanya kembali mengamati jejak. Bertahun-tahun mengejar penjahat membuat mereka menjadi sangat ahli dalam mengendus jejak.  Mata mereka sudah sangat terlatih untuk mengetahui makna dari rumput yang terkulai atau semak yang patah.

"Dia berjalan sambil menyeret pedangnya," kata Kebo Wungu sambil memeriksa alur memanjang di permukaan tanah. "Dan dia..." kalimat Kebo Wungu terhenti. Pandangannya terarah ke rerumputan.

"Ada seseorang yang tadi terbaring di sini. Lihat, ada bercak darahnya juga..."

"Pasti Dhanapati. Tapi kemana dia sekarang?"

Keduanya dengan teliti memeriksa jejak di rerumputan.

"Ada jejak di sini, dari arah sana," kata Brontoseno. "Rupanya ada orang yang datang. Mungkin dia yang menolong Dhanapati."

Kebo Wungu mengangguk. "Sekarang aku mengerti kenapa Bhagawan menginginkan kita memastikan kematian Dhanapati. Bhagawan pasti telah mendapat firasat kalau Dhanapati tertolong..."

"Dan kita tak tahu di mana Dhanapati sekarang. Si penolong sama sekali tak meninggalkan jejak..."

Kebo Wungu mengusap rambutnya. Menatap sekeliling. Hanya bunyi binatang hutan yang terdengar bersahut-sahutan. Diiringi desau angin yang berirama.

"Aku benci mengakui hal ini, namun aku setuju denganmu Brontoseno..."

"Setuju soal apa?"

"Aku juga mulai tidak menyukai pekerjaan ini!!!" (bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun